Bab 6 Campur Tangan Pihak Ketiga
Rio berusaha menahan Ziva, tapi sayangnya sang istri telah pergi dengan mobil yang dipesannya. Sikap dingin dan kemarahan Ziva tak pelak membuat Rio panik, belum lagi ia harus menghadapi Diani dan memberikan penjelasan padanya. Tak ingin ambil pusing, Rio kembali ke garasi dan mengeluarkan mobilnya, melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan ibukota yang mulai menunjukkan geliatnya. Ia harus sampai di tempat kerja sang istri lebih dulu sebelum Ziva dan meminta maaf, setelah itu Diani, begitulah rencana awal yang ada di pikiran Rio.
“Gara-gara montir sialan itu pagiku jadi berantakan!” Rio terus mengomel sambil menyetir.
Selama perjalanan, Ziva terus memikirkan ucapan yang baru saja ia keluarkan untuk suaminya. Entah mengapa ia bisa kehilangan kontrol emosi dan menumpahkan semua kekesalannya pada Rio.
Apa aku minta maaf aja ya sama Mas Rio? Tapi dia juga udah bikin aku kesel! batin Ziva bergejolak. Saat manik indah coklatnya mengedar gedung pencakar langit, ponselnya berdering. Ziva cepat-cepat merogoh tasnya, mengambil ponsel yang tak kunjung berhenti berdering.
“Iya…iya, sabar,” ucap Ziva berharap sang suami yang menelepon, tapi ternyata….
“Papa,” ucap Ziva mengernyitkan dahi. Ia tak mengangkat deringan telepon sang papa dan terus men-silent telepon yang masuk. Hampir setengah jam bergulat di kemacetan ibukota, Ziva sampai ke tempat kerjanya. Langkahnya gontai memasuki bangunan asimetris bergaya minimalis modern ini. Sesekali, Ziva melihat ponselnya dan banyak panggilan tak terjawab memenuhi penglihatannya.
“Apa aku balas telpon papa? Tapi aku belum siap mendengar ocehannya.” Ziva urung menghubungi sang papa dan menyandarkan tubuhnya ke kursi plastik yang biasa ia duduki saat ingin bersantai.
“Eh, Bos, udah datang. Selamat pagi.” Angel dan beberapa karyawan lain datang dan agak terkejut melihat bos mereka sudah sampai.
“Pagi,” balas Ziva pelan.
“Udah lama Bos sampainya?” tanya Angel lagi.
“Belum dan buatkan aku kopi, ya. Jangan banyak tanya dulu.” Ziva bangkit dari duduknya dan beralih ke ruangannya.
“Oh, ya Bos. Tuan Hugo semalam kirim email ke saya-”
“Kenapa kamu nggak minta dia telpon balik saya?” Ziva menyelak ucapan Angel sedikit kesal.
“M-maaf, Bos. Soalnya saya juga baru memeriksa email pagi ini, pas mau berangkat kerja. Maaf, Bos.” Angel menundukkan kepalanya.
Ziva hanya bereaksi dengan gelengan kepala tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Paginya saat ini benar-benar dipenuhi dengan kejadian tak menyenangkan dan rasanya ingin sekali memejamkan mata, melupakan sejenak segala hal yang membuat pusing otaknya.
Ziva segera menghubungi tuan Hugo, kliennya yang akan membayar karyanya kelak untuk merancang desain museum di Rusia. Karena ini adalah kali pertama ia akan bicara dengan kliennya, rasa gugup sedikit menghinggapi dirinya.
“Kamu bisa, Ziva! Ya, kamu bisa!” ucapnya menyemangati dirinya sendiri.
Ziva melihat arloji di tangan kirinya menunjukkan pukul 07.00 tepat, berarti di Rusia saat ini masih jam 03.00 dini hari. Niatnya diurungkan dan ia mulai fokus menyelesaikan desainnya. Saat Ziva hendak melesatkan ujung pensil di atas desainnya, kembali ponselnya berdering. Tulisan papa di layar ponselnya lagi-lagi membuatnya jengah dan gerah. Namun kali ini Ziva menghiraukannya. Mencoba tenang, istri Rio ini menjawab telepon orang tuanya.
“Iya, Pa.”
[Kenapa nggak angkat telepon papa!]
“Ziva di jalan tadi Pa, baru sampai kantor dan langsung kerja,” jelasnya.
[Alasan!]
Ziva coba sabar mendengar celotehan sang papa.
“Ada apa, Pah?”
[Nanti malam ajak suamimu ke rumah. Ada yang mau Papa bicarakan!]
Mas Rio juga diundang ke rumah? Ada apa ini? Tumben-tumbenan papa juga ajak Rio.”
Pikiran-pikiran Ziva tambah tak tenang dan 1001 macam alasan mulai muncul di kepalanya.
[Kamu dengerin Papa nggak, Ziva?]
“Iya, Pa. Yaudah nanti Ziva sampaikan ke mas Rio. Ziva kerja dulu Pa.”
Tak lama, ayah dan anak itu mengakhiri pembicaraan mereka di telepon. Ziva tambah tak tenang dan langsung menghubungi Rio tanpa memedulikan kemarahannya tadi.
***
Rio yang awalnya ingin menyusul Ziva ke kantornya, mendadak mendapat telepon dari Diani. Spontan, Rio menggas mobilnya ke kampus dan menunggu kedatangan Diani di sana.
Sementara itu, Ziva yang masih memikirkan sang suami dan ingin minta maaf karena telah bersuara keras padanya hanya bisa menghela napas panjang saat teleponnya tak diangkat, bahkan setelah menghubungi berkali-kali. Hal ini semakin menimbulkan kegalauan dan pikiran macam-macam pada Rio.
“Kenapa perasaanku nggak tenang gini, ya? Apa terjadi sesuatu dengan mas Rio?” Ziva meletakkan pensil di papan gambarnya. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan yang seharusnya ditempati Hannah.
“Kenapa kamu tiba-tiba memintaku menggantikanmu, Han? Kamu tahu kan aku paling nggak bisa berada di kantor,” keluhnya.
***
Rio telah sampai di tempat mengajarnya, buru-buru dia pergi ke ruang dosen berpikir Diani telah sampai. Langkahnya semakin dipercepat dan diperlebar, saat kakinya mencapai ruang dosen, ia melihat tempat itu masih sepi sunyi. Keningnya mengernyit dan bergumam, “Apa Diani sengaja mempermainkan aku?”
“Sayang!!!” Dua tangan tiba-tiba melingkar di pinggang Rio sambil memeluk erat.
Rio terkejut dan membalikkan badannya. Dengan senyum mengembang ia menyapa wanita yang lebih diperhatikan dan dipentingkannya, “Diani.” Rio membalas pelukan wanita cantik itu erat.
“Kenapa lama, sih? Sengaja aku minta kamu datang pagi supaya bisa berduaan sama kamu, tapi lama banget datangnya,” manja Diani.
“Hhh, andai kamu tahu apa yang aku alami, Sayang pagi ini.” Rio menghela napas panjang.
“Kenapa? Perempuan manja itu buat ulah apalagi sekarang?” Diani melepaskan pelukannya.
“Biasa, mobilnya belum selesai dan bodohnya, dia nggak bisa bersikap tegas. Nggak seperti kamu yang langsung bisa mengambil sikap akan satu hal.” Rio mencubit gemas hidung mancung Diani. “Tapi, kenapa kamu cepat banget sampai di sini? Bukannya pas aku telepon tadi kamu masih bangun tidur, ya?” tanya Rio bingung.
“Aku nggak pulang ke rumah, kok,” jawab Diani santai.
“Terus? Tidur di mana semalam?” Rio mendelikkan matanya, menatap dengan pandangan curiga.
“Kau lupa, ya jika aku memiliki tempat istirahat pribadi?” Senyum Diani kembali memeluk Rio erat.
“Oh, tempat itu. Mmm, tapi kapan kamu akan mengajakku ke sana?” lirik suami Diani ini sembari menyeringai.
“Ihh, nakal kamu! Aku tahu apa yang kamu pikirkan, lho, Sayang. Tapi belum saatnya,” ucap Diani.
“Hmm, 4 tahun kita pacaran dan aku belum pernah bertemu orang tuamu, Sayang. Kapan aku akan bertemu dengan mereka?” tanya Rio lagi.
“Jangan gila, Rio!” Diani melepaskan pelukannya dan melihat tajam ke arah Rio.
“Kenapa marah? Aku kan cuma tanya.”
“Tapi pertanyaanmu itu sepertinya tak perlu aku jawab!” balas Diani langsung berubah ekspresi wajahnya.
“Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan, Diani?” telisik Rio.
“Ya! Dan sesuatu itu adalah kau, paham?” terang Diani.
Rio mengernyitkan kening. Ia tahu Diani adalah wanita yang kaya raya dan menurut kabar yang beredar ayah Diani adalah salah satu orang terpenting di kampus. Namun semenjak ia berpacaran dengan Diani, bahkan setelah ia menikah dan mengajar di salah satu kampus elit di Jakarta, belum pernah sekalipun bertemu dengan orang tua Diani, bahkan wanita ini terkesan menutup-nutupi latar belakang keluarga dan dirinya.
“Kenapa? Kau tak percaya padaku? Berapa lama kita pacaran, sih sampai segitunya kamu nggak percaya sama aku?” Diani mnyilangkan kedua tangannya.
“Bukan begitu, tapi kenapa aku merasa kamu menyimpan banyak rahasia Diani? Bahkan semenjak kita pacaran pun kamu selalu melarang aku main ke rumahmu dan bertemu orang tuamu,” jelas Rio.
“Sudah kubilang belum waktunya. Segalanya harus diperhitungkan matang-matang, Rio. Kau meninggalkanku saja itu sudah kesalahan besar! Tapi, jika kau pikir lebih dalam, mana ada wanita yang telah ditinggal menikah oleh kekasihnya mau menolong dan menjalin hubungan kembali?” Diani tak mau kalah adu argumen dengan Rio.
Diani ada benarnya! Selama ini, dia yang membantuku, dia juga tahu alasan aku menikahi Ziva. Ah, kamu bodoh banget Rio! Ini semua kesalahan ayah! Jika saja ayah tak punya masalah dengan keluarga Yahya, aku dan Diani…kami akan menjadi keluarga kecil bahagia! batin Rio penuh penyesalan.
“Kenapa diam? Mau aku detailkan lebih jelas?” tantang Diani.
Sambil menghela napas dalam dan panjang, Rio berujar, “Aku nggak mau kita bertengkar, Sayang. Maafkan aku, ya.” Rio mengecup kening Diani dan hampir ketahuan Arnold saat dosen narsis ini tiba-tiba menyapa keduanya.
“Selamat pagiiii…”
“Arnold!” balas Diani dan Rio bersamaan.
“Tumben, kalian udah datang? Janjian, ya?” selidik Arnold.
“Kan lebih baik datang awal daripada terlambat,” sahut Diani tertawa kecil.
“Sudah baikan?” tanya Arnold yang membuat air muka Diani langsung berubah dan menyuruhnya tutup mulut dengan isyarat jemari telunjuk.
“Sudah baikan? Bu Diani sakit?” Rio sontak melihat penuh curiga pada keduanya.
“Ini, kemarin aku sama Diani keluar minum. Biasalah, dua jones. Kelakar Arnold.
Apa!! Diani dan Arnold….” Rio mengepalkan kedua tangan dismping tubuhnya.
Celaka! Rio bisa ngamuk ini! Duh, ni laki-laki mulutnya ember bocor banget, sih! Diani memelototi Arnold.
“Lalu, kalian mabuk?” tanya Rio nada bicaranya mulai dingin.
“Enggak, orang Diani langsung pulang, aku ditinggal sendirian. Kasian kan…” ucap Rio seraya berujar menyerupai ABG alay.
Diani melihat Rio, antara penasaran, khawatir, dan senang. Ia tak sabar bagaimana reaksi laki-laki yang telah menjadi kekasihnya selama 4 tahun ini.
Rio diam dan hanya bisa menahan kekesalannya. Tanpa banyak kata, Rio berlalu dari hadapan Diani dan Arnold. Diani yang berpikir Rio akan penasaran dan mencari tahu apa yang terjadi semalam, nyatanya tak acuh. Bahkan, Rio mengambil ponsel dari saku celananya dan melihat panggilan dari Ziva.
“Halo, Sayang. Maaf, ya. Mas nggak angkat telpon kamu, lagi di jalan tadi.” Ucap Rio dengan santainya berjalan ke mejanya dan duduk sambil tertawa.
Rio brengsek! Dia rupanya sengaja membuatku terbakar cemburu! batin Diani lantas memelototi Arnold dan memukul pundak kanannya kencang.
“Mulut tuh dijaga kenapa, sih! Laki kok tapi kaya ember bocor? Perempuan kalah sama mulutmu, Nold!” tukas Diani kesal dan berlalu dari pandangannya.
“Hei, memangnya aku kenapa? Kok, tiba-tiba kamu marah Diani?” Arnold mengikuti Diani sampai ke mejanya. Sementara Rio masih bicara dengan Ziva di telepon.
“Oh, papa minta aku ikut juga ke rumah. Mmm, oke. Nanti malam kita ke rumah, ya, Sayang. Mas kerja dulu ya. I love you.” Sambil memberikan kecupan lewat mulut yang ditempel pada ponselnya, Rio tampak begitu manis dan romantis.
“Cieeee, manis banget, sih. Bikin mupeng yang jones aja, nih. Iya nggak, Diani?” ledek Arnold melihat Diani yang memelototi Rio. “Din...Din!” Arnold menepuk pelan pundak kiri wanita yang ditaksirnya itu.
“Nggak perlu keras-keras panggil namaku, Nold! Aku nggak tuli! Udah sana, balik ke mejamu! Kamu ini dosen, bukan presenter berita gosip!” ketus Diani yang memelototi Arnold hingga membuatnya langsung bungkam.
Aku tahu kamu marah dan cemburu, Diani. Bukan cuma kamu yang tahu bagaimana membuat cemburu dan terbakar emosi, batin Rio tak acuh.
***
Ziva merasa lega karena Rio telah menghubunginya, tapi di sisi lain batinnya masih belum bisa tenang dan rasa was-was mulai menghampiri pikirannya.
“Sebenarnya apa yang sedang kurasakan ini? Kenapa aku nggak bisa kerja dengan tenang, sih? Semoga bukan hal-hal yang buruk di masa depan,” ujarnya kembali tangannya meraih pensil pada papan gambarnya.
“Bos.” Angel membuka pintu ruangannya.
“Ada apa?” sahut Ziva tanpa melihat asistennya.
“Tuan Hugo mengirim email,” ucap Angel.
Seketika, Ziva kembali meletakkan pensilnya dan cepat-cepat ia mengambil ponsel menghubungi klien penting pertamanya itu.
“Oke, kamu boleh keluar, Angel. Makasih, ya.”
Setelah sang asisten keluar, Ziva segera menekan nomor telepon yang sebelumnya telah ada di panggilan masuk di ponselnya.
“Selamat pagi waktu Rusia, tuan Hugo,” sapa Ziva ramah.
[Halo, selamat pagi Nona Ziva. Apa kabar? Maaf ya, saya baru mengabari Anda lagi] Suara berat tuan Hugo berdentang di telinga Ziva.
“Tidak apa-apa, Tuan. Saya memaklumi jika Anda orang yang sangat sibuk.”
[Hahaha, tidak sesibuk Anda pastinya Nona Ziva]
Ziva tersenyum puas di ujung teleponnya. Sejauh ini percakapannya dengan klien asing pertamanya berjalan lancar.
[Oh, ya, bagaimana dengan desainnya? Sudah sejauh mana progress yang dicapai?]
“Hampir 70 persen, tuan Hugo,” ucap Ziva mantap.
[Bisakah selesai dalam minggu-minggu ini?]
“Akan saya usahakan, tuan Hugo. Anda jangan khawatir.”
[Baiklah kalau begitu, Nona Ziva. Saya percaya dengan kemampuan Anda karena saya telah lama kenal dengan Nona Hannah dan dia merekomendasikan Anda saat tender tersebut. Saya tunggu kabar baiknya, ya]
Ziva menarik napas lega karena yang dia kira akan sulit bicara dengan kliennya, ternyata di luar ekspektasinya.
“Sepertinya semua akan berjalan dengan lancar dan menyenangkan,” ucapnya.
***
Rio hendak masuk kelas, namun di tengah jalan menuju kelasnya, Anastasia berdiri di hadapannya. Gadis penumpah jus alpukat itu tersenyum ke arah Rio.
“Ada apa? Kamu nggak masuk kelas?” tanya Rio sambil berjalan ke arah Anastasia.
“Saya mau ikut kelas Bapak,” ujar gadis berambut panjang hitam tergerai ini tersenyum.
“Ikut kelas saya? Memangnya kamu jurusan apa?” bingung Rio. “Setahu saya, di daftar absen saya nggak ada nama kamu,” lanjutnya.
“Saya mahasiswi hukum, Pak. Tapi mulai hari ini saya ambil dua jurusan sekaligus. Sejarah dan Hukum,” papar Anastasia lagi.
“Kenapa nggak ada yang laporan ke saya?” Rio hanya geleng-geleng. Dia mempersilakan Anastasia masuk kelasnya yang selalu penu, kebanyakan para mahasiswi yang mengambil jurusan yang diajar oleh Rio.
“Selamat pagi, semuanya. Kita kedatangan mahasiswi baru, dia lintas jurusan. Namanya Anastasia. Saya harap kalian bisa menjalin komunikasi yang baik dengannya, ya. Nah, Anastasia silakan duduk di manapun yang kamu mau. Pilih saja.” Rio melihat ke arah mahasiswa/mahasiswinya. Wajah cantik rupawan membuat Anastasia segera menjadi pusat perhatian para mahasiswa di kelas Rio, termasuk sang dosen yang terpukau dengan kecantikan Anastasia.
Sepertinya, aku akan betah berlama-lama mengajar di kelas, batin Rio.