Bab 11 Di Luar Ekspektasi
Thomas mengira Linda sedang menakut-nakutinya, jadi dia tidak menghindar.
Linda juga berpikir Thomas akan menghindar, jadi dia pun langsung memancingnya, tapi siapa sangka ternyata serius.
"Kamu serius?"
"Cari mati!"
Linda pun langsung mengangkat tangannya dan hendak menampar Thomas, lalu Thomas segera melarikan diri dan Linda mengejar dari belakang.
Dulu, Linda tidak seperti ini, dia merupakan seorang gadis yang cukup pendiam dan bahkan telah menjadi gadis idamanku, tapi siapa sangka dia telah berubah menjadi saat ini?
Aku menggelengkan kepala, kemudian menoleh untuk melihat Jessy, tapi bayangannya telah hilang.
Gawat! Jangan-jangan sudah dibawa pergi oleh Ervin?
Aku langsung berlari ke depan untuk mengejar, tapi aku hanya melihat Ervin berjalan seorang diri ke arah asrama, sama sekali tidak ada bayangan Jessy.
Aku pun merasa lega, meski tidak menemukan Jessy, setidaknya dia tidak bersama dengan Ervin.
Pada malam hari ketika pulang ke rumah dan makan malam, Axel dan Citra sudah mendengar kabar tentangku di kampus, mereka bahkan mengetahui tentang wakil dekan yang memujiku serta menasihatiku untuk belajar dengan giat. Selama mempunyai bakat bermain basket dan nilai jurusan tidak terlalu buruk, maka aku pasti mempunyai kesempatan untuk mengajar di sana.
Aku juga sebenarnya tidak mempunyai rencana khusus di masa depan, jadi aku tidak tahu kalau penilaian wakil dekan sebenarnya bisa menentukan nasib masa depanku.
Untuk saat ini aku hanya memikirkan Jessy, aku langsung mengenakan pakaian paling keren yang dibelikan oleh Citra setelah selesai mandi, lalu keluar dengan membawa uang tunai.
Aku bersembunyi dan menunggu kemunculan Jessy dengan tenang di taman bunga apartemen mahasiswi.
Benar-benar pucuk dicinta ulam pun tiba, tak lama kemudian Jessy benar-benar muncul.
Jessy terlihat mengenakan baju terusan berwarna merah muda, masih dengan perasaan yang sama, meski dia tidak terlalu menonjol di kampus, tetap saja aura feminitasnya terpancarkan.
Dia berjalan dengan anggun ke arah gerbang kampus, mau dilihat dari sisi mana pun juga, aku yakin kalau dia adalah sosok wanita serta ibu untuk anak-anakku kelak.
Jessy tidak terlihat ingin melakukan sesuatu atau ingin menemui seseorang, tapi dari caranya berjalan seolah-olah sudah mempunyai tujuan. Dia benar-benar menjaga sikapnya dari awal hingga akhir.
Aku terus mengikutinya hingga keluar dari kampus, tepat di saat aku sedang memikirkan cara untuk menemuinya, tiba-tiba aku melihat sebuah taksi berhenti di depannya, dia bahkan langsung membuka pintu belakang dan masuk ke dalam tanpa melihat terlebih dahulu.
Aku langsung memindahkan kode QR yang ada di mobil, lalu mengejar dengan sepedaku.
Untung saja kondisi jalanan sedang ramai, jadi ada banyak taksi yang berjalan dengan pelan, setelah itu aku pun berhasil mengejarnya.
Gila! Tidak mungkin!
Ketika sepedaku dan mobil taksi itu berjalan dengan sejajar, aku tiba-tiba melihat sosok yang duduk di samping sopir adalah wakil dekan!
Apa maksudnya ini? Jangan-jangan Jessy adalah kerabatnya?
Meskipun detak jantungku berdebar dengan kencang serta tubuhku mulai memanas, tetap saja aku berusaha untuk berpikir ke sisi positif.
Sepanjang perjalanan, aku melihat taksi itu malah berhenti di sebuah hotel, setelah keduanya turun dari mobil, aku melihat Jessy merangkul lengan wakil dekan dengan sangat alami. Dia bahkan menyandarkan kepalanya di pundak wakil dekan, seolah-olah seperti sepasang suami istri yang masuk ke dalam hotel.
Aku pun langsung mengeluarkan ponsel dan merekam kejadian ini.
Melihat bayangan mereka yang menghilang dari hotel, aku seperti seekor lalat yang kehilangan arah, bayangan Danita pun tiba-tiba muncul di benakku.
Aku bergegas memutar arah sepedaku, setelah tiba di gerbang kampus dan menghentikan sepedaku, aku kembali ragu-ragu.
Apa yang ingin aku lakukan?
Membawa rekaman itu kepada Danita, lalu pergi bersamanya untuk menangkap basah perbuatan zinah ini?
Jika wakil dekan yang membuat masalah, lalu bagaimana dengan nasib Jessy? Apakah dia harus hancur begitu saja?
Jika menggunakan rekaman ini untuk ingin meniduri Danita, itu juga memerlukan persetujuannya.
Sebelumnya Ervin sudah pernah berkata kalau sebagian besar wanita menyukai hal romantis, mereka tidak suka dicelakai ataupun dimanfaatkan.
Bagaimana ini?
Entah kenapa aku merasa seperti dikhianati oleh wakil dekan, padahal sebenarnya aku tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Jessy.
Rasa ini benar-benar membuat hatiku terasa sakit.
Hatiku … seperti tertusuk-tusuk jarum, seperti teriris oleh pisau ….
Memikirkan hal ini, aku pun teringat dengan Ervin yang sudah tidur dengan Linda, sedangkan Jessy yang masih muda ini sudah terjerat dengan wakil dekan, suara sorakan para mahasiswi cantik yang ada di tribun ‘Dean, I Love You’ juga terngiang-ngiang di benakku.
Kenapa para gadis-gadis ini melebarkan sayap ke semua orang, tapi tidak padaku?
Teringat dengan Linda yang begitu berani menggoda Thomas, sikapnya yang padaku seolah-olah ada perubahan, bahkan kemarin masih mengajakku untuk jalan-jalan, kenapa aku tidak mengajaknya keluar saja? Lalu, mengajaknya berguling-guling di atas ranjang?
Ketika aku tidak bisa mengendalikan perasaanku, aku juga tidak banyak berpikir. Aku tidak peduli dia bekas siapa pun, yang penting bermain saja dulu dengannya.
Aku mengeluarkan ponsel, tepat di saat hendak menelepon seseorang, tiba-tiba terdengar suara merdu, "Brian, keren sekali penampilanmu, kamu mau pergi kencan, ya?"
Seluruh tubuhku merinding mendengar suaranya, aku menoleh dan mendapati Danita yang sedang menggandeng tangan anaknya. Sepertinya mereka hendak pergi dan kebetulan melihatku berdiri di pinggir jalan.
Aliran darah panas seperti mendidih di dalam tubuhku, napasku terasa sesak, ada banyak hal yang ingin aku katakan, tapi tidak sanggup untuk kukatakan.
"Tidak, aku … ini … Kak Danita, kamu sedang mengantar anak sekolah?"
Danita tertawa, "Kenapa panik seperti ini? Malam-malam mau sekolah apa? Tapi, bisa dikatakan seperti itu, aku sudah mendaftarkan kelas piano untuk anakku, jadi hendak mengantarnya. Aiden, panggil paman."
"Halo, Paman."
"Halo … kalau begitu, aku juga sedang menganggur, bagaimana kalau aku menemanimu?"
Danita melirikku sekilas, lalu terdiam saja.
Aku pun bergegas menjelaskan, "Malam-malam begini tidak aman bagi seorang wanita sepertimu mengantar anak. Kelak kalau aku sudah menghafal jalan, aku bisa antar jemput anak untukmu di malam hari."
"Boleh, boleh! Aku senang Paman yang mengantarku!"
Sebagian besar anak kecil seperti Aiden memang senang bermain dengan kakak laki-laki sepertiku, tapi sayangnya dia tidak tahu maksudku yang tertuju pada ibunya.
Danita tersenyum, "Kalau begitu, mari kita pergi bersama."
Meskipun dia tidak banyak berkata, tetap saja aku bisa merasakan kalau dia sangat memahami maksudku dari sikapnya.
Karena dia tidak menolak, maka aku yakin rencana ini mulai berjalan.
Ketika kami melewati sebuah alun-alun kecil, ada banyak orang tua yang berkumpul di sana untuk menyaksikan pertunjukkan, Aiden juga berteriak ingin ke sana.
Aku langsung menggendong Aiden untuk duduk di atas pundakku, lalu berjalan ke belakang kerumunan orang-orang, Danita juga ikut di sampingku.
Ada banyak orang di depan sana, dia menopang Aiden dengan tangannya, kemudian berdiri mendekat di sampingku.
Aiden belajar piano di toko pinggir jalan, lalu sebelah jalannya merupakan gang dengan pinggir danau.
Biasanya Danita menunggu Aiden di dalam toko tersebut, tapi karena aku melihat pemandangan danau itu cukup indah, maka aku pun memberikan isyarat kepada Danita.
Awalnya Danita tidak merespon dan hanya menatap Aiden dengan lekat.
Tepat di saat aku merasa rencanaku tidak akan berjalan lancar, dia tiba-tiba mengingatkan Aiden untuk belajar dengan sungguh-sungguh, kemudian mengatakan ada urusan denganku.
Kami duduk di sebuah kursi batu yang ada di pinggir danau, tidak ada seorang pun di sekitar dan angin sepoi-sepoi terus berhembus.
Perlahan-lahan, aku mulai bertanya dengan lembut, "Dingin?"
Danita tidak menyahut.
Aku segera berpindah ke sisinya, kemudian kembali bertanya, "Dingin, tidak?"
Dia tetap tidak menjawabku, tapi tubuhnya mulai merinding.
Aku tahu dia tidak kedinginan, melainkan gugup.
"Apa kamu kedinginan?" tanyaku lagi.
Danita tersenyum, senyumnya sangat memikat, dia malah balik bertanya, "Apa kamu tidak bisa menanyakan hal yang lain?"
Pada saat ini, tatapan kami saling bertemu, hidung dan hidung mulai mendekat satu sama lain.
…