Bab 5 Penyesalan Datang Terlambat
Tidak ada yang harus dipikirkan, memang sudah layak dan sepantasnya kalau wanita itu pergi pulang ke alamnya sendiri, karena memang dia tidak ada hubungan apa-apa dengan Ethan. Pria itu segera bangun, mandi dan segera berjalan menuju kantor. Ada banyak pekerjaan yang menunggunya sehingga dia tidak seharusnya membuang-buang waktu memikirkan wanita itu.
Tapi, entah kenapa hatinya mendongkol karena wanita itu pergi begitu saja. Seharusnya dia tidak ketiduran, sehingga dapat melihat kepanikan di wajah wanita itu ketika tiba-tiba dia bangun berada di atas tempat tidur bersama Ethan. Seharusnya juga wanita itu menjerit- jerit ketakutan seperti saat Ethan mencoba memberikan jaket kepadanya.
“Dasar wanita aneh, bisa- bisanya dia berlaku biasa saja bangun di tempat tidur asing,“ dengus Ethan sambil mengenakan kemejanya. “Mungkin dia udah biasa kali bangun di atas kasur asing, kelakuan seperti kebo sih! Atau mungkin takut suruh bayar kali, biaya tidur satu malam di tempat tidur mewah?” Ethan mendengus kesal sambil menjalankan mobil menuju kantor. Pria itu lupa pada janjinya untuk tidak memikirkan Anna sedikit pun, karena nyatanya wanita itu dari pagi sudah memenuhi pikirannya.
Namun saat pria itu sedang menggerutu tentang kelakuan Anna yang tidak tahu terima kasih, Ethan menerima kabar dari Daniel, sekretaris Opanya kalau Opanya tiba- tiba kritis.
Saat dia masuk rumah sakit, hatinya terus terasa tidak enak. firasatnya mengatakan bahwa sebentar lagi akan ada peristiwa yang menyedihkan, tapi Ethan terus membuang pikiran itu jauh- jauh. Pria Itu memang selalu tidak suka dengan rumah sakit sejak dulu.
Operasi segera dilakukan, dengan resah Ethan mengantar opa ke ruang operasi, hatinya mencelos ketika menyadari bahwa kemungkinan ini adalah saat terakhirnya melihat opanya tersenyum lemah kepadanya.
“Jaga Anna,” ucapnya pelan sebelum masuk ke dalam ruang operasi. Ethan hanya bisa mengangguk panik mendengarnya. “Dasar Opa, bukannya memikirkan dirinya, malah memikirkan wanita tak tahu diri itu,” pikir Ethan sambil meremas tangannya sendiri.
Sesaat setelah pintu operasi tertutup, terdengar pekikan panik dari belakang Ethan. "Kenapa ... kenapa bisa begini!" teriak panik Anna di belakangnya, suara itu begitub memekikkan telinga Ethan, sampai sepertinya pria itu langsung mengenali suara melengking sebelum menoleh. Pria itu mengerang karena bagaimana bisa wanita itu muncul lagi di rumah sakit?
"Ngapain kamu ada di sini?" tanya Ethan dengan memicingkan matanya.
"Ya, Aku di telepon lah!" jawab wanita berambut panjang itu menatap Ethan dengan tatapan mengejek seakan dia sedang bertanya satu tambah satu berapa. Ethan semakin terpancing emosinya.
"Kamu ... memangnya siapa kamu sampai kamu yang ditelepon!" Setelah beberapa lama kata- kata hilang dari benaknya, Ethan baru menyadari bahwa tadi dia memang menerima kabar dari Daniel bukannya dari pihak rumah sakit. Kenapa bocah ini yang di telepon? Seharusnya kan dia yang ditelepon pihak rumah sakit bukannya Anna?
"Kemarin kan Opa masuk bersama aku, jadi nomor teleponku yang tercatat." Anna melipat tangannya sambil memandang Ethan dengan sebelah mata. Wanita itu terengah- engah karena habis berlari sepanjang lorong rumah sakit yang panjang. Wanita itu mendongak dan memperhatikan lampu penanda operasi sedang berlangsung. Tanpa sadar wanita itu berdiri berdampingan di samping Ethan.
Ethan mau tak mau memperhatikan wanita yang berdiri di sampingnya itu. Hari ini Anna terlihat lebih segar daripada kemarin. Mungkin karena wajahnya memerah karena habis berlari. Ethan sedikit terkesima karena baru menyadari betapa putih dan mulusnya kulit Anna. Wanita itu hanya mengenakan jeans biru tua dan kaos polos berwarna kuning muda. Rambutnya yang indah itu kali ini diikat menjadi satu di belakang. Tanpa sadar Ethan memperhatikan wanita itu dengan penuh penasaran, sampai tiba- tiba wanita itu menyadari kalau sedang diperhatikan.
"Cih, jangan kebanyakan lagak ya, kalau mau tetap di sini, jangan berisik!" ucap Ethan segera membuang pandangannya dengan jantung berdebar lalu duduk di kursi tunggu di dekat ruang operasi.
"Tapi kenapa bisa begini, kemarin kan Opa baik- baik saja saat kita pulang? Kenapa tiba- tiba kondisi Opa jadi memburuk begini, harusnya kan operasinya belum sekarang? Kamu yakin sekarang waktu yang baik buat operasi? Nggak terlalu terburu- buru, kemarin wajah opa masih pucat loh!" Anna kembali bertanya ribuan pertanyaan secara beruntun, sehingga Ethan mulai merasa pusing dengan suaranya yang bising.
"Eh dah aku bilang jangan berisik ya!" tukasnya kesal tidak menjawab satu pun pertanyaan Anna. Wanita itu membesarkan bola mata coklat mudanya yang indah seakan mau memakan Ethan lalu tiba-tiba duduk di sebelahnya. Wanita itu kembali memandangi lampu tanda operasi.
Ethan mengerutkan keningnya dengan kesal karena wanita itu malah kembali berada di sampingnya. Pria itu memandang Anna dengan tatapan mencela.
"Kenapa?" tanya Anna yang akhirnya merasa risih terus ditatap oleh Ethan.
"Harusnya kamu nggak usah datang, kamu ngga ada urusan di sini,” jawab Ethan dengan ketus.
Anna segera memicingkan matanya. “Aku … hanya merasa bertanggung jawab, itu saja. Aku akan tinggal di sini sampai yakin opa baik- baik saja,” jawab Anna dengan perasaan tidak enak.
“Kenapa kamu yang tanggung jawab?” tanya Ethan lagi, kali ini memang karena bingung. “Memangnya apa yang kamu lakukan?” tanya pria itu sambil mencoba mengalihkan pandangannya dari pipi Anna yang bersemu merah.
“Karena … “ Anna terdiam lalu menatap bola mata hitam pekat milik Ethan. Dia enggan mengatakannya, tapi dari tatapan Ethan yang curiga membuat Anna menjadi kesal karena merasa jadi tertuduh akan suatu kejahatan.
“Aku nggak melakukan apa- apa! Aku hanya menolak … perjodohan konyol kita! Aku nggak nyangka pas aku jawab aku nggak mau, eh tiba- tiba opa jatuh ke lantai. Lagian, kenal aja nggak gimana aku bisa terima dijodohin!” jawab Anna dengan cepat membela dirinya.
Wajah Ethan seketika menjadi memerah panas karena mendengar penolakan Anna yang sangat jelas di hadapannya langsung.
“Ish, kebagusan banget kamu, siapa juga yang mau nikah sama kamu!” dengus Ethan dengan berang. “Untuk kamu tau aja ya, wanita itu mengantri untuk nikah sama aku, jadi buat apa aku juga mau nikah sama kamu! Muka pas- pasan gitu, badan tipis, seperti papan gilesan!” dengus Ethan segera membela harga dirinya yang habis diinjak- injak Anna.
“EH… “ Anna terbelalak mendengar semua hinaan yang Ethan lontarkan padanya. Dia mau membalas tapi karena terlalu emosi semua alfabet dalam otaknya tidak mau tersusun menjadi satu kata apa pun.
“EH APA?” tanya Ethan dengan suara yang meninggi.
“Ya … baguslah, kalau kamu nggak mau, aku juga nggak mau, jadi … nggak ada yang harus diomongin!” ucap Anna setelah memaksa otaknya berpikir dengan keras.
Napas Ethan memburu begitu mendengar ucapan Anna yang tiba- tiba menyetujui ucapannya. Sebenarnya dia masih mau mengeluarkan emosinya pada wanita menyebalkan ini, tapi akhirnya dia hanya bisa diam.
“Oke, emang nggak ada yang harus diomongin!” balasnya karena merasa harus menjawab agar menang dari perdebatan konyol ini.
“Oke!” balas Anna lagi.
“OKE!” balas pria itu lagi karena masih nggak mau kalah. Anna meliriknya dengan kesal sambil melipat tangan.
Ethan membalas tatapan itu dengan lirikan yang lebih maha dahsyat karena amarahnya yang menggebu- gebu. Mereka akhirnya saling diam dan memandang ke depan, sampai Ethan ingat sesuatu.
“Kenapa tadi pagi kamu pergi begitu saja?" tanya Ethan tanpa melihat ke arah Anna. Namun karena hening tak ada jawaban, Ethan menoleh dan menyadari kalau tanpa dia sadari, Anna sudah pindah duduk di depan kirinya dengan wajahnya merah padam karena malu.
“Dasar wanita bodoh, bagaimana bisa dia baru merasa malu sekarang?” tanya Ethan dalam hati sambil mendengus geli. Wanita itu benar- benar tidak dapat ditebak.
Setelah beberapa lama hening dalam keadaan tegang, dokter akhirnya keluar dan mereka segera menghampiri Ethan dan Anna.
"Bagaimana, Dok?" tanya Anna segera berdiri di samping Ethan.
"Prosedurnya berjalan lancar, ringnya sudah terpasang dengan baik, kini kita hanya tinggal menunggu Opa siuman, ya?" ucap Dokter tersenyum lalu permisi untuk pergi.
Hati mereka langsung terasa lega. Tanpa sadar mereka saling tatap dan tersenyum karena berita baik yang dikatakan dokter. Tapi seketika itu juga mereka tersadar segera dan membuang muka.
Ethan segera memanggil Daniel, dan pria bertubuh tegap itu datang sambil menunduk hormat.
“Aku ada meeting jam 10 nanti, di Singapura, aku langsung berangkat sekarang pesawat sudah siap. Kamu tunggu sini saja, kabari segala sesuatunya padaku ya!” Pria berbaju hitam itu segera mengangguk mengerti dan mengangguk dalam diam.
"HAH, Kamu beneran mau pergi?" tanya Anna tidak percaya. Opanya baru saja selesai operasi, bagaimana bisa pria ini pergi begitu saja?
"Iya, kamu nggak dengar tadi, meeting jam 10, di Singapura, aku harus berangkat sekarang." ulang Ethan kesal. Kenapa dia jadi merasa harus menjelaskan segala sesuatu kepada Anna?
"Loh, nanti kalau Opa bangun gimana?" tanya Anna dengan wajah protes karena masih belum puas dengan jawaban Ethan.
"Barusan kamu dengar kan aku ngomong apa? Ada Daniel yang jaga di sini," jawab Ethan. Bola matanya yang hitam menatap ke sekretaris Opa Jacob yang langsung mengangguk. Ethan kembali tersenyum sinis ke arah Anna yang mendongkol lalu segera meninggalkannya.
"Tapi Daniel kan nggak bisa menggantikan kamu! Cucunya Opa, kan kamu, Ethan!" teriak Anna tidak mau kalah, tapi Ethan segera pura-pura tidak mendengar.
Anna memandang punggung Ethan yang menjauh dengan tidak percaya. Anna hanya berharap jangan sampai Ethan menyesal, jika ada apa-apa dengan Opa, Anna sangat tahu penyesalan itu rasanya seperti apa. “Dasar pria tak berperasaan!” dengus Anna sambil kembali duduk di kursi.
Tak lama opa keluar dari ruangan operasi dan kembali ke kamarnya yang besar dan mewah. Anna menunggu opa siuman dengan perasan lega. Syukurlah operasi berjalan lancar. Beberapa saat berjalan, dokter datang dan kembali memeriksa opa. Semua keadaan opa stabil dan semua normal. Hanya saja dokter masih heran, karena kakek tua itu tetap tidak terbangun dari efek biusnya yang seharusnya sudah hilang dari beberapa jam operasi. Anna mendengar itu dengan hati resah,
Kenangan yang tak mau Anna ingat-ingat kembali terulang di kepalanya di saat ayahnya yang terbaring di ranjang rumah sakit. Ada rasa takut ketika dokter mengatakan keheranannya.
Waktu Anna masih kecil, dia pernah mencoba melarikan diri dari rumah. Naas, ayahnya terus mencarinya malah ditabrak oleh mobil yang tidak bertanggung jawab. Sejak itu Anna tak pernah suka rumah sakit. Menurut wanita itu rumah sakit membuatnya kehilangan papa yang amat dia cintai.
…
Setelah selesai meetingnya di Singapura, seharusnya Ethan bisa kembali ke kantor. Namun, entah kenapa, ucapan wanita sok tau itu kini malah terus terngiang-ngiang di dalam kepalanya.
Ethan dengan kesal mencoba mengalihkan perhatiannya ke pekerjaan. Tetapi, semua ucapan Anna membuat Ethan merasa sangat sulit berkonsentrasi. Akhirnya setelah meetingnya selesai, dia menyerah dan segera menuju rumah sakit kembali.
Saat Ethan memasuki ruangan Opa Jacob, Anna sedang tertunduk di samping Opa. Ethan segera mendengus. “Bukannya pulang, malah masih di sini!” ujarnya kesal saat menyadari kalau wanita itu sudah tertidur dengan pulasnya lagi.
"Dasar kebo, bisa- bisanya tidur dengan posisi seperti ini!" gumam Ethan antara kesal namun geli. Pemandangan Anna tertidur membuatnya teringat kejadian tadi malam. “Sepertinya wanita ini sangat cepat tertidur, kena yang empuk dikit, langsung tidur,” ejek Ethan dalam hati. Tetapi walau mengejek, Ethan malah jadi mengamati wajah Anna yang sedang bermimpi. Tangannya dia gunakan sebagai bantalan kepalanya. Matanya tertutup rapat sehingga terlihat bulu matanya yang lentik. Namun, mulutnya yang terbuka sedikit sehingga ada cairan bening keluar dari mulutnya, membuat Ethan mendengus geli. Entah berapa kali wanita itu membuatnya merasa geli dengan semua kelakuannya yang konyol.
Tanpa berpikir, Ethan segera mengangkat dan membawanya Anna agar wanita itu dapat tidur dengan nyaman di sofa. Wanita kerbau itu sama seperti kemarin, tidak sadar kalau sedang dipindahkan.
Ethan menatap sekilas opanya. “Seharusnya dia sudah siuman dari tadi, mengapa dia belum juga bangun?” pikirnya heran. Daniel menjelaskan apa perkataan dokter tadi kalau mereka hanya bisa menunggu. Ethan menghela napas panjang karena tidak puas dengan jawaban asisten opanya itu.
Akhirnya setelah memperhatikan mesin yang menunjukkan detak jantung opa yang konstan, Ethan tak sabar dan segera keluar dari kamar. Namun, saat dia baru hendak sampai ke ruang tunggu perawat, tiba- tiba ada bunyi dering sirine. Para perawat dan dokter segera berlari ke arah sirene.
Mata Ethan mengikuti ke mana mereka berlari, dan baru tersadar kalau ternyata lampu di atas pintu ruangan Opa yang menyala. Pria itu segera ikut berlari kembali ke kamar Opanya. Jantung Ethan berdebar kencang saat melihat para perawat dan dokter yang segera memeriksa opa.
Dokter segera memeriksa tanda vital dan mata opa sedangkan perawat dengan cepat memasang berbagai alat di tubuh Opa. Ethan memperhatikan mereka yang bekerja dengan cepat, muncul rasa sesak di dadanya seketika ketika dokter mulai menyuntikkan obat melalui infus Opa.
Dokter menyuruh para perawat untuk menyiapkan peralatan. Salah satu peralatan itu menyenggol tubuh Anna sehingga wanita itu seketika terbangun.
"Ada apa?” tanya Anna terbangun kaget karena tiba- tiba ruangan opa yang hening tadi tiba- tiba menjadi riuh dengan suara mesin dan para perawat yang siap menerima perintah dokter. Wanita itu segera mendekati tempat tidur opa dengan perasaan tidak karuan.
“Ada apa Ethan?” tanya wanita itu mengulang pertanyaannya.
"Hmm ...." Ethan terlalu gugup untuk menjawab Anna. Tenggorokannya tiba- tiba terasa kering. Pria itu hanya berdiri sambil terus menatap Opa Jacob yang tanpaknya semakin tidak responsif karena dokter menyuruh perawat untuk memasukan alat bantu napas dari mulut Opa. Jantung pria itu merosot ke dasar perutnya. Semua tanda- tanda yang ada ini tidak baik. Inin bukan keadaan wajar! “Opa harus bangun!” pekiknya dalam hati.
"Ethan, ada apaan sih?" ucap Anna mengulang pertanyaannya. Kali ini wanita itu memberanikan diri untuk memegang tangan Ethan. Dia menatap wajah Ethan yang membeku.
Namun, pria itu tidak menggubris Anna sama sekali. Pria itu hanya terus menatap para dokter dan perawat bekerja. Dengan kesal, Anna kembali menatap mesin denyut jantung opa karena semua perawat, dokter dan juga Ethan terus memandangi alat itu. Awalnya ada garis yang membentuk bukit kecil yang semakin lama semakin jarang, Namun, tiba- tiba tidak ada lagi bukit, hanya membentuk garis lurus, dan suara dengung yang membuat hati Anna bergetar terdengar tak mengenakkan telinga.
"Tidak ... tidak, dokter tolong Opa saya!" jerit Anna tidak percaya melihat mesin itu. Dia mau mendekati opa, tapi Ethan langsung memegang tangannya dengan kasar.
"Jangan ganggu dokter!" serunya dingin tanpa melihat Anna.
Dokter mengeluarkan mesin defibrillator yang sudah disiapkan tadi untuk membangunkan jantung opa. Anna sudah pernah melihat mesin itu bekerja untuk ayahnya dulu. Dia benci alat itu, namun sekarang dia tahu, dia seharusnya berharap kalau mesin itu melakukan tugasnya dengan baik.
Tanpa sadar wanita itu menggenggam tangan Ethan dengan sekuat tenaga. Jantungnya berdebar kencang, menatap dokter yang saling bergantian terus mencoba memompa jantung Opa, sampai akhirnya mereka melihat jam dan berhenti.
"Maaf, kami sudah mencoba sekuat tenaga kami, tapi Opa tetap tidak responsif. Kami telah berusaha, tapi Tuhan menentukan yang lain," ucap dokter dengan penuh peluh dan wajah sedih.
Anna tidak percaya lalu mendekati Opa Jacob yang tampak tertidur, wajahnya tampak lelah seperti habis berjuang.
"Opa ... bangun Opa ... kita baru bertemu, kenapa Opa malah pergi lagi?” isaknya sedih.
Anna merasakan sentuhan halus di pundaknya. Ethan menatap Opanya dengan bibir yang terkatup kencang sampai membentuk garis lurus. Sekilas wajahnya seperti tidak ada emosi, tapi dari matanya Anna tahu, Pria itu sedang menahan seluruh perasaannya yang sedang berkecamuk.
"Opa!" teriak Anna lagi menatap Opa. Seketika Ethan meraihnya, Anna langsung masuk ke dalam pelukannya menangis sepuasnya. Mereka saling berpelukan, Ethan bahkan tanpa sadar mengelus lembut rambut Anna. Entah siapa yang menenangkan dan ditenangkan.
Para perawat dengan perlahan mulai melepaskan semua alat bantu yang melekat di tubuh opa, lalu setelah selesai, mereka semua meninggalkan opa begitu saja di tempat tidurnya.
Ethan kembali menatap opanya dengan rahang terkatup rapat. Wajahnya yang tadi terlihat lelah kini seakan tersenyum. “Bagaimana engkau bisa tersenyum Opa? Engkau pembohong! Opa bilang akan selalu bersamaku, tapi sekarang malah pergi sambil tersenyum seperti itu!” Marah Ethan sangat marah karena tidak siap kehilangan satu- satunya keluarga yang tersisa dalam hidupnya itu.
Kata- kata Anna tadi kembali terngiang di kepalanya. Ethan pernah mendengar kata- kata penyesalan selalu datang terlambat, tapi baru kali ini kata-kata itu masuk menusuk ke dalam hatinya.