Bab 4 Akankah Mencampakkannya Lagi?
Amir sudah bertanya kepada semua orang yang ada di sana, tapi semuanya tidak mengetahui penyebabnya.
Mereka menggigil kedinginan di koridor, anggota Keluarga Limawan tidak ada yang mau bertemu dengan mereka, begitu saja sudah membuat mereka merasa sengsara.
Nyonya Intan adalah orang pertama yang melipir pergi, "Aku pergi melihat Shinta dulu …."
Shinta juga dirawat di dalam rumah sakit ini, hanya saja dia ada di departemen Ginekologi.
Amir dan Tuan Bagas juga sudah tidak kuat lagi, tapi mereka tidak berani pergi dan hanya bisa menunggu dengan tak berdaya ….
Mereka sudah merasa sangat marah di dalam hati, sayangnya mereka tidak tahu kalau semua ini hanyalah sebuah permulaan saja!
…
Fiona mendengar suara detak dari alat kesehatan, dia juga mendengar adanya suara orang yang sedang berbicara, hanya saja sangat kecil.
Namun, ada satu suara yang terdengar jelas olehnya ….
"Fiona, Fiona …. Hei, Fiona!"
"Cepat bangunlah, kalau kamu masih tidak bangun, aku akan …."
Suara itu berdengung, Fiona merasa seperti ada sekelompok lebah yang berdengung di telinganya, bisa dikatakan sangat berisik.
Suara siapa ini?
Bulu mata Fiona mulai berkedut, matanya perlahan-lahan juga terbuka, tapi pemandangan yang dilihat oleh matanya hanyalah dinding seputih salju.
Ada sekelompok orang yang mengelilingi ranjangnya, dia mengatupkan bibirnya, kemudian melihat sekeliling dengan waspada.
Melihat Fiona siuman, Robert orang yang paling bersemangat dan berkata, "Fiona, akhirnya kamu siuman! Aku adalah paman terkecilmu, Paman Robert …."
Semua orang dari Keluarga Limawan tidak ada yang berani berkutik, mereka hanya menatap Fiona dengan tegang.
Fiona merasa sangat bingung, "Paman Robert?"
Wajahnya yang cantik sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apa pun, wajahnya terlihat datar seperti boneka keramik yang lemah.
Kata 'Paman Robert' ini seperti kosakata yang terus diulang.
Tuan Bernard mengatup bibirnya dengan rapat, Fiona terlihat sangat lemah dan kurus, dia terbaring di ranjang dan terlihat ranjang itu sangat besar untuknya, sedangkan tubuhnya begitu mungil.
Hal ini membuat orang yang melihatnya merasa sangat sedih hingga tidak sanggup bernapas lega.
Robert melembutkan suaranya dan berkata, "Fiona, aku adalah kakak terkecil dari ibumu, namaku Robert Limawan. Sebelumnya kamu meneleponku, apakah kamu mengingatnya?"
Fiona menggerakkan matanya, kemudian baru mengiyakan setelah sekian lama.
Dia sudah mengingatnya ….
Dia melakukan panggilan telepon kepada Paman Robert.
Namun, mereka tidak memedulikannya.
Bukankah mereka tidak menginginkannya?
"Apakah … kalian datang menjemputku?" tanya Fiona dengan suara lemah.
Beberapa pria dewasa yang ada di samping ranjangnya mengangguk, Ricky berkata, "Fiona, aku adalah Paman Ketiga, kami datang untuk menjemput Fiona pulang ke rumah."
Tenggorokan Tuan Bernard seperti tersangkut sesuatu, dia baru berkata setelah menarik napas dalam-dalam, "Benar, kami datang untuk menjemput Fiona pulang, kelak tidak ada lagi yang boleh menyiksamu. Siapa pun yang menyiksamu, akan berurusan dengan Kakek."
Bola mata Fiona bergerak, dia melihat sekeliling.
Pulang ke rumah?
Fiona tidak yakin, setelah membawanya pulang ke rumah, akankah mereka mencampakkannya lagi?
Akankah mereka memukulnya dan tidak memperbolehkannya makan?
Melihat Fiona yang terdiam, beberapa pria dari Keluarga Limawan pun mulai cemas.
Mereka semua tidak mempunyai pengalaman dalam mengasuh anak, satu per satu melirik ke arah Richard dan Danny.
Putra pertama, Richard Limawan sudah berusia 40 tahun, dia mempunyai dua anak, sedangkan putra kedua Raymond Limawan berusia 38 tahun dan juga mempunyai dua orang anak.
Hanya saja, Richard tidak bisa membujuk anak kecil, dia langsung berkata, "Apa yang Fiona khawatirkan?"
Nada bicaranya tetap dingin seperti biasa, dia pun langsung mendapatkan tatapan tajam dari saudara-saudaranya setelah selesai berkata.
Raymond mendeham, dia adalah orang yang tidak suka berbicara, jadi dia tidak sanggup melontarkan sepatah kata pun dari tadi.
Saking cemasnya, dia sudah hampir berguling-guling di tempat.
Robert hanya bisa menghelakan napas, lalu membungkukkan badannya ke sisi ranjang, lalu membelai kepala Fiona dengan penuh kasih sayang, kemudian berkata dengan lembut, "Fiona, katakan pada Paman Robert, siapa nama Fiona?"
Fiona menatap langit-langit, dia baru bersuara setelah terdiam cukup lama, "Fiona tidak mempunyai nama, namanya Fiona ya Fiona saja."
Ayah sudah berkata kalau malas untuk memberikan nama padanya, ayah mengatakan akan memikirkan kembali setelah bibi melahirkan adik laki-laki.
Oleh karena itu, dia tidak mempunyai nama, nama Fiona adalah pemberian dari ibunya.
Mendengar hal ini, Robert pun merasa sangat sakit hati, nama saja anak ini tidak punya, bagaimana hari-hari yang dilewatinya selama tinggal di rumah Keluarga Kesuma?
Dia menahan amarah yang ada di hatinya, lalu kembali bertanya, "Kalau begitu, coba Fiona cerita kepada Paman Robert, apa yang sedang Fiona pikirkan?"
Fiona akhirnya fokus kembali, dia memalingkan kepalanya dengan berat, lalu menatap sosok yang bernama Paman Robert ini.
Hari ini, dunianya telah membeku dalam kegelapan, tapi orang yang ada di depan ini menerobos kegelapan seperti secercah cahaya.
Fiona menggerakkan bibirnya dan bertanya, "Paman Robert, apakah Fiona bisa makan setelah … pulang ke rumah?"
Begitu kalimat ini dilontarkan, semua orang yang ada di sana tercengang.
Apakah bisa makan setelah pulang ke rumah ….
Masih belum bereaksi, Fiona kembali bertanya dengan suara pelan, "Akankah Fiona dipukul lagi?"
Hanya dengan dua kalimat pendek seperti ini saja hampir membuat Tuan Bernard menangis.
Anak kecil ini bahkan takut tidak bisa makan saking takutnya dan takut akan dipukul.
Jadi, seperti apa perilaku yang didapat olehnya selama tinggal di kediaman Keluarga Kesuma?!
Makan tidak sampai kenyang, bahkan kedinginan saat musim dingin.
Tidak ada seorang pun di sampingnya ketika dia terbangun karena mimpi buruk, tidak ada juga yang mengurusnya ketika pakaiannya basah karena keringat di musim panas.
Tuan Bernard berbalik badan, wajahnya sudah tidak bisa dikontrol lagi, dia menahan air mata dengan sekuat tenaga, matanya memerah.
Beberapa putra dari Keluarga Limawan juga sangat marah dan mengepalkan tangannya dengan erat, karena takut menakuti Fiona, mereka pun tidak berani mengekspresikannya.
Robert menggenggam tangan mungil Fiona, menempelkan wajahnya dan berkata dengan suara serak, "Fiona sayang, nanti setelah pulang, Fiona bisa makan apa saja yang diinginkan, tidak ada yang akan memukulmu."
"Lihatlah, dia adalah Paman Pertama, ini Paman kedua, Paman Ketiga … mereka semua sangat hebat."
"Kami semua akan melindungi Fiona, tidak ada lagi yang bisa menyakiti Fiona."
Tangan mungil Fiona menggenggam selimut dengan erat, untuk waktu yang lama dia tidak bersuara.
Tepat di saat semua orang mengira Fiona tidak bersuara lagi, tiba-tiba Fiona berkata, "Paman Robert, Fiona tidak mendorongnya, ayah dan kakek terus meminta Fiona untuk mengaku, Fiona tidak mau …."
Fiona mengulang katanya dengan berat, wajahnya terlihat sangat menderita, tatapannya bahkan terlihat suram.
Fiona berpikir, apakah para pamannya benar-benar menyukainya?
Jika mengetahui dirinya tidak mau mengakui kesalahan, akankah mereka tetap menginginkan anak yang tidak patuh ini?
Tenggorokan Robert seperti tersangkut batu, matanya memerah, Tuan Bernard bahkan tidak bisa menahan dirinya untuk menyeka air mata di sudut matanya.
Richard berkata dengan tenang, "Paman Richard percaya padamu. Kamu benar kalau tidak mengakuinya."
Mendengar kata ini, mulut Fiona langsung melengkung ke bawah, air mata langsung mengalir dengan deras.
Dia seperti sudah lama menahan air matanya, akhirnya tidak ada yang mendengar perkataannya, jadi dia berlari keluar seorang diri.
Wajah Fiona tetap terlihat menyedihkan, tapi nada bicaranya tetap tegas, "Tapi, ayah tidak percaya pada Fiona."
"Ayah mengatakan kalau Fiona telah membunuh adik."
"Kakek juga berkata, kalau tidak mengakui kesalahan, maka Fiona tidak boleh keluar lagi."
Bocah kecil ini seperti telah menemukan tempat untuk mengadu, dia pun mengeluarkan semuanya seraya menangis.
Bagaimanapun juga, dia baru berusia 3 tahun, sekuat apa pun, tetap saja dia bisa merasa menderita.
Robert menahan amarahnya dan berkata, "Dia tidak pantas untuk menjadi ayahmu!"
Richard langsung menegurnya, "Robert!"
Robert hanya bisa menutup mulutnya, tapi dia tetap merasa marah dan kesal di dalam hatinya, teringat dengan Amir yang masih menunggu di luar sana, dia pun ingin membongkar ranjang besi ini dan membawa tongkat besi untuk memukulnya.
Fiona segera tertidur kembali setelah melontarkan beberapa kata dan menangis sejenak.
Di luar sana, Robert langsung bertanya dengan kesal, "Kak, kalau kita diam saja, bukankah hanya akan menguntungkan Keluarga Kesuma?"
Hanya bangkrut saja, mana cukup!
Terlihat Richard mulai melepaskan kancing yang ada di lengan bajunya dengan perlahan, lalu melipat lengannya ke atas dengan perlahan, setelah itu berkata dengan datar, "Delapan lawan satu, cukup tidak?"
Delapan orang menghajar satu orang!