Bab 5 Dikasih Hati Minta Jantung
Danita benar-benar tertegun.
Mungkin dia tidak pernah menyangka kalau diriku ternyata begitu berani.
Dia terdiam bagaikan patung.
Jangankan dia, aku sendiri saja tidak mengerti apa yang terjadi.
Aku benar-benar kehilangan akal sehatku ketika mendorongnya ke balik pintu.
Seluruh tubuh Danita gemetaran, dia mengepalkan tangannya, kemudian melayangkannya ke bagian pinggangku.
Ketika aku melepaskan bibirnya, tangan lainnya yang sedang membawa kantong plastik pun seketika dilepaskannya, lalu mengulurkan tangannya untuk membelai bibirnya, kemudian melihat tangannya.
Mungkin aku terlalu keras menggigit bibirnya dan dia merasa seperti berdarah, karena itu dia ingin memastikan. Setelah itu, aku melihatnya mengangkat kedua kepalan tangannya dan memukul dadaku secara bergantian.
"Huh … menyebalkan! Kamu gigit bibirku sampai seperti ini, bagaimana aku harus menemui orang lain dengan kondisi seperti ini?"
Ya, ampun!
Jangan kira dia sudah berusia 30 tahun lebih, tapi tingkah lakunya saat ini sama sekali tidak seperti usianya, malah jauh seperti anak remaja seusiaku.
Sejujurnya, dirinya yang saat ini sama sekali tidak seperti seorang wanita yang sudah melahirkan anak.
Meskipun aku tahu dia berpura-pura seperti ini, aku tetap meminta maaf padanya dengan panik, "Maaf, maaf, aku tidak sengaja, aku benar-benar kehilangan akan dan kendali tadi."
Danita melirikku sekilas, dia kembali tertawa nakal ketika melihat sikapku yang begitu serius, "Dasar penjahat kecil, kamu terlihat begitu polos dan jujur, tapi sebenarnya hatimu sangat nakal."
"Tidak, tidak … Kak Danita … aku …."
"Sudahlah, karena ini adalah kesalahan pertamamu, maka aku tidak akan mempermasalahkannya. Tapi, masalah ini jangan sampai terulang kembali, ya?"
Aku langsung mengangguk, "Iya, iya!"
Danita memiringkan kepalanya, kemudian menatapku dengan lekat untuk beberapa detik, setelah itu dia tiba-tiba bertanya, "Apakah kakak dan kakak iparmu sering membicarakan hal buruk tentangku di belakang, sehingga kamu begitu berani kurang ajar padaku?"
Aku tercengang sejenak!
Aku lebih rela dia menganggapku sebagai orang jahat, tapi tidak akan membiarkannya salah paham terhadap Axel dan Citra. Jangan sampai aku merusak masa depan mereka, alih-alih ingin membantu mereka.
"Tidak, tidak … Kakakku dan kakak iparku tidak pernah membicarakan orang lain di depanku, karena bagi mereka, aku masih anak kecil."
"Benar juga! Aku saja tertipu oleh muslihatmu!"
"Tidak, Kak Danita … aku … aku bingung, masalah tadi, aku …."
"Lupakan saja, kenapa gugup seperti ini? Bukankah cuma sebuah ciuman saja? Seorang pria dewasa harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan."
"Kalau begitu, aku … aku hanya ingin mengatakan kalau tadi benar-benar kecerobohanku, ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Kak Axel dan kakak iparku."
Danita mengangguk, "Ngomong-ngomong, kamu juga tidak bisa dikatakan pria berengsek, karena ciuman saja kamu tidak bisa."
Aku tercengang mendengarnya, dalam hati aku bergumam, ‘Perkataan ini seolah-olah mengatakan kalau aku tidak tahu caranya berciuman, lalu apa yang aku cium tadi?’
Melihat diriku yang tercengang seraya memelotot, Danita pun langsung memahami kalau diriku tidak setuju dengan perkataannya.
Dia langsung merangkul leherku dengan sepasang tangannya, kemudian tiba-tiba menyodorkan bibirnya dan mengajariku kelas ciuman.
"Jangan ceritakan kejadian hari ini kepada siapa pun, mengerti?"
Aku bergegas mengangguk, dalam hati aku berpikir, ‘Selama kamu menjaga rahasia ini, maka aku tidak akan membocorkannya seumur hidupku.’
Setelah itu, Danita langsung mengibaskan rambutnya dengan elegan, kemudian berkata padaku, "Baiklah, aku pulang dulu."
Aku masih tenggelam dalam keraguanku, meskipun hatiku merasa sangat tidak rela, tetap saja aku tidak berani mengajukan permintaan yang berlebihan, aku hanya mengiyakannya.
Mungkin hal yang membuatnya benar-benar menyukaiku adalah sifat kenaifanku?
Ketika dia hendak menyentuh gagang pintu, dia pun menoleh dan berkata padaku, "Oh iya, berapa nomor ponselmu? Siapa tahu aku bisa meminta bantuanmu ketika ada masalah di rumahku nanti!"
Aku langsung memberikannya.
Setelah dia membuka pintu terali, dia pun bergumam dengan pelan ‘dasar bajingan kecil’, kemudian langsung melipir pergi.
Aku menutup pintu dan langsung melompat kegirangan.
Benar-benar seperti sebuah pepatah mengatakan, tanaman yang dirawat dengan penuh hati-hati tidak kunjung mekar, tapi tanaman yang tidak pernah dirawat malah tumbuh dengan subur.
Ketika aku gelisah akan Citra, aku menginginkannya, tapi juga takut, bahkan di saat aku merasa bingung, tiba-tiba Danita datang padaku.
Mungkin Danita hanya bertindak seolah-olah sudah berhenti bermain denganku, tapi aku sangat yakin kalau api yang sudah dinyalakan seperti ini, cepat atau lambat pasti akan membesar.
Sepanjang siang ini, aku hanya menghabiskan dengan melompat kegirangan di ruang tamu, aku bahkan tidak bisa menahan diriku untuk bersenandung, "Kita berjalan di jalanan, begitu riang dan bersemangat …."
Pada sore hari, Citra dan Axel pulang kerja bersama, mereka mampir di sebuah supermarket sebelum akhirnya tiba di rumah, banyak sayuran yang dibeli oleh mereka dan Citra pun langsung menyibukkan diri di dapur.
Lalu, Axel tiba-tiba mengajakku duduk di sofa dan berbincang pelan denganku, "Brian, terima kasih kamu sudah datang ke rumah ini, aku akhirnya bisa merasakan rumah yang sesungguhnya."
Awalnya aku tidak mengerti maksudnya, aku hanya menatapnya dengan linglung.
Axel tertawa, "Sebelum kamu datang ke sini, aku dan kakak iparmu sering makan di kafetaria dan restoran, jarang sekali masak di rumah. Dalam ingatanku, ini adalah pertama kalinya kulkas di rumah penuh."
Aku pun langsung tersenyum, tapi merasa canggung, "Kak, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana untuk berterima kasih padamu dan Kak Citra, kelak setelah aku bekerja …."
"Jangan mengungkit masalah uang denganku!" Axel seperti sudah tahu apa yang hendak aku katakan, "Brian, kita ini berasal dari Keluarga Hariman di desa dan hanya kita berdua yang berhasil menjadi mahasiswa, aku sungguh tidak berdaya selama ini karena dikontrol dengan ketat oleh istri. Kalau suatu saat nanti kamu sudah sukses, maka kamu harus membantu semua orang yang ada di desa, jangan biarkan mereka menganggap kita kacang lupa kulitnya."
"Tenang saja, Kak! Aku tidak akan lupa akan diriku yang berasal dari Keluarga Hariman!"
Pada jam makan, kami masih tetap duduk seperti posisi saat makan siang, Citra lagi-lagi mencari bahan untuk mengobrol dengan Axel.
Untuk waktu yang sama, kakinya lagi-lagi beraksi di bawah meja.
Entah aku atau dia yang terlalu jauh dari meja, kali ini kakinya tidak berhasil menyentuh kakiku, dia hanya menyentuh kaki kursiku saja.
Namun, siapa sangka Citra masih sempat-sempatnya membelalak ke arahku ketika Axel tidak memperhatikannya.
Aku langsung menundukkan kepala, kemudian mendekatkan kursiku ke depan.
Telapak kakinya terus menyusuri kakiku ke atas, ekspresinya langsung membaik ketika dia berhasil melakukannya.