Chapter 6 Bab 6 Akhirnya Bertemu Juga
Alletha menundukkan pandangannya. Ia tak berani menatap wajah pemilik perusahaan dimana ia bekerja. Jantungnya berdetak kencang, malu sekaligus kesal kini yang tengah dirasakan oleh Alletha.
"Hey, kamu kan yang tadi menyerempet mobilku?" Suara bariton milik Athala membuat Alletha semakin gemetar. Keringat dingin bercucuran menetes ke wajah cantiknya.
Alletha tetap bergeming, ia benar-benar tak sanggup menatap wajah Athala.
"Ehm, saya ada dihadapanmu, Nona ... Alletha." Athala mengernyitkan keningnya saat ia mengejah nama Alletha yang tertulis di name tag-nya. "Bukan di bawah!" Ia meninggikan nada bicaranya.
Alletha langsung mendongak menatap sang big bos. "Maaf, Bos. Sa-saya kebelet." Tanpa menunggu jawaban dari Athala, ia langsung berlari menuju toilet. Sebuah bentakan kecil dari mulut Athala membuat Alletha semakin tidak bisa menahannya.
"Hey! Saya belum selesai bicara!" teriak Athala. Ia paling tidak suka jika sedang bicara tapi malah ditinggal pergi.
Athala melongo melihat tingkah konyol pegawainya. Baru kali ini ia ditinggalkan oleh lawan bicaranya saat ia sedang berbicara. Apalagi ia hanya seorang pegawai rendahan yang bekerja di perusahaan miliknya.
'Hah, bagaimana bisa seorang Athala ditinggalkan saat ia sedang berbicara. Siapa tadi namanya?' gumam Athala. Ia mengingat-ngingat nama gadis itu, "ah, Athela. Ya kalau gak salah namanya Athela. Hey, kenapa nama gadis toilet itu hampir sama dengan namaku? Awas aja kamu Athela, aku akan buat perhitungan denganmu!"
"Bos, maaf. Apa yang sedang Bos lakukan? Berdiri di depan toilet perempuan?" Seorang pria yang memakai seragam serba hitam tiba-tiba berdiri di belakang Athala.
Athala terlonjak kaget, "siapa? Saya? Em ... tadi saya, ah ... lupakan!" Ia langsung berjalan dengan cepat meninggalkan asistennya tanpa mengindahkan tatapan aneh dari sang asisten yang bernama Romi. Selain asisten dari Athala, Romi adalah sahabat dekatnya sejak kecil yang seorang yatim piatu. Athala sengaja mengangkat Romi sebagai asisten pribadinya, karena hanya Romi lah satu-satunya orang yang mengerti dan sangat dipercaya olehnya.
'Apa yang terjadi pada Athala? Tumben sekali dia gugup seperti itu?' batin Romi. Ia pun lalu mengikuti sahabatnya dan berjalan di belakangnya.
Alletha mengintip dari balik pintu kamar mandi. Ia hanya ingin memastikan jika atasannya itu sudah tidak ada di depan toilet. Setelah memastikan tidak ada, Alletha lalu berjalan mengendap keluar.
"Huh, syukur deh, big bos si otak mesuk itu udah gak ada di sini." Kinan bermonolog.
Ia mengelus dadanya yang berdebar sedari tadi.
"Siapa yang otak mesum?" Tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing di telinga Alletha.
"Itu, siapa lagi kalau bukan big bos kita itu yang mesum," sahut Alletha. Ia tidak menyadari jika Margaret lah yang sedang bertanya padanya.
"Big bos otak mesum? Maksud kamu big bos yang barusan datang itu?" Margaret mendekatkan tubuhnya pada Alletha dan mengikuti kemana arah mata Alletha memandang.
"Iya. Siapa lagi?" jawab Alletha menganggukan kepalanya. Ia masih belum menyadari siapa yang sedang berbicara dengannya. Matanya masih fokus ke depan memastikan jika Athala sudah pergi jauh.
"Maksud kamu apa, Alletha? Mengatai kalau big bos kita itu otak mesum, hah?" Margaret berkata dengan sedikit kencang. Teriakannya kali ini menyadarkan Alletha dan ia langsung berbalik melihat siapa yang ada dibelakangnya sedari tadi.
"Eh, Miss Margaret." Alletha tersenyum canggung. Ia tak menyangka jika sedari tadi dirinya sedang berbicara dengan Miss Margaret.
"Tolong jelaskan, maksud kamu apa tadi? Mengatakan kalau big bos kita itu otak mesum? Saya laporkan juga sama orangnya, biar tau rasa kamu, langsung dipecat!" ancam Margaret sembari menekankan kata 'dipecat'.
Alletha bergidik ngeri mendengarkan kata 'dipecat'. "Jangan gitu, dong, Miss. Maksud saya itu bukan big bos kita yang barusan datang. Tapi itu pemilik warteg depan kantor. Dia kan terkenal mesum otaknya," kilah Alletha berbohong.
"Bener, ya, kamu! Awas jangan bohong!"
Alletha mengangkat kedua jarinya, "serius, Miss. Mana berani, sih, saya bohong sama Miss Margaret." Alletha menyunggingkan senyumnya.
"Ya sudah! Kembali bekerja. Sebentar lagi waktunya jam pulang!"
Miss Margaret berjalan melangkah meninggalkan Alletha.
"Fiuh ... untung aja, dia percaya. Lagian kok bisa sih dia tiba-tiba ada di belakang gue." Alletha bermonolog.
Setelah merapikan bajunya dan mematut diri di cermin, ia lalu kembali menuju meja kerjanya dengan berjalan mengendap-endap. Ia takut bertemu lagi dengan bos mesum itu.
Sesampai di meja kerjanya, Alletha langsung mendaratkan pantatnya di kursi, lalu mengambil air minum yang ada di atas mejanya. Ia meneguknya perlahan. Tenggorokannya terasa kering setelah kejadian-kejadian yang membuat jantungnya hampir meloncat dari tempatnya. Alletha melihat jika meja kerja sahabatnya kosong.
"Woy!" Siska tiba-tiba datang dan mengejutkan Alletha.
"Eh, sialan, lu!" umpat Alletha. Ia hampir saja menyemburkan air dalam mulutnya.
Siska tertawa mendengarnya. "Lu kemana aja, sih? Dari tadi gue nyariin elu!" Ia kembali duduk di tempat kerjanya.
"Gue abis ke toilet tadi. Kebelet." Alletha menjawab.
"Tau gak, tadi big bos kita datang kesini, meriksa semua pegawai yang bekerja di bagian administrasi kaya kita." Siska berbicara dengan pelan, matanya tetap mengawasi sekitar. Ia takut tiba-tiba big bos datang.
"Serius, lu? Terus ngapain aja?" Jantung Alletha berdegup kencang. Firasatnya big bosnya itu akan mencari tahu tentangnya. Ia kembali meminum air yang sempat tertunda tadi karena kedatangan Siska.
"Serius lah, gue. Malahan tadi dia sempet nanyain lu," sahut Siska dengan suara yang hampir tak terdengar.
"Uhuk." Alletha terbatuk saat mendengar ucapan sahabatnya.
Siska mendekatkan kursinya dan menepuk-nepuk punggung Alletha. "Lu kenapa? Pelan-pelan dong minumnya, kok bisa keselek begini sih?"
Alletha memukul-mukul pelan dadanya. "Di-dia ngapain nyariin gue?" tanyanya setelah merasa enakan. Menurut Alletha seorang pemilik perusahaan tidak mungkin langsung turun tangan sendiri untuk mengontrol pegawai rendahan sepertinya. Biasanya sang big bos hanya akan meminta laporan dari kepala bagian.
Siska mengangguk. "Mana gue tau," jawabnya sembari mengedikkan bahunya.
"Terus dia ngomong apa lagi?" Kinan semakin penasaran. Ia takut jika dirinya akan dipecat karena telah menyerempet mobil mewahnya dan berlaku tidak sopan saat di toilet tadi.
"Gak ngomong apa-apa lagi. Di cuma nanya kemana, karena dia liat kusi sebelah gue kosong."
Alletha menghela nafasnya. "Huh, kirain." Ia berbicara sangat pelan.
"Kirain apa?" Siska mendelik menunggu jawaban dari sahabatnya.
"Gak apa-apa," jawab Alletha dengan santai. "Udah, ah. Bentar lagi jam pulang kerja. Gue mau kelarin kerjaan gue dulu. Gue mau buru-buru balik soalnya," imbuhnya kemudian.
Siska kembali fokus pada laptopnya yang sedari tadi menyala. "Tumben lu mau buru-buru balik. Biasanya juga lu males kalau balik cepet," tanyanya. Matanya tetap fokus pada layar laptop.