Bab 4 Hilang Kendali
Sial!
Dia pikir aku bodoh, ya?
Luas balkon rumahnya sama luasnya dengan yang di sini, tiang besi jemuran juga terbentang di tengah. Jadi, sekalipun ada angin yang bertiup, itu juga akan jatuh di lantai balkon, tidak mungkin bisa terbang sampai ke bawah.
Sekalipun terbawa oleh angin, itu juga pasti akan jatuh ke halaman rumah mereka.
Jelas dia pasti mendengar suara aku mengunci pintu ketika sedang mengambil jemuran, lalu melirik ke bawah dan melihatku sedang berdiri di depan pintu, kemudian dalam keadaan buru-buru dia melemparkan G-string ke kepalaku.
Kalau tidak, wajahnya tidak mungkin memerah ketika melihatku, jelas-jelas dia merasa bersalah.
Namun, harus kuakui dia telah berhasil jika ini merupakan jebakan kecilnya, karena jantungku saat ini sungguh sudah tak bisa dikendalikan.
Akan tetapi, aku tetap berpura-pura santai dan tersenyum, "Tidak apa-apa."
"Kalau begitu, kamu tunggu sebentar, aku akan turun mengambilnya."
Setelah berpikir bahwa dia adalah istri dari wakil dekan dan masalah jabatan profesor untuk Axel masih harus mengandalkannya, maka sudah saatnya aku untuk memujinya, sekalipun dia tidak sengaja dan aku juga tidak mempunyai niat terhadapnya.
"Biar aku saja yang mengantarkannya."
"Kalau begitu, makasih, ya! Aku segera buka pintunya."
Aku berjalan ke halamannya, kemudian mendengar suara buka kunci pintu besi.
Ketika aku baru menaiki anak tangga berjalan ke pintu terali, kebetulan Danita baru membukakan pintunya.
Sepertinya dia berlari ke bawah.
Aku memberikan G-string kepadanya, lalu dia langsung tertawa girang, "Masuklah dan duduk di dalam, tidak ada orang kok di rumah."
Mampus! Kata-katanya yang terakhir seperti mempunyai arti yang mendalam, ada niatan apa dia terhadapku?
Aku mengangguk pelan, kemudian berjalan ke dalam.
Dia pun bergegas mengunci pintunya dan langsung mengambilkan sandal ganti untukku ketika aku baru saja melepaskan sepatuku. Sepertinya itu adalah sandal dengan ukuran yang paling besar, tapi tetap saja kekecilan di kakiku.
"Kemarilah, santai dulu di sofa … ada rokok dan buah, ambil saja yang mau dimakan, ya! Jangan sungkan-sungkan."
Buah dan rokok yang ada di rumahnya semuanya mahal-mahal, bahkan dekorasi serta sofa yang aku duduk sangat berbeda dengan sofa yang ada di rumah Axel, semuanya jauh lebih berkelas.
Aku bisa merokok, tapi tidak berani mengambil rokok yang ada di meja.
Bagaimanapun juga, ini adalah rumah wakil dekan, sedangkan aku merupakan seorang mahasiswa baru, tidak mungkin aku bertindak sembarangan di rumahnya, bukan?
Aku menegakkan punggung dan duduk di sofa dengan sopan, aku berusaha untuk berperilaku sewajarnya, tapi malah merasa otot-otot di wajahku semakin kaku.
Sedangkan Danita, dia tak berhenti menyuruhku untuk makan ini dan itu setelah duduk di sampingku, aku tahu dia ingin memintaku untuk relaks, tapi sebenarnya dia juga sangat gugup. Aku bisa melihat bibirnya yang tak berhenti bergetar, bahkan kemerahan yang ada di wajahnya juga tak kunjung pudar.
Jika dia memang menganggapku anak laki-laki dari tetangga sebelah, maka dia sama sekali tidak perlu gugup seperti ini. Jadi, dari hal ini aku bisa pastikan kalau dia pasti mempunyai niat tertentu padaku.
Oleh karena itu, kami terus duduk dalam keadaan canggung dan tidak tahu harus berkata apa.
Kebetulan pada saat ini, tiba-tiba terdengar seseorang menyapa dari depan pintu, "Halo, Pak Wakil Dekan!"
Wakil dekan membalas sapaannya, kemudian terdengar suara kunci terbuka, sepertinya dia telah membuka pintu terali yang ada di depan.
Mendengar hal ini, Danita pun sangat terkejut hingga wajahnya memucat, lalu berkata seraya berbisik, "Gawat! Suamiku pulang, cepat kamu bersembunyi di atas!"
Selesai berkata, dia langsung berlari ke depan pintu, kemudian mengambil sepatuku yang ada di depan dan langsung berlari ke arah dapur.
Aku tercengang melihat aksinya, lalu aku pun berlari ke atas dengan sandal rumahnya. Kemudian, aku pun langsung teringat dengan balkon rumahnya yang bersebelahan dengan rumah Axel, jadi aku langsung bergegas memanjat balkon untuk berpindah ke balkon rumah Axel.
Setelah aku duduk tenang di ruang tamu, aku tiba-tiba tertegun.
Sial! Buat apa aku lari?
Kenapa memangnya kalau melihat wakil dekan masuk?
Lagi pula, aku ini adiknya Axel yang tinggal di sebelah rumahnya, apa salahnya bertamu ke rumah orang di siang hari? Kenapa aku harus merasa bersalah seperti ini?
Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara pintu tetangga.
Aku pun bergegas berdiri di depan jendela untuk mengintip, wakil dekan sudah berusia lebih dari 40 tahun, kulitnya putih dan postur tubuhnya tidak jauh berbeda denganku, wajahnya juga sangat tampan. Bisa aku pastikan dia pasti jauh lebih tampan di saat muda, bahkan mungkin saja penampilannya yang saat ini sangat menggoda para wanita paruh baya di luar sana.
Aku sungguh tidak mengerti, aku paham jika Citra memang ingin mencari perhatian dariku lantaran karena Axel yang tidak mampu akan hal itu, lalu ada apa dengan Danita?
Setelah yang aku dengar dari Citra, mereka berdua mempunyai seorang putra yang baru kelas dua dan karena libur sekolah, maka anaknya dibawa ke rumah neneknya dan baru dijemput pulang dua hari lagi.
Dengan seperti itu, maka pasti banyak yang iri dengan keluarga kecil yang begitu bahagia seperti mereka.
Selain itu, Citra juga mengatakan kalau Danita bukanlah wanita genit, lalu kenapa dia tergoda olehku?
Beberapa saat kemudian setelah pintu terali sebelah berbunyi, Danita pun keluar dengan sebuah kantong plastik di tangannya, kemudian langsung menekan bel pintu rumah Axel.
Aku langsung menekan tombol untuk membukakan pintu, kemudian membuka pintu terali.
Setelah Danita berjalan masuk, dia pun bertanya padaku dengan wajah merona, "Cepat sekali kamu kaburnya, kamu pasti lompat dari balkon, ya? Ini sandalmu."
Aku sudah mengganti sandalku dengan sepasang sandal jepit dan sudah meletakkan sepasang sandalnya ke dalam kantong plastik.
Dia tersenyum dengan canggung, kemudian langsung berbalik badan pergi.
Entah keberanian dari mana, aku bisa tiba-tiba bertanya padanya, "Kak Danita, ada satu hal yang membuatku bingung, kenapa kamu harus panik ketika mengetahui Pak Wakil Dekan pulang? Kita ini tetanggaan, lalu apa salahnya kalau bertamu di siang hari?"
Danita tersenyum dengan rumit, "Dia baru saja keluar tidak lama, tapi karena ada dokumen yang tertinggal, jadi dia pulang untuk mengambilnya. Coba kamu pikirkan, ketika dia baru keluar, aku masih seorang diri di rumah. Tapi, hanya dengan hitungan beberapa menit saja sudah ada kamu di rumah, bagaimana aku harus menjelaskannya?"
Perkataan Danita sangat masuk akal, dengan pemandangan yang baru saja memang sedikit canggung untuk dijelaskan.
Jika dijelaskan, maka jelas-jelas seperti berusaha untuk menutupi, tapi telah terbongkar.
Jika tidak dijelaskan, seorang suami yang baru saja keluar, kemudian tiba-tiba kembali, lalu melihat ada seorang pria di dalam rumah sekalipun hanya tetangga, siapa yang bisa menjamin kalau dia tidak berpikir yang aneh-aneh?
Aku sengaja berkata seraya tertawa, "Pepatah mengatakan, kalau kita tidak melakukan hal yang tercela, buat apa takut? Apa karena Kak Danita mempunyai niat buruk, jadi merasa panik?"
Danita tertegun, kemudian langsung menjawab seraya tertawa, "Kakak iparmu mengatakan dirimu sangat polos, tapi aku lihat kamu begitu cerdik, apa kamu sedang menggodaku?"
"Tidak, tidak!"
"Terlebih lagi, tidakkah kamu juga mempunyai niat yang buruk? Kalau tidak, kenapa kamu harus melompat dari balkon?"
Baru saja aku hendak menjelaskan, tapi aku kembali merasa kalau ini adalah kesempatan langka.
Setelah digoda oleh Citra tadi siang, gelora yang ada di dalam hatiku masih belum padam.
Aku membulatkan tekad dan menatapnya dengan lekat, kemudian berkata dengan wajah merona, "Iya, aku akui tadi memang mempunyai niat lain, itu semua karena aku belum pernah melihat wanita secantik Kak Danita sebelumnya. Kakak iparku sudah mengatakan kalau kamu sudah menikah dan mempunyai seorang anak, tapi aku tetap tidak percaya, aku terus merasa bahwa kamu hanyalah kakak kelasku."
Danita menatapku dengan membelalak, lalu berkata seraya tertawa, "Mulutmu memang manis sekali, melihatmu yang begitu serius seperti in, aku bahkan percaya kalau diriku belum menikah. Katakan dengan jujur, apakah sebagian besar gadis-gadis jatuh ke tanganmu dengan cara seperti ini?"
"Tidak … aku … aku belum pernah berpacaran!"
Danita melangkah ke depan, kemudian mendongak menatapku, dia tampak meremehkanku, tapi tatapannya penuh dengan kelembutan, lalu mendengus dingin, "Huh, aku tidak percaya!"
Rasa panas tiba-tiba menyelimuti seluruh tubuhku hingga membuatku kehilangan kendali, aku menekannya di balik pintu, lalu langsung menciumnya dengan pikiran kosong.