Bab 13 Jangan Ikut Campur Dengan Urusan Adikmu
Namun, ketakutan di mata mereka semakin jelas.
Saat itu, Yohanes masuk ke dalam ruangan dan menodongkan pistol ke kepala Daniel.
Ujung pistol yang baru saja ditembakkan masih terasa panas.
Daniel, yang sudah berpengalaman dalam dunia seperti ini, hampir kehilangan kendali. Keringat dingin mengalir di dahinya.
Ini sangat menakutkan.
Jika lawan sedikit gemetar, kepalanya bisa meledak.
“Uh ... mari kita bicarakan baik-baik,” ujar Daniel sambil menelan ludah, suaranya gemetar.
“Lumpuhkan salah satu kakinya, sebagai pelajaran untuknya,” kata Julian dengan dingin.
Yohanes segera menurunkan pistolnya, dan dengan “dor” satu tembakan, sebuah semburan darah muncul dari paha Daniel.
Julian tidak melirik Daniel sedikit pun, ia hanya memandang ke arah Johan.
"Jaga anakmu, kalau dia berani muncul di depan adikku lagi, aku akan mematahkan tiga kakinya."
Johan terkejut dan mengangguk berulang kali.
Siapa yang berani mengganggu bintang maut ini.
"Baiklah, sekarang semuanya keluar," perintah Julian.
Orang-orang yang sudah ketakutan segera berhamburan keluar dari ruangan.
Setelah semua orang pergi, Julian memasukkan tangan ke saku dan keluar dari ruangan dengan santai.
Di luar ruangan.
Anak buah Daniel berjongkok dalam barisan dengan tangan di atas kepala.
Di sebelahnya, pria-pria berbadan kekar berpakaian hitam, dengan senjata yang diarahkan, adalah orang-orang yang dibawa oleh Yohanes.
“Apa yang harus kita lakukan dengan mereka?” tanya Yohanes.
“Patahkan satu kaki masing-masing, sebagai hukuman.”
Setelah berkata demikian, Julian berjalan keluar dari klub.
Terdengar suara jeritan kesakitan bergema di dalam klub.
Charlie dan teman-temannya, yang baru saja berlari keluar, mendengar suara jeritan itu dan gemetar ketakutan.
Setelah melihat semua kejadian tadi, mereka menyadari betapa kuatnya pengaruh Julian.
Tak lama setelah meninggalkan klub, Julian menerima telepon dari adiknya, Raina.
"Kakak, kamu baik-baik saja? Aku sudah pulang ke rumah."
"Tenang saja, masalahnya sudah selesai."
Lalu, Julian pun mengakhiri panggilan dan kembali ke vila Golden.
Keesokan paginya.
Julian meminta Yohanes mengantarnya ke rumah bibinya, sekaligus membelikan beberapa suplemen penenang untuk adiknya, Raina, yang pastinya mengalami ketakutan hebat semalam.
Begitu masuk ke rumah, Julian melihat pamannya, Ridwan, sedang menatapnya dengan marah.
"Julian, bagaimana kamu menjaga adikmu? Kalau bukan karena ayah Charlie yang datang tepat waktu, entah apa yang akan terjadi."
...
Julian langsung kebingungan mendengar kata-kata pamannya itu.
"Ada apa ini?"
"Ayah, aku pergi ke bar sendiri, bukan karena kak Julian."
"Selain itu, kak Julian datang tepat waktu, kita seharusnya berterima kasih pada kak Julian."
Raina buru-buru menjelaskan.
Akhirnya, ada yang berbicara dengan adil.
Julian meletakkan suplemen itu di meja dan duduk di seberang Raina.
"Raina, bagaimana lukamu?"
"Tidak apa-apa," jawab Raina sambil mengompres wajahnya dengan telur rebus.
“Kak Julian, setelah aku kabur kemarin, aku baru sadar betapa kuatnya pengaruh Daniel, dan aku khawatir kamu akan mengalami masalah,” Raina melanjutkan. “Tapi belakangan aku dengar semua orang bisa keluar dengan selamat. Pasti ayah Charlie yang menyelesaikan semuanya dengan uang, ‘kan?”
Jadi, begitu.
Julian akhirnya memahami situasinya.
"Setelah Charlie keluar, apa dia ada menghubungimu lagi?" tanya Julian sambil mengerutkan alisnya.
Raina menggeleng, "Tidak, aku bahkan mencoba meneleponnya, tapi dia tidak angkat. Aku jadi cemas."
Julian tak bisa menahan diri dan berkata, "Raina, kalau Charlie tidak menghubungimu lagi, itu justru bagus. Dia bukan orang yang baik."
Mendengar itu, Raina tampak sedikit kesal.
Pamannya, Ridwan, langsung mengeraskan nada suaranya, "Julian, urus saja dirimu sendiri. Tidak perlu ikut campur urusan adikmu.”
“Menurutku, Charlie itu anak yang baik, dan aku kenal ayahnya, Johan. Dia pengusaha terkenal di kota. Kalau adikmu menikah dengannya, itu merupakan peningkatan derajat bagi kita. Kamu harus doakan yang terbaik untuk adikmu, bukan cemburu melihatnya lebih baik darimu.”
Kata-kata Ridwan sangat tajam.
Dia sangat mendukung hubungan Raina dengan Charlie.
Namun, setelah kejadian kemarin, Charlie tidak mengangkat teleponnya, dan inilah yang sebenarnya membuat Ridwan marah.
"Paman, aku ini kakaknya Raina, mana mungkin aku mencelakakannya?"
Julian hanya bisa menghela napas.
Punya ayah seperti ini, Raina benar-benar tidak beruntung.
Melihat pamannya yang jelas tidak senang dengan kehadirannya, Julian pun enggan berlama-lama. Setelah menghibur Raina sebentar, dia segera bangkit untuk pergi.