Bab 7 Perkelahian
Tentu saja, untuk menghadapi Charlie yang seperti udang kecil ini, Julian bahkan bisa menjatuhkannya tanpa menggunakan tangan, hanya saja dia memang tidak suka memakai sarung tinju.
Wajah Charlie menjadi dingin.
Anak ini sungguh sombong.
Dia menggenggam tinjunya dan melemparkan sarung tinjunya ke samping.
"Aku juga tidak pakai."
Seorang wasit di samping mengangkat tangan dan baru saja memberi isyarat untuk memulai, Charlie langsung menyerbu ke arah Julian.
Dengan langkah cepat, dia melancarkan pukulan yang langsung diarahkan ke wajah Julian.
"Bagus!"
Suara sorak-sorai terdengar dari penonton.
Kecepatan dan kekuatan ini sungguh luar biasa.
Namun, Riana merasa cemas.
Charlie baru saja berjanji padanya akan menahan diri, tapi melihat kekuatan tinjunya, meski jaraknya jauh, sudah membuatnya ngeri.
Julian berdiri di tempat, tidak membuat sikap bertahan, seolah-olah dia terkejut dan tidak bergerak.
"Aku pikir dia lumayan, ternyata hanya ini saja?"
"Aku bertaruh dia akan kalah dalam satu ronde."
Beberapa teman baik Charlie, tertawa terbahak-bahak.
Namun, detik berikutnya, tepat ketika tinju Charlie hampir menyentuh wajah Julian kurang dari satu sentimeter, Julian tiba-tiba bergerak.
Dia berputar ke samping, menghindari tinju Charlie.
Lalu, dengan cepat, dia meraih lengan Charlie dan menariknya, langsung melancarkan pukulan keras ke wajah Charlie.
Charlie langsung terlempar berputar dan jatuh ke lantai, kehilangan seluruh kekuatannya untuk bertarung.
Suasana langsung hening.
Charlie, yang pernah berpartisipasi dalam pertandingan bela diri profesional dan meraih juara ketiga, kini dikalahkan dalam satu pukulan.
Mulut Riana terbuka lebar. Dalam ingatannya, sebelum masuk penjara, Julian hanyalah seorang pria lemah.
Walaupun dulu dia melindungi pacarnya dengan melawan anak orang kaya, saat itu dia menggunakan pisau dari toko daging di dekatnya, bukan karena dia kuat.
Hanna bahkan terlihat sangat terkejut hingga hampir kehilangan kata-kata, “Astaga, gila ....”
Beberapa teman baik Charlie, segera berkumpul, dan menatap Julian dengan mata yang penuh ancaman.
Dan Julian dengan angkuh menunjuk mereka satu per satu.
"Siapa lagi yang tidak puas? Naik sini, kita latihan."
Mendengar ini, mereka semua terdiam.
Jika Charlie yang kuat saja bisa dikalahkan oleh Julian, maka maju melawan dia hanya akan mempermalukan diri sendiri.
“Penakut.”
Julian berkata dengan sinis, lalu langsung meninggalkan ring.
"Aku akan pergi berkeliling dulu, kalau ada apa-apa, hubungi aku."
Julian berkata pada Riana.
Riana mengangguk tanpa sadar.
Detik berikutnya, Julian sudah berjalan ke luar.
Setelah memberi pelajaran, jika orang itu masih tidak kapok, Julian tidak akan ragu untuk memberinya peringatan yang lebih keras di lain waktu.
Saat ini, Charlie yang masih di atas ring mulai bangkit dengan kepala sedikit pusing. Dia hanya bisa menatap punggung Julian yang semakin menjauh, dengan tinju yang mengepal erat.
Dia telah dipermalukan hari ini.
Pada saat yang sama, ada sedikit rasa takut di matanya.
Riana memiliki saudara laki-laki seperti ini, cukup merepotkan.
...
"Charlie, kamu baik-baik saja?"
Setelah Julian pergi, Riana baru ingat dan buru-buru naik ke atas ring untuk membantu Charlie, menunjukkan kepeduliannya.
Charlie mengusap pipinya yang mulai bengkak dan menggelengkan kepala, “Aku tidak apa-apa. Kakakmu itu benar-benar tidak tahu aturan, sampai menyerangku secara diam-diam.”
"Aku pikir dia orang biasa, jadi aku sengaja menahan diri supaya tidak melukainya."
Charlie mengeluh.
"Ya, ya, itu semua salahnya, aku minta maaf atas namanya," Riana berkata sambil terus menenangkannya.
Namun, wangi parfum Riana yang berada begitu dekat, membuat Charlie merasa bersemangat.
“Riana, bagaimana kalau kita pergi ke bar? Aku tahu bar baru yang keren, ada penyanyi terkenal dan dekorasinya sangat menarik.”
"Ini ...."
Riana agak ragu.
Dia bukan anak kecil lagi, jadi dia paham apa maksud tatapan Charlie.
Pergi ke bar, di bawah pengaruh alkohol, akan sangat mudah terjadi sesuatu.
Meskipun dia cukup tertarik dengan Charlie, tapi dia tidak ingin menyerahkan dirinya terlalu dini. Dia ingin mengenalnya lebih baik.
"Riana, kamu takut? Apa kamu tidak percaya padaku? Kalau kamu tidak ikut, aku mungkin akan marah."
“Lagi pula, kakakmu tadi sudah memukulku. Kalau bukan karena kamu, aku tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Anggap saja kamu menebus kesalahan kakakmu, bisa ‘kan?”
Hanna juga menimpali, “Iya, Riana, ayo kita bersenang-senang bersama.”
"Baiklah ...."
Riana akhirnya mengangguk dengan ragu.
"Kalau begitu, kita berangkat sekarang."