Chapter 2 Bab 2 Uang Mahar Untuk Alletha
"Ya sudah! Bulan depan Bu Ayu harus membayar cicilan yang menunggak, ingat itu!" gertak Bu Retno sembari mengambil uang yang Alletha serahkan tadi. Bu Retno beranjak pergi meninggalkan rumah Dewi.
Tak lama kemudian munculah seorang laki-laki yang berpakaian santai dengan kaos dan celana jins berwarna biru, dengan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya yang tidak terlalu mancung dan berambut cepak.
"Selamat sore, Bu Dewi!" sapa laki-laki yang bernama Ronald itu kepada Dewi. Lalu ia mengalihkan pandangannya ke arah Alletha yang berdiri di samping Dewi. "Eh, ada si cantik Alletha." Ia menyunggingkan senyum yang manis ke arah Alletha. Alletha membalas senyumnya dengan terpaksa.
"Aduh, Nak Ronald, kok gak bilang-bilang sih, kalau mau main kesini?" tanya Dewi dengan senyum sumringahnya. Bagaimana tidak Dewi bersikap ramah pada Ronald, ia adalah tambang emas baginya. Bahkan Dewi rela menyerahkan putri satu-satunya kepada Ronald asalkan semua hutangnya lunas dan memberi mahar yang besar untuk Alletha.
"Kebetulan tadi saya habis nagih uang kontrakan. Awal bulan, waktunya mereka membayar kontrakan," sahutnya dengan bangga.
"Ayo masuk, Nak Ronald. Gak usah sungkan, anggap aja rumah sendiri."
Ronald masuk ke dalam rumah setelah Alletha masuk terlebih dahulu. Alletha sebenarnya sangat malas meladeni laki-laki yang sama sekali tidak ia sukai itu. Tapi demi baktinya kepada orang tua, terlebih rasa sayangnya kepada ayahnya, ia rela menggadaikan masa depannya dengan menikahi Ronald. Ronald menjanjikan uang mahar yang sangat besar untuk Alletha jika ia mau menjadi istrinya dan membiayai pengobatan ayahnya sampai sembuh dan bisa berjalan lagi dengan normal.
"Saya kesini akan memberikan uang mahar secara kes." Ronald langsung mengangkat koper yang berisi sejumlah uang yang tidak sedikit ke atas meja. Dewi yang tak sabar ingin segera melihat sejumlah uang yang berada di dalam koper itu matanya langsung berbinar. Sementara Alletha hanya diam saja, ia justru kini memikirkan nasibnya yang sebentar lagi akan menjadi istri dari Ronald, laki-laki yang sama sekali tidak ia cintai.
Semasa hidupnya, Alletha tidak pernah terpikirkan akan menikah dengan laki-laki yang tidak ia cintai sama sekali. Bahkan ia pun tak pernah benar-benar serius dekat dengan seorang laki-laki. Ia tak menyangka jika ternyata jodohnya ialah laki-laki berkulit hitam dan terlihat sedikit lebih tua.
"Wah, boleh dibuka kopernya, Nak Ronald?" tanya Dewi dengan sangat antusias. Ia sudah tidak sabar ingin melihat uang dengan jumlah nominal yang sangat banyak.
"Oh, tentu saja boleh, Bu Dewi. Silahkan dibuka saja. Semua ini milik Bu Dewi."
Dewi langsung membuka koper yang berada di atas meja dengan tergesa. Matanya membulat saat melihat banyaknya tumpukan uang berwarna merah yang berada di dalam koper. Ia sampai menelan ludahnya beberapa kali. Seumur-umur Dewi belum pernah melihat uang dengan jumlah yang sangat banyak. Begitupun dengan Alletha. Seumur hidupnya ia belum pernah melihat uang yang begitu banyak. Tapi tetap saja hati dan perasaannya tidak bisa dibohongi, ia masih belum bisa menyukai laki-laki kaya raya itu.
"Ya ampun, ini isinya uang semua ya?" Dewi meraba-raba uang yang tersusun rapih. "Heum baunya lain, ya, kalau uangnya banyak, baunya wangi," kelakar Dewi seraya menghirup aroma uang yang terlihat sangat licin itu.
Melihat tingkah Dewi, Ronald semakin jumawa. Ia sangat yakin jika dengan uang, ia bisa membeli apapun, termasuk menjadikan Alletha sebagai istrinya. Sementara Alletha merasa tak enak hati melihat tingkah laku ibunya yang terlihat norak itu.
"Bagaimana, Bu Dewi suka?" Ronald melipat kedua tangannya di dada, merasa dirinya sangat hebat.
Dewi tersenyum malu-malu melihat Ronald yang memperhatikan tingkahnya sedari tadi. "Alletha, lihat! Ini semua uang! Uang ini bisa untuk membeli apa saja yang kamu mau. Bahkan kamu bisa merenovasi rumah ini menjadi rumah yang sangat mewah."
Alletha tak bisa berkata apa-apa lagi, ia sebenarnya tidak setuju dengan perjodohan ini. Tapi mau bagaimana lagi, demi baktinya kepada orang tua, ia rela melakukan apa saja.
"Ya, terserah, Ibu mau apakan uang itu. Alletha capek, mau istirahat dulu." Tanpa menghiraukan tatapan kecewa dari Ronald dan tatapan tajam dari sang ibu, Alletha beranjak dari tempat duduknya dan menuju kamarnya untuk beristirahat.
"Alletha, kamu gak mau nemenin calon suamimu dulu?" teriak Dewi saat Alletha akan memasuki kamarnya.
Alletha tak menghiraukan teriakan sang ibu, ia lantas langsung merebahkan diri di atas kasurnya tanpa berganti pakaian terlebih dahulu. Kepalanya berdenyut sangat nyeri. Ia memijit pangkal hidungnya berharap sakitnya bisa berkurang. Ia membayangkan bagaimana jadinya jika ia benar-benar menjadi istri dari Ronald. Kabar beredar di luar jika Ronald sudah mempunyai istri dan sering bergonta-ganti pasangan. Saat Alletha menanyakan hal itu kepada sang ibu, Dewi langsung menyangkalnya. Ia beralasan jika Ronald hanya sedang mencari perempuan yang benar-benar ia sukai. Ia berjanji jika sudah menikah dengan Alletha, ia akan berhenti untuk bermain wanita. Lamunannya terhenti saat ada yang mengetuk pintu kamarnya.
"Alletha, kamu tidur, Nak?" tanya Tio yang kini sudah berada di dalam kamar Alletha.
Alletha kini terduduk di bibir ranjangnya. "Enggak, Yah. Alletha gak tidur, kok. Kenapa, Yah?"
"Alletha, apa kamu benar-benar yakin mau menerima lamaran dari Ronald?" tanya Tio dengan mimik wajah yang serius.
Alletha menarik nafasnya panjang dan menghembuskannya secara perlahan. "Alletha yakin, Yah." Alletha beranjak dari duduknya dan berjongkok tepat di depan sang ayah. Tio mengelus lembut rambut Alletha dengan penuh kasih sayang. "Pikirkan baik-baik, Alletha. Jangan sampai kamu meneyesal."
Alletha menatap wajah sang ayah yang mulai keriput. Ia akan merasa sangat berdosa jika tak bisa melakukan apapun demi sang ayah. Ia ingin menjadi anak yang berbakti dan akan mencoba untuk ikhlas jika memang jodohnya adalah Ronald.
"Alletha sudah memikirkan ini secara matang, Yah. Alletha tidak akan menyesal dengan keputusan yang Alletha ambil. Ayah tenang aja, gak usah mikirin hal-hal yang belum tentu terjadi. Ayah cukup doakan saja Alletha, semoga Alletha tidak salah mengambil jalan."
Tio menangkup wajah Alletha dengan kedua tangannya. "Ayah selalu mendoakan kamu. Semoga putri Ayah satu-satunya ini mendapatkan jodoh yang terbaik."
"Aamiin," sahut Alletha seraya mencium tangan Tio.
****
Hari ini Alletha bangun kesiangan. Semalaman ia tak bisa tidur dengan nyenyak, karena memikirkan pernikahan yang tak ia inginkan dengan Ronald akan berlangsung sebentar lagi. Alletha pasti akan terlambat datang ke tempat kerjanya. Tak lupa ia mengalungkan name tag dengan tali panjang berwarna biru ke lehernya sebagai ciri khas dari perusahaan Sastrawinata. Dengan tergesa-gesa ia langsung menyambar kunci motornya dan malaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan ibu kota yang cukup padat di hari kerja seperti ini.
Suara klakson kendaraan saling bersahutan memenuhi udara pagi ini. Dengan lihainya Alletha meliuk-liukan motornya melewati beberapa mobil. Hingga tanpa sengaja ia menyerempet mobil mewah. Alletha langsung menepikan motornya ke pinggir jalan. Jantungnya berdetak kencang. Keringat dingin langsung membanjiri wajahnya.