Bab 1 Sepuluh Tahun Kemudian
Di tengah-tengah pegunungan raksasa, tebing-tebing curam, dan pohon-pohon kuno yang menjulang tinggi, berdirilah sebuah kuil Tao yang terpencil di puncak gunung, terselubung di antara awan-awan.
Di depan gerbang kuil itu, terdapat dua sosok. Seorang tua dan seorang muda.
"Fabian Leonne, sepuluh tahun telah berlalu. Di dunia fana, tidak ada lagi yang bisa mengalahkanmu. Saatnya kau turun gunung," suara orang tua itu penuh dengan kebijaksanaan yang dibalut kelelahan.
"Kalau kamu mau memukulku, katakan saja langsung," jawab Fabian, tatapannya penuh kebencian saat melihat orang tua itu.
Orang tua itu terdiam sejenak, lalu berkata, "Sebenarnya, aku memukulmu demi kebaikanmu!"
"Cih ...."
Fabian mendengus dingin dan tidak menanggapi.
"Fabian, apa kamu sangat membenciku?"
Orang tua itu tiba-tiba bertanya.
"Dulu aku sangat membencimu!"
"Lalu, sekarang?"
"Sekarang sudah tidak penting lagi. Sepuluh tahun telah berlalu, tidak ada gunanya membicarakan ini."
"Ya, tidak ada gunanya! Berapa banyak sepuluh tahun yang kita miliki dalam hidup ini ...." desah orang tua itu.
"Waktu bagaikan pedang yang mengiris orang-orang berbakat. Bahkan orang sekuat aku, tetap tidak bisa mencapai sisi seberang yang jauh itu."
Orang tua itu menghela napas panjang, dengan susah payah mengangkat kepalanya, menatap langit jauh.
Saat itu, matahari sudah hampir terbenam, meninggalkan langit berwarna jingga kemerahan yang indah.
Cahaya senja menyelimuti hutan di bawahnya, memantulkan sinar yang memukau.
"Matahari terbenam sangat indah, sayangnya itu pertanda senja."
Orang tua itu merenung sejenak.
"Fabian, apa kamu memanggilku ‘guru’ sekali saja?"
Fabian menundukkan kepalanya, namun senyum sinis tetap menghiasi wajahnya.
Orang tua itu tampaknya sudah terbiasa dengan sikap Fabian, dan ia pun melanjutkan.
"Fabian, menurutmu seperti apa dunia para dewa?"
"Fabian, aku mau makan pangsit."
"Fabian, gigiku sakit ...."
Suasana menjadi semakin tenang.
Angin malam berembus lembut, membawa sedikit hawa dingin.
Setelah beberapa saat.
Fabian merasa ada yang tidak beres, dia mendongak dan melihat ke arah orang tua itu.
Ia menyadari bahwa orang tua itu telah menutup matanya. Tak ada lagi tanda kehidupan.
Melihat hal ini, Fabian tiba-tiba maju dan mengangkat mayat orang tua itu, dan berkata dengan dingin.
"Kamu hanya mau menipuku agar turun gunung, lalu cari alasan untuk memukulku lagi, ‘kan? Tidak perlu pura-pura mati seperti ini!"
Tapi ....
Tidak peduli seberapa keras Fabian berbicara, orang tua itu tidak merespons sama sekali.
Wajahnya mulai membiru, dan suhu tubuhnya semakin dingin.
Tubuhnya yang kurus tidak lebih dari 40 Kg, sama sekali tak lagi memiliki aura agung seperti di masa lalunya.
...
Kenangan perlahan muncul di benaknya.
Sepuluh tahun yang lalu.
Saat itu, Fabian baru berusia 22 tahun dan baru saja lulus dari universitas.
Demi memenuhi janjinya pada pacarnya, dia naik bus sendirian ke Yogasa untuk bertemu dengan orang tua pacarnya.
Namun, dalam perjalanan, dia bertemu dengan seorang pria tua misterius.
Pria tua itu berkata bahwa Fabian adalah seseorang yang memiliki tubuh spiritual alami, sangat cocok untuk berlatih Tao.
Kemudian, tanpa memedulikan penolakannya, pria tua itu membawanya ke pegunungan terpencil ini.
Dan sejak itu, sepuluh tahun pun berlalu!
Selama sepuluh tahun, pria tua itu melatihnya dengan latihan paling keras yang pernah ada.
Dia harus bangun dan berlatih sebelum fajar setiap hari.
Pukul tujuh berlatih tinju.
Pukul sepuluh berlatih kaki.
Pukul dua belas berlatih pedang.
Pukul dua siang berlatih teknik mata.
Pukul enam sore berlatih formasi.
Pukul sembilan malam berlatih teknik obat.
Setelah tengah malam, ia mulai latihan pernapasan dan meditasi.
Hari demi hari, tahun demi tahun.
Selama sepuluh tahun, dia telah mencoba melarikan diri berkali-kali, ingin meninggalkan tempat ini, ingin pulang.
Namun setiap kali mencoba melarikan diri, dia dengan mudah tertangkap oleh pria tua itu dan dipukuli habis-habisan!
Yang terburuk, ia hampir kehilangan nyawanya sekali.
Meskipun berlatih Tao adalah kesempatan besar, Fabian tidak peduli sama sekali.
Pacarnya masih menunggu untuk dilamar, ayah dan ibunya yang sudah tua serta adik perempuannya yang masih kecil menunggunya pulang, ia adalah tulang punggung keluarga.
Bagaimana mungkin dia bisa tinggal di sini?
Tapi, tidak peduli seberapa keras ia memohon, pria tua itu tidak bergeming.
Dia bahkan pernah dengan sopan meminta izin untuk mengirim kabar ke keluarganya, bahkan sampai berlutut dan memohon, tapi pria tua itu tetap tidak mengizinkannya.
Sebaliknya, setelah memukulinya, pria tua itu berkata dengan dingin.
"Berlatih Tao adalah melawan takdir. Kamu harus memutuskan semua keterikatan duniawi!"
"Fabian, kecuali aku mati, jangan pernah berpikir untuk turun gunung!"
...
Sejak saat itu, Fabian mulai membenci pria tua itu!
Setiap hari dia berlatih dengan keras, berharap bisa segera melebihi kemampuan pria tua itu, lalu menghancurkannya hingga berkeping-keping untuk menghilangkan kebenciannya.
Sepuluh tahun pun berlalu dalam sekejap!
Dia telah berlatih keras selama sepuluh tahun, namun bukan hari di mana dia bisa menandingi kemampuan pria tua itu yang tiba, melainkan pemandangan seperti ini.
Saat ini, hati Fabian terasa hampa.
Tidak ada kegembiraan seperti yang dia bayangkan, juga tidak ada kemarahan seperti yang dia harapkan. Yang ada hanyalah ketenangan.
Atau lebih tepatnya, mati rasa.
Seolah-olah sepuluh tahun perjuangannya terasa begitu konyol.
Angin malam bertiup semakin kencang.
Suhu di gunung mendadak turun seolah mencapai titik beku.
Fabian tidak mengatakan sepatah kata pun, dan dengan diam menguburkan orang tua itu.
Kemudian dia berdiri dan berbalik, sepasang mata yang sedih menatap pegunungan hijau di kejauhan.
Tidak ada yang bisa memahami perasaannya saat ini.
Lama ....
Sangat lama ....
"Tak disangka kali ini kamu benar-benar mati!"
"Tubuhmu akan perlahan menghilang, menyatu dengan keabadian, seperti butiran pasir di gurun. Dalam arti tertentu, ini mungkin juga merupakan bentuk kehidupan abadi."
"Selamat tinggal, tidak akan ada pertemuan lagi!"
Fabian akhirnya tetap tidak bisa memanggilnya 'guru'.
Atau mungkin, sekarang tidak ada artinya lagi?
Dia mengeluarkan pedang panjangnya, seluruh tubuhnya berubah menjadi sinar cahaya, menghilang di cakrawala.
Jika ada praktisi Tao di sini, mereka pasti akan sangat terkejut.
Sulit dibayangkan, di zaman ini, masih ada orang yang bisa terbang dengan pedang!
...
Setengah jam kemudian.
Fabian akhirnya kembali ke kampung halamannya yang masih ada dalam ingatannya.
Kampung halamannya terletak di pinggiran Kota Bukit Emas, Provinsi Jeroz.
Dan rumah yang selalu ia rindukan hanyalah sebuah rumah sederhana.
Di depan rumah ada kolam kecil, di tepi kolam ada pohon willow yang berayun-ayun.
"Jadi ... semuanya masih sama!"
Melihat pemandangan yang akrab ini, mata Fabian yang dalam akhirnya menjadi basah.
Sepuluh tahun sudah berlalu sejak ia meninggalkan tempat ini, dan kini ia kembali ke tanah kelahirannya.
Bahkan dengan kondisi batinnya yang tenang saat ini, hatinya tetap terasa pedih, dan air mata hampir saja jatuh.
Di pegunungan, betapa banyak malam dan siang yang ia habiskan, bermimpi tentang pemandangan seperti ini.
Bermimpi tentang masa kecilnya saat berenang di kolam.
Bermimpi tentang kehidupan sehari-hari.
Bermimpi tentang masa lalu yang penuh harapan ... orang-orang yang masih sama.
"Selama sepuluh tahun ini aku menghilang tanpa jejak, mungkin ayah dan ibu sudah menganggapku mati, ya?"
"Dan adikku, saat aku pergi, dia baru umur 9 tahun, sekarang tidak tahu dia sudah kuliah atau belum!"
"Guru tua itu bilang bahwa jalan menuju keabadian adalah dengan memutuskan semua keterikatan duniawi. Tapi kalau harus memutuskan hubungan dengan orang-orang yang paling dekat, lalu apa tujuan berlatih Tao?"
Fabian menghembuskan napas panjang, menenangkan emosinya yang kacau.
Selama bertahun-tahun ini, bukankah ini yang ia tunggu-tunggu?
Tepat saat itu, tiba-tiba terdengar suara tangisan dari dalam rumah.
" Aku salah! Aku tidak mau uang ganti rugi pembongkaran lagi! Aku salah, aku tahu aku salah!"
"Ugh, jangan ... jangan ...."
"Plak! Diam!"
...
Mendengar suara yang menakutkan ini.
Raut wajah Fabian berubah drastis.
Itu suara Yoana Leonne?
Adik perempuannya sedang diserang??
"Sialan!!!"
Ekspresi Fabian berubah menjadi sangat dingin, hampir seperti ia sedang bergerak dengan kecepatan kilat, melesat menuju pintu rumah!
...