Bab 8
Pukul setengah lima pagi mbok Yem sudah terbangun dari tidurnya.
Dia sudah memulai aktivitas keseharian yang rutin kita lakukan.
Mulai dari menyapu halaman rumah, menyapu teras depan hingga seluruh ruangan.
Biasanya bila sudah menjelang pagi, ketika cahaya matahari bersinar di ufuk timur.
Aku sudah terbangun untuk ikut membantu pekerjaannya.
Namun kali ini badan terasa sakit semua, sendi-sendi sangat linu. Memar di beberapa bagian tubuh nampak semakin jelas.
Walaupun demikian aku harus segera bangkit.
Bukan waktunya untuk bermalas-malasan. Takutnya nyonya akan marah bila ia sudah bangun dan tak melihat ku melakukan pekerjaan rumah seperti biasa.
"Aa*,"
Selangkangan dan pinggang terasa nyeri bila aku gerakkan. Apalagi untuk melakukan aktivitas berat seperti mengepel lantai dan lainnya.
Aku Paksakan tubuh ku untuk bisa berdiri tegak.
Dengan kaki yang gemetaran, melangkah menemui mbok Yem di dapur.
"Pagi mbok."
"Pagi Nur."
Mbok sedang menyiapkan makan untuk sarapan pagi.
"Semalam kamu pergi ke mana Nur? Pas mbok pulang kamu gak keliatan."
Pusing dan pening di kepala terasa menghambat pikiran.
"Hah? Apa mbok? Semalam aku sangat kecapean."
"Kecapekan abis ngapain? Wong rumah masih berantakan."
Dia tak tahu apa yang telah terjadi ketika mereka pergi meninggalkan ku sendirian di rumah.
Dan beberapa orang memperkosa menggilir kenikmatan yang ada di tubuh ku.
"Mbok pasti gak bakalan percaya kalau aku ceritakan."
Senyum kecil terlihat di bibir kering keriput.
"Sssssttt, Kamu abis main ya sama tuan?"
Iya tahu akan hal itu karena semalam aku tidur di sebelahnya hanya mengenakan handuk saja.
Tapi ia tak tahu kejadian sebelum tuan menambah deritaku.
"Jangan bahas di sini ah mbok, ntar nyonya bisa marah."
Orang yang barusan aku sebut ternyata sudah ada di belakang, mungkin ia mendengar percakapan kami barusan.
Menambah kebencian terhadap diriku saja.
Ia pura-pura tidak mendengar ucapan kami, dan terus mendengarkan apa yang kami bicarakan.
"Aku sudah tak betah lebih lama lagi untuk tetap tinggal di sini mbok."
"Loh kok ngomongnya gitu sih Nur? Gimana dengan nasib bapak mu di kampung, adek-adek mu juga masih perlu biaya buat sekolah."
''tapi mbok aku capek ngeladenin tuan yang selalu minta jatah kalau nyonya sedang tak ada di rumah atau ia sedang tidur."
"Sabarlah Nur, namanya juga resiko kerja di sini. Kan bukan gaji doang yang kamu dapatkan. Semua kebutuhan dan biaya pengobatan bapak serta adek-adek mu juga kau dapat."
"Iya sih mbok, tapi sampai kapan harus seperti ini?"
"Dengar si mbok mu ini Nur, tuan mu sudah baik memperlakukan kita. Anggap lah itu sebagai balasan budi terhadap kebaikannya."
"Hhmmm, iya mbok "
..
Nyonya nampak meninggalkan tempat kami berada.
Ia tak tahan dengan ucapanku barusan, ternyata sudah selama ini aku selalu memenuhi hasrat biologis suaminya.
Ia akan membuatku semakin tak betah di rumah.
Cara yang kemarin ia lakukan tak berpengaruh sama sekali. Hanya membuat badan sakit dan perih saja. Tak membuatku untuk pergi dari sini.
"Nur.. Nur.." panggil nyonya dari ruang santai.
Aku bergegas menemuinya sesegera mungkin.
"Iya nyonya, apa yang bisa saya bantu?"
Tolong kamu pel lantai depan.
"Ta. Tapi nyonya tadi sudah mbok Yem pel"
"Berani ya kamu membantah,"
"Maaf nyonya bukan itu maksud saya"
"Kalau gitu tunggu apalagi, cepat kerjakan..!! Bentaknya.
Lantai yang sudah bersih kembali aku pel lagi. Sesuai keinginan sang nyonya tuan rumah.
Mengambil alat pelan yang terdapat gagang seperti sapu.
Ia tak mau aku mengepel nya dengan cara seperti itu.
Harus menggunakan tangan dengan kain pelan.
Tujuannya adalah tak lain membuat ku merasa tidak nyaman dan kecapean.
Meski dengan kondisi badan yang masih sakit, keluar keringat dingin di kening tetap aku lakukan pekerjaan rumah itu.
Mengepal ruangan yang luas dengan tangan beralaskan kain pelan.
Kain di celupkan ke dalam ember, lalu di peras sekuat tenaga.
Lantas mengelap lantai keramik putih dingin dari ujung pintu depan, bergerak mundur sampai ambang dapur.
Beberapa kali aku mencelupkan kain kedalam ember, masih seperempat ruangan yang aku bersihkan.
Berdiri sejenak mengganti air yang telah kotor.
Pinggang rasanya hampir mau patah,
Terasa nyeri dan linu.
Keringat dingin bercucuran dari dahi sampai ke ujung lubang bokong rasanya.
"Hah, sungguh keterlaluan sekali nyonya ku ini. Menyiksa ku dengan pekerjaan rumah yang sebenarnya telah mbok Yem kerjakan."
Hanya bisa mengeluh seraya mengganti air dalam ember.
Nyonya masih duduk santai sembari memperhatikan pekerjaan yang sedang aku kerjakan.
Dalam hati pikirannya terus mencari cara untuk membuatku selalu sibuk.
"Dasar wanita tak tahu diri, sudah untung sudah di pekerjakan di sini dengan gaji yang besar pula. Malah ngelunjak mau merebut suami ku."
Bergumam dalam hati matanya sesekali menatap sinis pada ku.
Nyonya mengira aku sangat kuat, walaupun kemarin ia telah mengerjai ku dengan menyuruh para tukang menjamah tubuh ini.
Dan semalam aku malah lanjut menggoda melayani hasrat suaminya.
Menggoda suaminya, ya itulah yang ada di pikirannya.
Walaupun pada kenyataannya sang suaminya lah yang selalu berhasrat ketika melihat tubuh ku.
Jelas, karena aku memang lebih muda darinya. Dan tubuhku masih sintal dan kenyal jika di sentuh oleh tangan-tangan nakal yang hendak menjamah.
Membuat nyonya iri pada ku.
Sudah empat puluh menit berlalu, pekerjaanku hampir selesai.
Nyonya tak tinggal diam, dengan angkuhnya ia berjalan membusung kan dada menuju arah ku.
"Hey Nur, habis selesai kau kerjakan mengepal lantai ini. Cepat kau pergi ke teras depan rumah. Lakukan seperti yang kau lakukan di sini.!!"
Tak mungkin untuk menolak permintaan sang nyonya.
Tanpa memberikan waktu sejenak untuk menghela nafas, sudah di suruh lagi mengepel lantai depan.
"Baik nyonya, setelah ini aku kedepan."
"Cepetan kerja nya, lemot banget sih kamu..!!"
"Maaf nyonya, sebentar lagi ruangan ini beres."
Nyonya kembali ke tempat duduknya.
..
Langkah kaki terasa gontai sempoyongan, hampir saja aku tersungkur bila tidak berpegangan pada tiang besar penyangga rumah di samping depan teras rumah.
Sungguh badanku kali ini terasa lemas, keringat sudah membasahi kaos merah muda yang ku kenakan.
Kepala semakin pusing keleyangan seperti berputar-putar.
Dari pintu rumah yang terbuka nyonya melihat keadaan ku yang nampak kepayahan.
Jangankan untuk mengepal lantai, menahan badan untuk berdiri pun sangat susah.
Brukk.
Ember berisi air jatuh membasahi lantai teras rumah.
Tubuh ku tersungkur tak sadarkan diri.
Nyonya nampak senang dengan kondisiku terkapar di depan rumahnya.
Bukannya menolong tapi ia mengambil kesempatan kedua untuk mengerjai ku lagi.
..
Sopir pribadinya berada di samping rumah, tengah asyik membersihkan permukaan mobil yang akan di gunakan oleh tuan.
Nyonya berjalan ke arahku, namun hanya sekedar lewat saja.
Ternyata ia hendak menemui sopir pribadinya di samping rumah.
"Psstt, psstt. Pak.. pak Karjo.!!"
Pak Karjo menengok ke kanan kiri mencari suara yang memanggil namanya.
Ia mendapati nyonya besar telah berdiri di belakang.
"Ehh nyonya, manggil saya ya?"
"Ssuutt, jangan keras-keras.!!"
"Ada apa emangnya nyonya?"
" Sini-sini."
Nyonya hendak membisikkan sesuatu di telinganya.
Pak Karjo mendekatinya, kuping kanan di arahkan ke wajah si nyonya.
Lalu di bisikkan sesuatu.
"Serius nyonya? Boleh nih?"
Nyonya mengangguk tersenyum sinis.
Pak karjo nampak kegirangan setelah mendapatkan bisikkan.
"Tapi jangan sampai tuan mu tahu, kamu mainnya di kamar kamu saja."
Bagaimana ia tak begitu riangnya, pagi ini ia akan di beri kesempatan untuk menjamah tubuh ku lalu ia pun di beri beberapa uang lembaran kertas seratus ribuan.
Akan mendapatkan kenikmatan, dapat uang pula. Pikirnya.