Bab 4 Di Mana Dia Bersekolah SMA
Orang yang datang berkumpul semakin banyak, mereka semua mendengar suara di ujung ponsel.
Semua orang yang hadir tercengang.
Walaupun Keluarga Limawan bukanlah keluarga terkaya di Kota Aksana, mereka juga merupakan salah satu keluarga kaya paling terkemuka di Kota Aksana.
Jadi, anak-anak dari keluarga kaya punya uang saku total milaran setiap bulan, itu sangat normal.
Mereka tidak pernah mendengar ada putri keluarga kaya yang tidak punya uang saku sepeser pun setiap bulan.
Keluarga Limawan memang sangat unik.
Tidak heran Lenny berpakaian lusuh, dia bahkan tidak punya gaun yang layak untuk menghadiri pesta.
Walaupun dia tidak dibesarkan di sisinya, dia adalah putri kandung Keluarga Limawan. Anak kandung tidak diberikan sepeser pun, tapi putri angkatnya diberikan dua miliar setiap bulan dan dimanjakan.
Keluarga Limawan membiarkan hal yang tidak masuk akal ini terjadi, ini menunjukkan bahwa semua anggota keluarga ini sangat linglung.
Para tamu berbisik-bisik sendiri, Hengky merasa seolah-olah ada duri di punggungnya, wajahnya merah karena malu dan marah.
Dia tidak percaya hal memalukan seperti ini bakal terjadi pada Keluarga Limawan.
Keluarga Limawan kaya dan berkuasa, jadi mereka tidak mungkin pelit kalau hanya memberi uang saku beberapa ratus juta kepada kerabat sendiri.
Hengky segera menanyai Lenny dengan suara dingin, "Meskipun departemen keuangan tidak memberimu uang, ayah dan ibu pasti memberimu uang saku."
Wajah Lenny menunjukkan sarkasme, dia menatap ayah dan ibu Keluarga Limawan di tengah kerumunan sambil berkata dengan tenang, "Tuan Gito dan Nyonya Nia memberiku uang saku atau tidak, sebaiknya Tuan Muda Hengky tanyakan langsung kepada mereka. Bagaimanapun juga, kamu tidak akan percaya dengan ucapanku, tetapi kamu pasti akan percaya dengan ucapan orang tuamu."
Ayah dan ibu Keluarga Limawan tiba-tiba menegang, mereka merasa malu untuk menatap mata Lenny.
"Ayah, Ibu, kalian pasti memberinya uang saku, 'kan?" Hengky memandang mereka dengan serius.
Tatapan mata Tuan Gito mengelak, "Kupikir kamu bakal kasih dia, jadi aku ...."
Tatapan mata Nyonya Nia dipenuhi rasa bersalah, air mata mengalir di matanya. Dia berkata dengan sedih, "Aku juga mengira kamu bakal ... Lenny, kenapa kamu tidak bilang lebih awal kalau kamu tidak punya uang? Kalau kamu bilang dengan ibu lebih awal, ibu pasti memberimu uang."
"Ini semua salah ibu. Ibu tidak tahu sebelumnya, membuat kamu begitu sengsara. Tapi kamu harus percaya kalau ibu sangat adil terhadap kamu dan Yunita."
Lenny menatapnya sambil setengah tersenyum. Di bawah tatapan acuh tak acuhnya, Nyonya Nia menundukkan matanya karena canggung.
Lenny juga baru tahu hari ini kalau ibu kandungnyalah yang melarang departemen keuangan memberinya uang. Bukan hanya itu saja, dia bahkan menambah uang saku Yunita sampai dua miliar, karena takut mengecewakan putri angkatnya yang tercinta.
Sikapnya begitu pilih kasih, tapi dia masih berani bilang kalau dia memperlakukan semua orang sama.
Sebagai nyonya keluarga kaya, dia makan dan mengenakan barang-barang terbaik. Sepasang kaus kaki harganya ratusan ribu, mana mungkin dia tidak mengenali kualitas kain pakaian putri kandungnya sendiri, yang harganya dari ujung kepala sampai ujung kaki tidak sampai dua ratus ribu?
Bukannya dia tidak bisa melihat, dia hanya tidak peduli.
Minta maaf, hanyalah sikap pura-pura di depan orang luar.
Untungnya, dia sudah melihat wajah-wajah buruk semua anggota keluarga ini, hatinya sudah lama dilatih agar kebal terhadap semua racun. Selama dia tidak punya ekspektasi apa pun terhadap mereka, dia tidak akan bisa dihancurkan.
Melihat Lenny tidak menghiraukan permintaan maaf ibu dan membuat Keluarga Limawan kehilangan muka di depan semua orang, rasa bersalah yang baru saja muncul di hati Hengky lenyap sesaat.
Dia memarahi dengan suara dingin, "Kamu punya mulut, kamu tidak bisa bilang? Kami bukan cacing dalam perutmu, siapa yang tahu apa yang kamu pikirkan? Kalau kamu bilang lebih awal, mana mungkin kami tidak memberimu uang?"
"Aku sudah bilang." Suara Lenny ringan tapi dingin, "Hanya saja kalian tidak menganggapnya serius."
Hengky mengerutkan kening dan hendak menyangkalnya, saat ini sebuah ingatan tiba-tiba muncul dalam benaknya.
Suatu sore, keluarga mereka yang beranggotakan empat orang sedang duduk di sofa, mengobrol dan tertawa.
Lenny datang dengan malu-malu, sambil memegang erat ujung seragam sekolahnya. Belum sempat mengatakan apa pun, wajahnya sudah memerah.
Dia menahannya cukup lama, lalu berkata dengan suara rendah, "Ayah, Ibu, apakah kalian bisa memberiku sepuluh juta untuk biaya sekolah ...."
"Plak!"
Dia melempar koran di tangannya ke atas meja kopi sambil menatap Lenny dengan marah, kemudian menuduhnya, "Uang, uang, uang. Kamu hanya tahu uang, apakah kamu kembali ke keluarga ini hanya untuk meminta uang? Kalau Keluarga Limawan tidak punya uang, maka kamu tidak akan kembali? Aku benar-benar tidak tahu kenapa ayah dan ibu ingin membawamu kembali."
"Kalau tidak punya kegiatan, belajarlah lebih giat. Yunita menduduki peringkat kesepuluh dalam ujian bulanan pertama SMA kelas satu. Berapa peringkatmu?"
"A, aku pertama ...."
"Sudah, sudah, kamu pertama dari hitungan terakhir, masih berani mengungkitnya."
Dia sudah meminta departemen keuangan untuk mentransfer satu miliar ke rekeningnya setiap bulan, tetapi dia masih meminta sepuluh juta.
Yunita bahkan tidak punya uang sebanyak itu, dan dia juga tidak memikirkan alasan untuk memilikinya.
Air mata Lenny langsung mengalir, seolah-olah teraniaya sangat parah.
Hengky hanya merasa kesal, bahkan tidak berminat untuk membaca koran berita keuangan.
Untungnya, Yunita cukup bijaksana, dia menjabat tangannya dengan genit, "Kakak, aku mendapat peringkat kesepuluh dalam ujian kali ini, apakah ada hadiah?"
Bagaimana mungkin dia bisa menolak godaan adiknya yang lembut dan imut ini? Dia segera melupakan kekesalannya terhadap Lenny, dia mencubit wajah kecilnya dan bertanya dengan penuh kasih sayang, "Yunita, kamu mau hadiah apa?"
"Aku menyukai sebuah tas yang harganya dua ratus juta. Kakak bisa membelikannya untukku tidak?"
"Boleh, boleh, asalkan Yunita suka, aku akan membelikannya untukmu walaupun harganya dua miliar, apalagi ini hanya dua ratus juta."
Sesudah membujuk Yunita, dia dengan marah memarahi Lenny, "Kenapa kamu masih diam di sini? Kembalilah ke kamarmu, belajar dengan giat."
Lenny merasa sangat sedih, dia berbalik dan lari.
Ayah dan ibu Keluarga Linawan mendesah bersamaan.
"Seandainya saja Lenny bisa memiliki setengah dari sifat pengertian seperti Yunita."
...
...
"Tuan Muda Hengky, apakah kamu sudah ingat?"
Suara Lenny menyadarkannya kembali. Hatinya hancur berkeping-keping saat mendengar Lenny memanggilnya Tuan Muda Hengky.
Dia adalah kakaknya, kakak kandungnya, bukan Tuan Muda Hengky.
Tetapi semenjak keluar dari penjara, Lenny bahkan tidak mau memanggilnya kakak.
Hengky tampak murung dan berkata dengan marah, "Itu juga karena kamu kurang dalam belajar dan mendapat peringkat terakhir dalam ujian. Kamu berani minta uang, aku pun merasa segan memberimu hadiah."
Mendengar ini, mata Lenny menjadi lebih dingin. Saat ditatap oleh sepasang mata yang begitu kejam, Hengky entah kenapa merasa bersalah. Lenny kemudian menggertakkan gigi sambil berteriak, "Aku baru mengucapkan dua kata, kamu sudah tidak mau mendengarkanku."
"Selama tiga tahun di SMA, nilai-nilaiku selalu menduduki peringkat pertama di kelas setiap tahun. Kenapa Tuan Muda Hengky bisa bilang aku peringkat terakhir di kelas?"
Melihat ekspresi Hengky yang tidak percaya, Lenny melengkungkan bibirnya sambil mencibir, dalam hatinya muncul perasaan dendam, "Benar juga, Tuan Muda Hengky bahkan tidak tahu aku sekolah di mana, wajar saja kalau tidak tahu prestasi akademisku."
Hengky seperti tersambar petir, dia berdiri di sana dalam keadaan linglung.
Dia seperti mendengar sesuatu yang tidak biasa, suaranya sedikit serak, "Bukannya kamu sekolah di SMA Binakarya?"
Binakarya adalah SMA bangsawan terbaik di Kota Aksana. Yunita lulus dari Binakarya, semua anak dari keluarga kaya dan berkuasa di Kota Aksana bakal menyekolahkan anak-anak mereka di SMA ini.
Hengky berasumsi bahwa Lenny juga belajar di Binakarya.
Tiba-tiba dia menatap Tuan Gito dan Nyonya Nia, suaranya bergetar, "Ayah, ibu, sesudah Lenny kembali, kalian tidak mengurus perpindahan sekolahnya?"
"..."
Wajah Tuan Gito memerah, dia membuka mulut tetapi hanya mengucapkan beberapa suku kata yang tidak jelas. Seolah-olah tulang punggungnya sudah hilang dan keagungannya yang dulu sudah sirna.
Bibir Nyonya Nia sedikit bergetar, matanya tampak panik dan tidak berdaya, riasan wajahnya yang diaplikasikan dengan hati-hati tidak dapat menyembunyikan rasa malu di wajahnya.
Mereka berdua hanya berdiri kaku di sana, udara di sekitar seakan membeku.
Wajah Hengky semakin pucat pasi, pandangannya terhadap Lenny sebelumnya sudah runtuh seperti bangunan. Segala penghinaan dan rasa jijik terhadap Lenny berubah menjadi bilah-bilah tajam, menusuknya tanpa ampun.
Dia hampir tidak dapat bersuara, tenggorokannya seperti dicekik oleh seseorang, suara yang diucapkannya bergetar hebat, "Lenny, selama tiga tahun SMA, kamu sekolah di mana?"