Bab 8 Tidak Melibatkan Keluarga Limawan
Di garasi Keluarga Limawan, Hengky duduk di dalam mobil sambil memeriksa dasbor.
Selama lima belas menit perjalanan dari penjara ke rumah, Lenny berpegangan pada kakinya dan tubuhnya menempel di jendela mobil, dia tetap seperti itu sepanjang perjalanan.
Jangankan mengutak-atik gaun itu, dia bahkan tidak meliriknya.
Saat memikirkan adegan bagaimana mereka menjebak Lenny, dan juga adegan Lenny menghadapi mereka dengan ekspresi dingin.
Hengky merasa tertekan, hatinya dipenuhi rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri.
Dia menatap ke depan dengan tatapan kosong, tatapan dingin dan tegas Lenny terus menerus muncul dalam pikirannya.
Dalam ingatannya, Lenny sangat suka tersenyum.
Setiap kali pulang ke rumah, dia akan menyambutnya dengan senyuman, memanggilnya kakak dengan penuh kasih sayang, menyajikan teh dan air, dan selalu berkata, "Kakak, kamu sudah bekerja keras."
Tetapi sekarang dia tampak seperti orang yang berbeda.
Hengky hanya merasa sakit kepala, dia memejamkan mata dan bersandar lelah di kursi kulit.
Entah berapa lama waktu berlalu, tiba-tiba terdengar suara lembut Lenny dari kejauhan, "Bibi Wuri, tidak perlu mengantarku, kamu cepat kembali."
"Nona, kamu harus berhati-hati, hubungi aku kalau ada kesulitan."
Hengky tiba-tiba membuka matanya dan melihat Lenny dan Bibi Wuri berdiri di depan pintu vila.
Keduanya berbincang sejenak, kemudian Lenny berbalik ingin pergi.
Melihat ini, Hengky buru-buru keluar dari mobil sambil berteriak pada Lenny, "Lenny, kamu mau ke mana?"
Raungan itu terdengar bagaikan guntur di halaman yang sunyi, Bibi Wuri sangat ketakutan sampai seluruh tubuhnya gemetar, "Tuan Muda, kenapa kamu di sini, kamu bukannya ...."
Hengky menatapnya dengan tatapan dingin, membuat Bibi Wuri terdiam ketakutan. Kemudian dia dengan dingin memerintahkan Lenny, "Lenny, berhenti."
Akan tetapi, Lenny tampaknya tidak mendengarnya dan terus berjalan tertatih-tatih ke depan.
Pengabaian ini membuat Hengky merasa panik.
Sebuah pikiran langsung muncul di benaknya, Lenny bakal pergi dari Keluarga Limawan.
Dia sangat cemas, dia bergegas menghampiri Lenny dengan langkah besar, lalu meraih lengannya, "Apakah kamu tuli? Kamu tidak dengar aku suruh kamu berhenti?"
Lenny berbalik dan melihat ternyata itu Hengky, ekspresinya berubah.
Benar, dia memang tidak dengar.
Selama tahun pertamanya di penjara, karena sering ditampar, telinga kirinya tuli dan pendengaran telinga kanannya pun jadi tidak begitu baik.
Kalau tidak berbicara dengannya secara langsung dalam jarak dekat, dia sering kali tidak dapat mendengarnya dengan jelas.
Lenny menarik kembali pandangannya dan dengan keras kepala berusaha menarik tangannya, "Lepaskan aku."
Melihat Lenny begitu keras kepala, rasa bersalah Hengky langsung tergantikan oleh api amarah, "Kamu masih mau ribut? Hari ini adalah hari ulang tahun Yunita, kamu baru saja membuat keributan di aula perjamuan dan sekarang kamu ingin kabur dari rumah, kenapa kamu begitu tidak pengertian?"
Sesudah bicara, terlepas dari perlawanan Lenny, dia meraih lengan Lenny dan menyeretnya, "Kembali bersamaku sekarang."
Tangan Hengky seperti penjepit besi, kekuatannya semakin kuat. Lenny hanya merasakan nyeri yang tajam di lengannya, seolah-olah tulangnya akan hancur.
Dia merasa sedih, matanya merah dan air mata mengalir di matanya, dia berteriak lagi, "Aku tidak akan kembali, biarkan aku pergi."
Tubuhnya terhuyung-huyung saat Hengky menariknya. Setiap langkah yang diambilnya sangatlah sulit. Kakinya yang terluka tidak mampu menopang beban dan semakin lama semakin lemah.
Bibi Wuri dengan cemas menasihatinya, "Tuan Muda, jangan bersikap kasar, nona masih terluka."
Mendengar ini, mata Hengky berkilat kasihan, dia sedikit melonggarkan cengkeramannya pada Lenny tetapi tidak melepaskannya.
Dia menatap Lenny sambil mengerutkan kening, "Pulanglah bersamaku."
"Sekalipun aku mati di luar, itu lebih baik daripada tetap tinggal di rumah Keluarga Limawan." Lenny dengan keras kepala mendorongnya.
Hengky benar-benar marah pada Lenny, dan dalam sekejap, akal sehatnya langsung ditelan oleh amarah.
Dengan marah, dia mengangkat kakinya dan menendang kaki Lenny, "Kamu mau pulang atau tidak?"
Dia hanya ingin memberi Lenny sedikit hukuman, tetapi tidak disangka Lenny bakal berteriak dan terjatuh dengan keras ke tanah.
Dia memegang kakinya yang terluka erat-erat dengan kedua tangannya, tubuhnya meringkuk seperti bola, wajahnya sepucat kertas, butiran keringat dingin terus keluar dari dahinya, dan air mata mengalir deras seperti banjir. Hanya rintihan kesakitan yang bisa keluar dari tenggorokannya, dia kesakitan sampai tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Melihat dia kesakitan, Hengky merasakan sakit yang tumpul di hatinya dan berkata dengan panik, "Aku hanya menendangmu dengan ringan, berhentilah berpura-pura."
Namun ada getaran dan rasa bersalah yang jelas dalam suaranya.
Bibi Wuri terkejut dan segera berjongkok, "Nona, Nona, ada apa denganmu?"
Rasa sakit yang menusuk tulang di kakinya tiba-tiba membawanya kembali ke tiga tahun lalu, tahun kedua dia dipenjara.
Dia tak dapat lagi mengingat kenapa dia dipukuli, tetapi dia ingat dengan jelas sekelompok orang mengangkat tongkat kayu berat tinggi-tinggi dan memukul betisnya dengan ganas berulang kali.
Dia menangis dan memohon belas kasihan, tetapi mereka tetap memukulinya dengan kejam. Mereka mematahkan enam batang kayu setebal lengan dan mematahkan kakinya, baru kemudian berhenti.
Wanita yang memimpin itu menjambak rambutnya dan memperingatkannya, "Jangan pernah berpikir untuk mengadu kepada sipir penjara. Aku tidak takut untuk mengatakan bahwa kamu sudah menyinggung seseorang yang seharusnya tidak kamu singgung. Seseorang secara khusus meminta kami untuk memperhatikanmu."
Pandangan Lenny mulai kabur, tubuhnya bergetar hebat, dia terus bergumam, "Aku sudah salah, maafkan aku, aku sudah salah, maafkan aku ...."
Suaranya penuh ketakutan dan putus asa, seperti binatang terluka yang meratap tak berdaya.
Bibi Wuei sudah menangis tersedu-sedu dan bertanya dengan cemas, "Nona, apa yang terjadi padamu?"
"Sakit sekali, sakit sekali."
Empat kata pendek ini bagaikan jarum baja yang menusuk jantung Hengky, "Aku tidak menggunakan kekuatan apa pun, kenapa kamu bisa sakit?"
Bibi Wuri tidak mempedulikan Hengky, dia segera dengan hati-hati mengangkat celana panjang Lenny.
Dalam sekejap, pemandangan yang mengejutkan muncul di depan mata.
Betis Lenny cacat parah, tulang yang dulunya lurus kini terpelintir pada sudut yang aneh. Kulitnya ditutupi dengan bekas luka baru dan lama yang bersilangan. Beberapa luka bahkan belum sepenuhnya pulih, masih merah dan bengkak, sedangkan luka lainnya sudah meninggalkan bekas yang mengerikan.
Akibat nyeri jangka panjang, otot-otot seluruh kaki mengalami atrofi, sehingga terlihat kurus dan rapuh, seperti ranting mati jika dibandingkan dengan kaki yang normal.
Mata Hengky tertuju pada kaki Lenny yang mengerikan.
Tubuhnya seolah-olah tak bisa bergerak, membeku di tempat dan otaknya seakan-akan terhantam keras, dia langsung merasa pusing.
"Kenapa bisa begini? Dia tampaknya baik-baik saja saat dipenjara. Bagaimana mungkin dalam waktu lima tahun ...." Dia bergumam sendiri.
Seolah-olah dia teringat dengan sesuatu, dia kemudian tidak bisa mengatakan apa-apa.
Di sana adalah penjara, tempat para penjahat ditahan. Lenny yang berusia delapan belas tahun, bagaimana mungkin bisa menjalani kehidupan yang baik di sana?
Hatinya hancur berkeping-keping dan matanya langsung memerah.
Dia menggertakkan giginya, menahan rasa sakit yang hebat di hatinya. Dia melangkah maju dan menggendong Lenny, kemudian bergegas masuk ke vila tanpa mempedulikan apa pun.
Langkahnya tergesa-gesa dan panik, tetapi saat sampai di ruang tamu, dia terkejut karena menyadari bahwa dirinya bahkan tidak tahu di kamar Lenny.
Selama bertahun-tahun, dia kurang memperhatikan adiknya ini.
Hengky memejamkan mata sambil bertanya, "Bibi Wuri, di mana kamar Lenny?"
"Tuan Muda, sebelah sini." Bibi Wuri bergegas memimpin jalan.
Hengky mengikuti Bibi Wuei dari dekat, tetapi semakin jauh dia berjalan, alisnya semakin berkerut.
Dia tidak pernah tahu ada ruangan terpencil seperti itu di rumah.
Saat Bibi Wuri membuka pintu kamar gudang, yang dilihat Hengky hanyalah ruangan sempit, gelap, lembab, penuh barang berantakan, dan bahkan tidak ada jendela.
Pupil matanya perlahan membesar, matanya tampak heran, "Lenny, tinggal di sini?"