Bab 1 Pembunuhan Ibu dan Anak
Di halaman belakang rumah Adipati Kota Jayakarta dari Dinasti Agung.
Seorang wanita berpakaian hijau sedang diseret di atas salju.
Di antara putihnya hamparan salju, noda darah di belakangnya tampak seperti pita merah yang mencolok.
Wanita itu dibuang di sebelah tumpukan kayu bakar yang disusun di atas salju. Dia sudah sekarat, lutut dan dahinya berdarah, sungguh pemandangan yang mengerikan.
Seluruh tubuhnya dipenuhi bekas cambukan. Bajunya robek dan kulitnya mengelupas. Bekas luka menganga di tubuhnya penuh dengan darah.
Yang lebih mengejutkan adalah, dia memiliki perut buncit. Dia seperti sedang hamil tujuh atau delapan bulan.
Tangannya mencengkeram salju, sambil berusaha keras untuk tetap membuka mata dengan sisa tenaga yang ada. Dia menatap pria berjubah sutra putih di depan lorong, dan bertanya dengan suara serak, "Setelah delapan tahun menjadi suami istri, kenapa kamu bisa sekejam ini?"
Willy Haris, Adipati Kota Jayakarta, menatap perempuan itu dengan tatapan dingin, "Celia Fenon, kalau kamu mau menyalahkan orang, salahkan saja nasib sialmu. Kamu sudah membunuh ayahku, kalau aku tidak membunuhmu, Fely juga akan celaka karenamu."
Fely Soron adalah istri kedua Willy, perempuan yang paling dia cintai. Setahun lalu, Fely mengandung, tapi jatuh sakit dan tidak kunjung sembuh. Seorang peramal mengatakan bahwa itu disebabkan oleh Celia yang pembawa sial. Jika Celia tidak dihabisi, anak dalam perutnya akan jadi pembawa petaka.
"Kamu itu pejabat tinggi kerajaan, tapi percaya pada omong kosong peramal itu?" Celia sangat marah hingga memukul tanah dengan tinjunya, membuat salju beterbangan.
"Willy, jangan sampai terpengaruh lagi. Cepat belah perutnya dan ambil anaknya, lalu bakar anak itu."
Seorang wanita paruh baya memakai baju sutra hitam dengan motif anak-anak kecil berbaju adat, duduk di sampingnya dan berkata seperti barusan dengan nada dingin.
Dia adalah istri dari mendiang Adipati Kota Jayakarta yang sebelumnya, dan merupakan ibu dari Adipati Kota Jayakarta yang sekarang, yakni Nyonya Linda.
Dia sudah lama membenci menantunya. Jika bukan karena dulu Celia secara tidak sengaja menyelamatkan Tuan Besar Haris sebelumnya, perempuan itu tidak akan pernah menjadi menantunya.
Seorang wanita kasar yang hanya pandai berlatih bela diri, mana bisa menjadi istri seorang adipati?
"Itu semua rencana licik Fely! Dia sudah membayar peramal itu!" Celia memegangi perutnya, hatinya penuh dengan kebencian. Fely sedang hamil, sama sepertinya. Tapi kenapa malah anaknya yang harus mati?
"Kamu malah memfitnah Fely?" Willy sangat marah. Dia berjalan cepat dan menampar wajah Celia. Darah segar muncrat dari ujung mata Celia yang terluka, bahkan hingga mengenai wajah pria itu.
"Kalau bukan karenamu, kamu kira aku akan kalah dalam Pertempuran di Timur?"
Pria itu tidak akan pernah mau mengakui kekalahannya. Padahal selama ini dia sudah berulang kali memimpin pasukan untuk berperang, dan saat dia tidak mengajak Celia, pasukannya justru kalah. Baginya, semua itu pasti karena perempuan pembawa sial tersebut.
Celia tertawa sinis. Tawanya membuat lipatan di wajahnya membentuk garis merah darah di sekitar mata. Dia jadi terlihat menyeramkan, "Itu semua karena ambisi dan kerakusanmu yang selalu ingin menang! Tapi kamu malah berani bicara begitu?"
"Diam kamu!" Wajah Willy tampak seperti monster yang ingin memakan manusia. Dia menendang Celia hingga jatuh ke tanah, kemudian mengambil sebilah pisau tajam dan merobek baju perempuan itu. Kini perut buncit Celia yang putih pucat itu pun terekspos.
Celia menatap pria yang wajahnya tampak menggila dan dikuasai amarah. Tubuh Celia sendiri gemetar menahan sakit, tapi dia tetap memohon dengan keras, "Tolong, biarkan aku melahirkan anak ini, baru setelah itu kamu bisa membunuh atau mencincangnya, terserah kamu."
"Jangan harap!" Willy memegang pisau, dia menggertakkan giginya dengan marah.
"Ibu, ibu!" Celia melihat Nyonya Linda dengan panik, dan berkata dengan susah payah, "Aku sedang mengandung cucumu, kumohon, selama ini aku selalu patuh padamu. Tolong, tolong biarkan aku melahirkan anak ini, aku mohon."
Dia berusaha keras untuk merangkak ke depan seperti anjing. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya dengan keras ke arah Nyonya Linda hingga dahinya bengkak dan terus berdarah. Dia masih terus memohon.
Nyonya Linda memasang tatapan dingin. Dia tidak terpengaruh oleh adegan di depannya, dan hanya berkata dengan dingin, "Jangan panggil aku ibu, kamu tidak pantas memanggilku ibu. Kalau bukan karena Tuan Besar dulu bersikeras membiarkanmu masuk, mana mungkin kamu bisa menjadi menantu perempuan Keluarga Haris? Berhenti bermimpi!"
Celia tahu bahwa memohon tidak ada gunanya. Dia mengepalkan tangan penuh amarah, lalu menatap Willy dengan sebelah matanya yang masih bisa melihat. Kemudian berkata dengan putus asa dan marah, "Willy Haris, selama lima tahun aku menjadi istrimu, apa kamu pernah menang tanpa dukunganku dari belakang? Kamu jadi panglima, sementara aku berada di barisan depan. Berapa banyak jasa yang telah kuberikan agar kamu bisa mewarisi gelar Adipati Kota Jayakarta? Sekarang kamu malah memanjakan selir dan membunuhku! Membunuh darah dagingmu sendiri! Kamu tidak akan mati dengan tenang!"
Tatapan Willy penuh dengan amarah. Dia kembali mengayunkan kakinya dan menendang dagu Celia dengan keras. Tubuh Celia sampai terlempar jauh dan menghantam tanah, bahkan nyaris pingsan di tempat.
Di tengah kesadarannya yang makin menipis, Celia mendengar suara Nyonya Linda berkata dengan buru-buru, "Willy, cepat ambil anak itu! Kakakmu dan Fely bilang kalau anak itu harus dikeluarkan saat ibunya masih hidup, lalu dibakar. Dengan begitu baru bisa menghilangkan kesialan."
Pisau sedingin es menempel di perut Celia. Dengan sisa tenaga terakhir, Celia membungkukkan badan dan berusaha sekuat tenaga untuk melindungi anak dalam perutnya.
Di tengah tatapan mata Celia yang dipenuhi merah darah, dia melihat Fely berdiri di balik pilar koridor dengan tatapan puas dan merasa menang.
Fely, sepupu kesayangannya itu, tiba-tiba mengaku mengandung anak Willy setelah dia dan Willy resmi bertunangan. Fely lalu mengajak Wily datang ke Mansion Marquis, memaksa Celia agar mau menerimanya menjadi istri kedua Willy.
Ibu tirinya juga berusaha membujuknya pada saat itu, dan akhirnya dia setuju untuk membiarkan Fely menjadi keluarga.
Bagaimana dia bisa begitu bodoh pada saat itu?
Hati Celia dipenuhi dengan kemarahan dan kebencian, dia menatap tajam Willy.
Willy juga menatap matanya yang penuh darah. Ketika pria itu membelah perut Celia, tangannya sedikit gemetar. Semua gelar pangilma besar yang katanya tegas di medan perang, ternyata hanya karena ada Celia yang selalu menopangnya dari belakang.
Nyonya Linda menatap Willy dengan tatapan tajam, sambil berkata dengan nada yang seram. Dia seperti sosok yang datang dari neraka, "Bunuh dia. Baru setelah itu kamu bisa pergi melapor ke kaisar di istana. Katakan saja kalau Celia berkhianat, bersekongkol dengan musuh dan membocorkan rahasia militer. Itulah yang menyebabkan kekalahan besar dalam Pertempuran di Timur. Kalau tidak, kamu harus menanggung kekalahan dalam perang ini sendirian. Lagipula, Celia kan memang pembawa sial yang akan membawa bencana bagi keluarganya. Dia tetap akan mati cepat atau lambat. Justru lebih baik kalau sekarang dia bisa mati demi menanggung kesalahanmu."
Oh, jadi begitu … jadi semua ini karena hal itu.
Celia memuntahkan darah segar. Apa yang dikatakan oleh peramal itu hanyalah alasan. Ternyata dia hanya dijadikan kambing hitam. Dasar pengecut! Dasar sampah!
"Willy, kamu tidak layak disebut pangilma, kamu sampah!" Celia mengutuk dengan penuh kebencian.
Mendengar kata-katanya, Willy pun marah dan menamparnya, "Dasar wanita murahan! Aku akan membunuhmu!"
Dia mengangkat pisau dingin itu ....
Rasa sakit yang tajam datang dari perutnya. Celia sudah sering terkena sabetan pisau dan pedang dalam hidupnya. Dia pernah sekali hampir mati ketika panah musuh menembus jantungnya dari samping. Tapi dia tidak pernah merasakan sakit seluar biasa sekarang. Rasa sakit ini begitu menusuk hati, sakit yang membuatnya tidak bisa bernapas.
Dia melihat wajah Willy yang sangat mengerikan. Dia bisa merasakan perutnya dibelah menggunakan pisau. Rasa sakit itu menusuk jantung dan paru-paru, membuatnya berteriak keras. Dia berjuang keras menggunakan kedua tangannya untuk mencakar wajah Willy hingga berdarah.
Nyonya Linda menatap adegan ini dengan tatapan dingin. Jika dia tidak memberikan obat terlebih dahulu hari ini, dia tidak akan bisa menangani Celia.
Keluarga Haris tidak bisa menanggung dosa kekalahan perang. Semua orang tahu bahwa Willy pasti akan membawa Celia ketika pergi berperang. Hanya dengan melimpahkan semua kesalahan ke Celia, Willy bisa menjaga reputasi dan martabat keluarga Adipati Kota Jayakarta.
Napas Celia makin lemah, dia seolah melihat cahaya membelah kepalanya.
Dia berusaha membuka matanya, tapi ternyata cahaya itu hanyalah api di sampingnya. Dia kemudian melihat anaknya yang baru saja dikeluarkan paksa dari perutnya, dilemparkan ke dalam api yang berkobar-kobar.
"Tidak ... tidak!" Celia merasa hancur. Entah dari mana dia mendapatkan kekuatan hingga mampu menyeret tubuhnya yang berdarah-darah itu menuju kobaran api, "Anakku, anakku!"
Api membakar rambut dan pakaiannya, tapi dia tidak merasakan sakit. Dia terus menangis keras.
Tangisan itu disertai dengan suara mengutuk keras, "Willy, kalaupun aku jadi setan gentayangan, aku akan membalaskan dendamku pada Keluarga Haris."
Api berderak, suara makian itu perlahan-lahan meredup.
Api membakar habis tubuh Celia, hanya menyisakan mayatnya yang sudah hangus. Di dalam pelukan mayat itu, ada sepotong arang kecil.
Nyonya Linda menghela napas panjang, akhirnya Celia mati. Perempuan pembawa sial itu akhirnya mati. Kata peramal tadi, membakar anak perempuan itu akan menghilangkan semua kesialan.
Bahkan Celia juga ikut mati. Ini memang keberuntungan bagi Keluarga Haris. Setidaknya, Keluarga Haris tidak perlu menanggung dosa kekalahan perang.