Bab 2 Hadiah dari Citra Widianto
Citra telah menyusul dari belakang, melihatku yang mematung di depan pintu, dia pun langsung mengulurkan tangannya dan melambaikannya beberapa kali padaku.
"Editor Danita, jangan menggodanya lagi, dia ini adiknya Axel dan baru datang dari desa. Jangan mengejutkannya seperti ini."
Akhirnya, aku baru tahu kalau gadis itu bernama Danita Chandra yang merupakan istri dari wakil dekan, dia sudah kepala tiga, tapi wajahnya terlihat seperti anak berusia 20 tahunan. Dulunya dia merupakan seorang penyanyi solo dan sekarang telah menjadi editor musik untuk sebuah stasiun televisi. Dia sangat cantik dan anggun.
Rumahnya berada di sebelah kanan, kedua balkon dari rumah ini hanya dibatasi tembok tebal yang terbentang.
"Oh, dia adiknya Asisten Profesor Axel, ya. Adik kandung?"
"Apa yang kamu katakan? Tentu saja kandung, tahun ini baru masuk ke kampus kita."
Danita melirik seluruh tubuhku, mulutnya memang sedang berbicara dengan Citra, tapi tatapannya tidak berpaling dariku, "Kenapa aku merasa kalian sedang memerankan novel ‘Petualangan Ximen dan enam istrinya’, ya?"
"Maksudnya?"
"Meskipun postur tubuh Asisten Profesor Axel tidak pendek, tetap saja tubuhnya kurus dan tipis. Kalau kita menganggap adiknya adalah ‘Wu Song’, maka dia adalah ‘Wu Dalang’. Jadi maksudku, Bu Citra tidak memerankan sosok Jin Lian, bukan?"
Citra memberikan lirikan sinis, "Editor Danita, perkataan ini tidak pantas dilontarkan oleh seorang istri kepala, loh! Jangan menganggapnya seperti anak kecil, dia sudah dewasa, apa yang tidak dimengerti olehnya?"
Danita tertawa keras, "Sudah, sudah … jangan bicarakan yang tidak-tidak lagi, sudah beres, belum? Kalau sudah beres, ayo kita pergi … mereka masih menunggu kita nih!"
"Ayo, jalan!" Citra menoleh ke arahku, "Lakukan kegiatanmu kalau sudah selesai sarapan, tinggalkan saja semua yang ada di meja, nanti biar aku bersihkan setelah pulang."
"Ya."
Aku mengangguk dengan sopan ke arahnya.
Ketika pergi, Danita masih sempat menoleh untuk melirikku sekilas, lalu berbisik kepada Citra, "Anak itu sangat pemalu, ya! Jangankan datang dari desa, anak-anak di pedesaan sekarang juga tidak bisa diremehkan …."
"Sudah … sudah, kamu ini istri dari orang terhormat, apa tidak bisa sedikit bermartabat? Kalau orang-orang yang tidak tahu identitasmu sebagai pekerja seni, bisa-bisa orang-orang mengira keluarga para dekan di kampus kita tidak benar!"
"Gila, kamu memarahiku tanpa berkata kasar?"
Kedua orang itu berbincang sambil tertawa dan berjalan menjauh, aku hanya melihat mereka masuk ke sebuah mobil kecil.
Ketika membuka pintu mobil, lagi-lagi Danita kembali menoleh untuk melirikku, aku pun langsung menutup pintu karena terkejut, jantungku berdetak kencang.
Aku bisa merasakan ketika dia menatapku, selain dua mata besarnya yang jernih, aku bisa merasakan sepasang mata yang menatapku jauh lebih dalam.
Sebenarnya, aku masih belum terlalu memahami tentang hubungan antara pria dan wanita, aku bahkan tidak tahu bagaimana cara untuk menghadapi seorang wanita. Sama halnya seperti Danita yang sudah menikah, aku benar-benar tidak bisa membayangkan masa lalunya.
Jiwaku telah diambil oleh Citra sejak awal, hanya karena aku adalah seorang yang mempunyai kesabaran, maka aku harus bisa mengubah targetku, aku hanya perlu mengalihkan obsesiku darinya kepada Danita.
Jika benar-benar ingin dibuat perbandingan, maka aku jauh lebih menyukai wanita seperti Citra. Dia begitu tinggi dan montok.
Namun, aku mempunyai rintangan yang selamanya tidak bisa aku lewati antara aku dan Citra, itu adalah Axel! Sedangkan Danita, dia benar-benar berbeda.
Kehadirannya membuatku merasa bahwa segala hal bisa saja terjadi.
Terutama dengan tatapannya yang tadi, dia bahkan kembali melirikku ketika hendak masuk ke dalam mobil, tatapannya bagaikan sengatan listrik padaku.
Sepanjang pagi ini, aku bagaikan seekor semut yang cacing kepanasan, bayangan Citra dan Danita tak berhenti muncul di dalam benakku. Bahkan di saat aku sedang bersantai di sofa sambil menonton televisi, hatiku yang begitu bersemangat sama sekali tidak bisa tenang.
Tepat di saat hendak jam 12 siang, tiba-tiba terdengar suara tertawa dari luar pintu.
Aku bisa mendengarkan dengan jelas kalau suara itu merupakan suara Citra yang sedang berbincang dengan Danita. Aku pun sangat menantikan kemunculan Danita dan Citra ke dalam rumah.
Setelah pintu terbuka, Citra malah berpamitan dengan Danita di depan pintu, aku merasa sedikit kecewa.
"Brian, lihatlah apa yang aku belikan untukmu?"
Citra berjalan ke sisi sofa, kemudian meletakkan setumpuk kantong belanjaannya.
Aku sangat terkejut melihatnya, dia membelikan beberapa kaus T-shirt dan juga celana santai untukku, tempelan harga masih bergantung di sana dan yang paling murah di harga 400 ribuan! Bahkan kaus T-shirt yang paling mahal mencapai 1 jutaan.
Seketika aku langsung tercengang!
Selama ini aku hanya mengenakan pakaian murah dan tidak ada satu pun yang menyentuh angka 100 ribu. Ketika aku melihat pakaian-pakaian mahal ini, aku pun bertanya-tanya dalam hati, ‘Pakaian ini dibeli untuk dipakai atau untuk aku museumkan?’
"Kenapa diam saja? Cepat coba satu stel ini, lihat pas atau tidak."
"Pasti pas, hanya saja … ini terlalu mahal."
"Kamu saja belum coba, bagaimana bisa tahu kalau pas? Cepat sini, ganti pakaianmu dan biarkan aku melihatnya."
Dia yang mencuci pakaianku, jadi tentu saja dia mengetahui ukuranku. Kalau membelinya sesuai dengan ukuranku, bagaimana mungkin tidak pas?
Hanya saja ada beberapa pakaian yang mungkin ukurannya berbeda, jadi Citra menginginkan diriku untuk mencobanya.
Selesai berkata, Citra langsung merobek bungkusan kaus yang paling mahal dan celana santai, kemudian berdiri dan melihatku dari samping.
Bagaimanapun juga, aku sudah berusia 19 tahun dan jauh lebih tinggi dari Citra, jadi aku merasa malu untuk melepaskan pakaianku di depannya.
Awalnya, Citra masih belum sadar, tapi akhirnya dia sadar dan langsung mengulurkan tangannya untuk melepaskan bajuku, "Buat apa malu di depan kakak iparmu sendiri? Cepat pakailah ini!"
Aku sedikit berbeda dengan orang lain, dadaku sudah berbulu ketika masih duduk di bangku SMP, semua teman sekelasku tahu akan hal ini, karena aku selalu bermain basket serta sepak bola tanpa mengenakan baju.
Teman sekelas pria sering menertawakan hal ini, sedangkan teman sekelas wanita tidak ada yang mau duduk sebangku denganku.
Karena bulu dada inilah, aku merasa sangat tidak percaya diri.
Dan sekarang, aku sungguh tidak menyangka hal ini akan dilihat oleh Citra, aku benar-benar ingin segera melarikan diri.
Hal yang di luar dugaanku adalah mata Citra malah berbinar setelah tertegun sejenak, dia bahkan tidak merasa jijik padaku, melainkan seperti kegirangan.
Aku bergegas mengambil kaus yang ada di tangan Citra, ukurannya sangat pas.
Lalu, aku berkata dengan gagap, "Teri … terima kasih, Kak Citra."
Citra menatap mataku dengan tenang, kemudian tiba-tiba bertanya, "Brian, apakah kamu jatuh hati dengan kakak yang tadi?"
"Tidak, tidak!" ujarku dengan wajah memerah.
"Kamu masih berbohong denganku, kamu tidak tahu kalau aku ini jauh lebih senior? Yakin bukan dia yang kamu pikirkan saat ini?"