Bab 4 Pikiran Negatif
“Z-Zivanna!!”
Kedua mata Rio membulat sempurna. Tenggorokannya terasa tercekat saat melihat istrinya nyata berdiri di depannya.
“Mas Rio! Kok bengong, sih!” Ziva mengibaskan tangannya dari seberang mobil.
Diani melihat kejadian itu dengan sangat jelas dan tentu saja aura “hawa neraka” mulai ia rasakan. Tak ingin menjadi obat nyamuk, ia memilih pergi tanpa sepatah kata pun.
Setelah taksi online itu pergi, Rio menghampiri Ziva dan mengecup keningnya lembut.
“Kamu kok nggak bilang-bilang mau ke sini? Bukannya katanya mau ngabarin, ya?” tanya Rio mencubit gemas hidung mancung istrinya.
“Gimana mau ngabarin, ponselmu aja susah dihubungin!” Zivanna menyilangkan kedua tangannya sambil menggigit bibir bawahnya, gemas dan kesal karena kelakuan Rio.
“Oh, maaf…maaf, Sayang. Hari ini banyak banget kerjaan,” ucap Rio.
“Lho, Mas. Ini apa?” Ziva menarik sedikit ujung kemeja Rio yang warnanya mulai tak karuan.
“Oh, ketumpahan jus alpukat tadi,” sahutnya.
“Kok bisa?” Ziva tak habis pikir.
“Ya bisalah, Sayang. Tadi ada yang nggak sengaja numpahin jusnya ke aku, salah satu mahasiswi,” jelas Rio.
“Sebentar. Menumpahkan dan ketumpahan itu jelas-jelas dua kata yang berbeda, lho Mas.” Ziva melihat suaminya penuh selidik.
“Kamu curiga aku bohong? Udahlh, Sayang…kamu emang nggak capek apa? Aku aja capek banget. Pulang yuk,” ajak Rio. “Tapi, pamitan dulu, ya,” tambahnya.
“Pamitan? Emang ada acara Mas?” tanya Ziva melihat seberapa kotornya kemeja suaminya.
“Cuma makan-makan aja, yuk pamitan dulu.” Rio menggandeng tangan Ziva dan bertemu beberapa dosen lainnya, termasuk Diani.
“Selamat malam, semua.” Sapa Ziva dengan senyum mengembang.
“Eh, Nyonya Rio Wibisono. Apa kabar? Tumben ke sini?” tanya salah satu dosen teman Rio dan Diani.
“Iya, mobil saya lagi rusak, Pak.” Ucap Ziva matanya melihat ke arah Diani yang sedang memainkan ponselnya. “Selamat malam, Bu Dosen,” sapa Ziva ramah.
“Malam,” balas Diani singkat tak acuh.
Rio hanya menahan napas saat Diani bersikap demikian. Dia hanya berharap Diani tak sampai mengeluarkan tanduk naganya.
“Kami ingin pamit, semuanya. Karena istri saya sudah ke sini, kami pulang dulu.” Rio buru-buru mempercepat kepulangannya.
“Lho, buru-buru banget, Pak Rio. Istrinya juga baru datang. Kita ngobrol-ngobrol dulu sebentar,” ucap salah satu teman dosennya.
“Maaf, Pak. Istri saya alergi udara malam,” ucap Rio disambut kernyitan oleh Ziva.
Dasar payah! batin Ziva tergelitik.
“Oh, yasudah kalau begitu hati-hati di jalan.” Beberapa dosen di sana melambaikan tangan mereka, kecuali Diani yang masa bodoh dan cuek.
Mousedeer : Kelonan habis itu!
“Ah, sial! Aku lupa jika ponselnya mati,” kesal Diani hampir melempar ponselnya.
***
“Kamu dari dulu payah banget kalau suruh boong, Mas.” Tawa Ziva saat di parkiran kampus.
“Yah, kamu tahu sendiri kan aku orangnya paling nggak bisa bohong, apalagi sama istri sendiri. Takut kualat,” ucapnya.
“Mmm, Mas…” Ziva melihat dalam suaminya yang sedang membuka pintu mobil.
“Ada apa?” sahut Rio.
“Nggak…nggak apa-apa. Kamu udah makan, ya?” tanya Ziva basa-basi.
“Kenapa? Kamu emang belum makan?” tanya balik Rio.
Ziva menggelengkan kepalanya.
“Mau makan?” tawar Rio.
“Tapi kan kamu udah makan, masa aku makan sendiri,” Ziva tampak menundukkan kepalanya.
“Kamu lupa, ya…biar tubuhku kecil, tapi makanku kan banyak, apalagi kalau itu kesukaanku. Ayo, kita ke restoran biasa.”
Ziva tertawa lebar. “Oke!” sambutnya.
Saat mobil Rio meninggalkan parkiran kampus, Diani tepat berada tak jauh di belakang mereka. Wanita itu berdiri dengan tatapan tajam ke arah Rio dan Ziva. Ekspresi kemarahan tak bisa disembunyikan olehnya.
“Halo, di mana sekarang? Temui aku di tempat biasa!” Diani menutup teleponnya dan menuju mobilnya.
“Tadi pagi papa memanggilku ke rumah,” ujar Ziva saat berada di dalam mobil.
“Ada perlu apa papa memanggilmu, Sayang?” tanya Rio yang sedang fokus menyetir.
“Biasalah…apalagi kalau bukan soal…ma-te-ri,” Ziva ragu ingin mengucapkannya karena ia tak mau Rio tersinggung dengan kata “materi”.
“Oh, soal itu lagi. Ya sabarlah, Sayang. Bukankah kita juga sedang mengusahakannya sekarang? Aku dapat mobil dari kampus, kamu dengan pekerjaan dan posisi penting di perusahaan. Apalagi yang kurang?” Rio geleng-geleng.
“Entahlah, Sayang. Aku malas berdebat dengan papa karena yang ada di kepalanya hanya uang…uang…dan uang. Semenjak mama meninggal, papa seolah menenggelamkan diri dalam pekerjaan, entah demi apa. Jika uang…rasanya nggak mungkin.” Ziva menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.
“Ya karena kesepian itu makanya papa menyibukkan diri dengan pekerjaan. Coba kalau papa nikah lagi,” Rio menggantungkan ucapannya.
“Mana mungkin papa akan nikah lagi. Cintanya udah mentok sama mama,” jelas Ziva kini mengubah posisi kepalanya dengan menyandar di kaca.
“Cuma itu aja yang disampaikan papa?” tanya Rio.
“Perkara rumah juga, Sayang,” jelas Ziva.
“Rumah?” Rio mengernyit.
“Iya, kamu lupa ya rumah yang kita tempati kan milik Zivannya. Karena dia lanjutin kuliah di Rusia dan nggak mau balik lagi aja makanya rumah itu kita tempati. Kalau enggak, ya kita bakal sewa apartemen,” jelas Ziva tak semangat.
“Jadi, papa mau kita bayar sewa atau gimana?” Rio semakin bingung.
“Aku pun tadi bilang begitu sama papa. Tapi papa bilang nggak ngenakin-”
“Oke, sudah cukup. Kita udah sampai.” Rio tersenyum ke arah Ziva, mencoba menenangkan emosi sang istri.
“Kamu nggak marah karena papa begitu sikapnya ke kamu, Sayang?” Ziva meremas jemarinya.
“Ngapain aku harus marah, toh apa yang dikatakan papamu memang seperti apa adanya. Sekarang aku memang nggak bisa kasih kamu apa-apa, tapi satu hari nanti aku pasti bisa, oke? Udah dong, jangan BT gitu, nanti lucu dan gemoy-nya istriku nggak terlihat lagi.” Rio mencubit pipi chubby Ziva.
“Iya..iya, udah ah! Kaya anak kecil!” Ziva menepis tangan Rio kasar, namun Rio tak marah, justru sebaliknya, ia membalas dengan kecupan lembut dan mesra di kening Ziva.
“Aku beruntung punya istri sepertimu, Ziva. Tetaplah seperti ini, meski saat kita telah memiliki anak banyak nanti,” ucap Rio.
“Aku pun, Sayang.” Ziva membalas dengan pelukan erat.
***
Diani dan Arnold saling bertemu di sebuah kelab malam eksklusif di selatan jakarta. Keduanya memang party goers, tapi masih dalam situasi yang normal dan tak pernah sampai mabuk.
“Kenapa kamu telepon aku? Tumben, kangen ya?” ledek Arnold sesumbar.
“Apa kamu pernah pacaran, Nold?” tanya Diani tanpa memedulikan kata-kata Arnold sebelumnya.
“Pernah,” balas Arnold singkat.
“Lalu?”
“Lalu apa? Kepo deh kamu, Diani!” Arnold melihat Diani sambil tersenyum nyinyir.
“Berapa lama kamu temenan sama Rio, Nold?” tanya Diani lagi.
“Ya selama mengajar. Emang ada apa, sih? Kamu kok nanya tentang Rio terus? Atau jangan-jangan kamu suka sama Rio, Diani?” tanya Arnold meski ia sangat takut jika jawaban Diani IYA.
“Kalau iya kenapa…kalau enggak kenapa?” tanya balik Diani.
“Hmm, jawaban yang menggantung,” sahut Arnold.
“Kamu minta aku jawab, kan? Itu udah kujawab. Jika kujawab iya, maka aku akan masuk ke jajaran pelakor, jika tidak…” Diani melirik Arnold.
“Kenapa melihatku begitu?” Arnold merasa risih dengan tatapan Diani.
“Nggak apa-apa. Oh, ya dapat salam tadi dari dosen-dosen senior. Mereka makan-makan di kantin tadi,” jelas Diani.
“Tumben, ada acara apa?” tanya Arnold.
“Biasalah, pesta dadakan. Istrinya Rio juga ada-”
“Eh, beneran?” Arnold mendekat ke wajah Diani hingga membuat wanita ini terkejut.
“I-iya. Kenapa kamu kayak seneng gitu?” bingung Diani.
“Enggak…nggak apa-apa,” balas Arnold senyum-senyum.
Berarti ketakutanku selama ini jika Rio dan Diani memiliki hubungan hanyalah ketakutan lebay aja. Batin Arnold menikmati minuman alkoholnya.
***
Rio dan Ziva kini menyantap makan malam ala seafood negeri Jiran. Ziva memang sangat menyukai seafood, sedang Rio memang dasarnya pria yang doyan makan tapi tubuhnya susah gemuk. Dari semenjak pacaran, keduanya memang dikenal sebagai raja dan ratu jajan kaki-5. Dan dari kesamaan itulah akhirnya mereka berlanjut ke pelaminan hingga sekarang.
“Pelan-pelan makannya, Sayang. Nanti keselek capit kepiting, lho.” Ledek Rio mengusap lembut punggung sang istri.
“Lebay banget deh kamu, Mas!” lirik Zivanna.
Saat keduanya tengah asik menikmati makan malam romantis berdua, ponsel Ziva berdering dan ternyata Hernandi, sang papa menelepon.
“Siapa?” tanya Rio.
“Papa,” balas Ziva malas.
“Angkat aja,” ucap Rio.
“Malas ah, paling-paling disuruh ke rumah lagi terus ngomongin soal yang sama,” keluh Ziva.
“Terserah kamu, Sayang.” Rio melanjutkan makan malamnya, sementara Ziva mulai terganggu dengan sikap sang papa yang memperlakukan dirinya bak penjahat.
Sepertinya aku harus tegas ke papa! Aku sudah menikah, pisah rumah juga, kenapa aku diperlakukan tak adil begini!
“Oh, ya, bagaimana dengan proyekmu, Sayang?” tanya Rio di sela-sela menyantap kerang ijo pedasnya.
“Baik tapi nggak gitu lancar,” ucap Ziva mencoba mengembalikan mood-nya.
“Hei, kenapa? Ada apa? Cerita donk.” Rio menggenggam tangan sang istri yang bersih.
“Entahlah, aku merasa apa yang kulakukan selama ini sama sekali tak ada artinya di mata papa, padahal aku sudah mencoba semaksimal mungkin demi menunjukkan diriku,” lirih Ziva, tak melanjutkan makan malamnya.
“Sayang, jangan sedih. Mungkin saat ini papa memang belum lihat, tapi siapa tahu satu saat nanti. Lagipula, jika kulihat kau dan Zevannya masih jauh lebih baik dirimu, Sayang.” Rio semakin erat menggenggam tangan Ziva.
“Terima kasih, Sayang.” Senyum Ziva.
“Sama-sama, Sayang.” Balas Rio tersenyum lebar.
***
Di tempat lain, Diani dan Arnold masih berada di kelab malam eksklusif. Mereka berdua terlihat santai mengobrol seperti tak ada beban.
“Jika ada laki-laki yang diam-diam menyukaimu, bagaimana tanggapanmu?” tanya Arnold tiba-tiba.
“Nggak gimana-gimana,” balas santai Diani.
“Hmm, sebenarnya ada yang mau aku tanyakan, Diani.”
“Tinggal tanyakan saja, Arnold,” timpal Diani.
“Tipe lelaki idealmu seperti apa, sih?”
Diani yang menikmati cocktail mojito kesukaannya terpaksa menghentikan laju air yang melewati sedotannya. “Kenapa tiba-tiba bertanya hal itu, Nold?” tanya Diani lebih lanjut.
“Enggak, aku penasaran aja tipe idealmu tuh kaya apa atau siapa, soalnya aku liatnya kamu dan Rio….”Arnold menggantungkan kalimatnya.
Diani lantas menghadapkan tubuhnya ke Arnold, memandang laki-laki yang suka ikut campur urusan orang itu dengan sinis dan angkuh, “Sempat-sempatnya Pak Arnold memperhatikan saya dan Rio, ya. Apa Pak Arnold nggak punya kerjaan lain?”
Arnold langsung diam setelah mendengar ucapan Diani barusan. Dia tak ingin bertindak gegabah dan kehilangan wanita yang selama ini ditaksirnya.
Di tempat lain, Rio dan Ziva bersiap pulang setelah selesai mengisi perut mereka. Ziva mulai mengidap penyakit orang setelah selesai makan, yaitu mengantuk. Rio yang memang paling senang melihat istrinya mengantuk membelai lembut rambut sang istri dan berkata, “Tidurlah, Sayang. Nanti kalau sudah sampai rumah aku bangunin kamu.”
“Enggak, aku nggak ngantuk, cuma lelah aja, Mas. Gambar bangunan yang diminta klienku belum usai, nggak bisa mikir aku gara-gara papa,” keluh Ziva menutup mulutnya yang menguap.
“Ya makanya kamu tidur dulu biar nanti bisa kerja lagi,” ucap Rio memaksa sang istri istirahat.
Akhirnya, Ziva mengalah dan tertidur selama di jalan pulang. Rio mengambil ponselnya dari celana dan mengisi ulang baterai ponselnya. Sambil menyetir, sambil menyalakan gawainya dan sebuah pesan masuk dari Mousedeer segera menyambut di layar gawainya.
Hmmm, Diani pasti marah banget ini. Sepertinya besok aku harus belikan dia sesuatu.
“Aku mau pulang,” ucap Diani bersiap mengambil tas di atas meja bartender.
“Kuantar,” tawar Arnold.
“Nggak usah, makasih. Ditemani minum malam ini aja aku udah cukup senang.” Senyum Diani gegas menuju pintu keluar kelab malam eksekutif tersebut.
“Kamu yakin bisa nyetir, Diani?” Arnold tampak khawatir.
“Iya, tenang aja, makasih ya.”
Tanpa membuang banyak waktu, Diani masuk ke mobil dan menyalakan roda empat miliknya. Sesaat sebelum meninggalkan kelab tersebut, Diani mengeluarkan ponselnya dan memeriksa beberapa pesan yang masuk di gawainya, salah satunya pesan yang beberapa jam lalu ia kirim ke Rio akhirnya dibuka dan dibaca.
“Hah, pasti sekarang dia enak-enakan sama perempuan manja itu!” ucapan Diani kesal.
Di sisi lain, Rio yang tak tenang karena telah membuat Diani marah mengirimkan pesan untuknya meski sedang menyetir.
Me : Sayang, jangan marah, ya. HP-ku lobet banget, kamu tahu sendiri kan? Ini sambil ku charge.
Ponsel Diani berbunyi tanda pesan masuk. Meskipun kesal dengan sikap Rio di kampus tadi, namun ia langsung tersenyum mengembang saat tahu Rio segera membalas pesannya.
Mousedeer : Siapa yang marah? Aku nggak marah, cuma kesal! Ngapain sih istrimu datang ke kampus segala, bikin mood hancur aja!
The Lion : Karena HP-ku mati makanya Ziva datang ke kampus.
Mousedeer : Terus kamu di mana sekarang? Pasti lagi berduaan!
The Lion : Di jalan, mau pulang. Tadi Ziva lapar, minta makan dulu.
Mousedeer : Bisa nggak sih kamu nggak tulis nama istrimu saat kita chattingan? Udah ah, aku mau pulang!
The Lion : Pulang? Emang kamu di mana sekarang?
Diani tak membalas pesan Rio, Arnold masih berdiri di dekat mobil Diani sambil memperhatikan ekspresi wanita itu.
Diani wa-an sama siapa, sih? Kok tsundere banget, ya? batin Arnold.
“Kenapa nggak dibales-bales, ya? Emang dia ke mana?”
“Dia? Dia siapa Mas?”
Rio terkejut melihat Ziva bangun.
“Sayang!” ucapnya segera mematikan layar ponselnya. “Kamu ngagetin aku aja,” tambah Rio lagi.
“Hmm, kepalaku pusing, nggak enak banget tidurnya.” Ziva memegang belakang lehernya yang terasa kaku.
“Kubilang juga apa, jangan terlalu banyak makan kerang ijo tadi, kamunya ngeyel. Nanti sampai rumah aku pijetin, ya.” Rio mengulas senyum lebar.
Ziva mengangguk dan diam-diam melirik ponsel milik Rio. Siapa yang barusan kamu hubungi Mas? batin Ziva.