Bab 1 RUBY
Tok tok
"Non!" panggil bik Mar, ART(asisten rumah tangga) sekaligus pengasuh gadis yang masih bergelung selimut di dalam kamarnya.
Pintu yang tak pernah dikunci selama gadis itu tinggal di kamar ini, selalu memudahkan sang bibi untuk membangunkannya untuk bersekolah, kamar yang lebih di dominasi warna abu dan putih menjadi ciri khas kamarnya, tak seperti kebanyakan anak gadis remaja lainnya yang lebih suka warna cerah, tapi Ruby, ia lebih suka warna gelap.
Tepukan lembut wanita paruh baya ini sarangkan di lengan gadis itu agar ia terbangun. "Non! sudah jam enam! ini hari senin lo!" tuturnya.
"Ini hari minggu, Bi ! " jawabnya parau dengan mata masih terpejam, bahkan selimut yang kini bertengger di kakinya ia tarik kembali untuk menutupi seluruh tubuhnya.
"Hari minggu itu kemarin, Non! itu motornya juga sudah siap sama mang Joko sudah dibersihkan! sarapan juga sudah siap!" tutur sang bibi sambil menahan tawanya.
Gadis bernama Ruby persis dengan nama salah satu batu permata yang sangat di idam-idamkan para khalayak ini tiba-tiba menyibakkan selimutnya dan duduk menatap sang pengasuh dengan kedua mata sayunya. bibi Mar pun terkejut sehingga refleks memundurkan tubuhnya kebelakang. “Non, Ruby bikin kaget saja!” tutur wanita paruh baya itu sambil mengusap dadanya.
"Ck! Bibi, ganggu deh! masih ngantuk ini! hoam!” ujar Ruby sambil menguap dan mengedip-ngedipkan kedua matanya yang lelah. Semalam setelah berkencan dengan dua sahabatnya, Ruby yang memiliki banyak pekerjaan langsung mengambil macbooknya dan mengerjakan pekerjaannya yang sudah tertunda beberapa hari. Karena terlalu fokus dia tak lagi melihat jam yang bertengger cantik di tembok kamarnya hingga tanpa sengaja Ruby tertidur di meja belajarnya.
“Memang tadi malam sampai jam berapa begadangnya, Non?” tanya bibi Mar.
“Nggak tahu. Pokoknya jam tiga dini hari tadi bangun masih di meja sana,” tunjuk Ruby dengan dagunya.
"Bangun ya, Non! sudah jam enam lebih, nanti terlambat lagi ke sekolahnya!”
Si gadis bernama lengkap Ruby Artalitha Rahardian itu hanya mengangguk tanpa menjawab, ia sibakkan selimut dan berjalan menuju kamar mandi dengan langkah gontainya. Sedangkan sang pengasuh kembali ke lantai bawah untuk meneruskan pekerjaannya.
***
Tak membutuhkan waktu lama, cukup hanya dengan 15 menit gadis dengan rambut panjang berkilau bak iklan shampo itu sudah menggunakan pakaian lengkap beserta sepatu hitamnya.
Sepiring nasi goreng ayam kampung kesukaannya sudah tersaji di atas meja makan. By, nama panggilannya, anak pertama dan satu-satunya Tuan Besar Rahadian ini sekarang sedang menyelesaikan studinya di salah satu SMA unggulan di kota Jakarta, SMA CEMPAKA.
Brum
Suara geberan motor sport Ducati panigale seharga hampir enam ratus juta itu menggema di halaman rumahnya. Motor besar hadiah dari Daddynya yang merupakan kakak dari sang ibu menjadi tunggangannya setiap hari kesekolah.
Kecintaannya terhadap motor besar sejak ia mulai bisa mengendarai kuda besi itu menjadi hobinya hingga sekarang. Tak banyak yang menyangka, wajah cantik, kulit mulus seperti susu itu dengan mata teduhnya merupakan salah satu murid yang cukup disegani di sekolahnya. Bukan karena siapa ayahnya, namun karena perangai Ruby yang selalu membuat beberapa temannya takut terhadapnya. Bahkan para guru pun enggan memiliki masalah dengan gadis bernama Ruby ini, bukan juga karena kekayaan ayahnya namun karena kenakalannya yang sudah cukup membuat para guru angkat tangan.
"Wah, telat!" gumamnya setelah pintu gerbang sekolahnya tertutup bahkan sudah di gembok.
"Telat lagi, Kak?" tanya seorang siswa laki laki yang merupakan adik kelasnya.
"Hum! biasa lah!" jawabnya santai tanpa beban sambil menyenderkan pan*tatnya di sisi jok motornya. Adik kelasnya hanya bisa menggelengkan kepala. Jika siswa lain sudah takut setengah hidup karena terlambat, namun itu tak berlaku untuk Ruby.
"Ck! telat mulu!" toyoran keras dari sang ketua osis hanya disambut dengan kekehan khasnya.
"Biasalah, Run!" ia mendorong motornya masuk ke area parkir siswa bersama dengan para murid yang terlambat.
"Kalian semua! bersihin taman yang ada di depan Ruang Guru!" ujar sang ketua osis memberi hukuman bagi mereka yang terlambat.
Para siswa dan siswi itu hanya pasrah mendapat hukuman. Bagaimana tidak pasrah jika guru BK yang killer nya naudzubillah memandang mereka dengan tajam, setajam omongan tetangga dirumah.
"Kamu mau kemana, Ruby !" guru BK yang bernama Miranti itu menarik seragam Ruby sedikit kasar. Dan sebenarnya Ruby tak menyukai itu.
"Mau bersih-bersih lah, Bu! ya kali saya mau ke kantin!" ujarnya sembari terkekeh.
"Khusus kamu! berdiri di hall dan hormat ke arah tiang bendera sampe pelajaran pertama selesai dan itu baju kamu pakai yang bener!" sarkasnya, sambil memasukkan seragam atasan Ruby kedalam rok yang ia pakai.
"Cih! gak cukup apa tuh bendera dihormati sepanjang upacara, seragam bagus begini di bilang nggak bener!" gumamnya melirik penampilannya sendiri. Rok pendek diatas lutut, kemeja di atas pinggang dengan kancing yang terbuka semua.
"Mau melawan, Ruby?" dua bola mata guru BK itu membelalak lebar seakan ingin menelan Ruby hidup-hidup.
"Nggak lah, Bu! lain kali saja!” gadis itu langsung berlari setelah mengucapkan kalimat yang tentu saja akan membuat hidupnya suram. Ruby segera menuju hall tempat dimana upacara bendera tadi pagi dilangsungkan. Setiap mata memandang heran kepada Ruby, ketua osis serta beberapa guru yang melihat hanya bisa menggelengkan kepalanya bukan sekali atau dua kali namun hampir setiap hari Ruby melakukan itu.
Panas yang cukup terik, serta cahaya yang menyilaukan mata membuat Ruby menelan salivanya sendiri.
“Hari ini panasnya nggak kira-kira banget sih!” omel Ruby sambil sesekali mengibaskan tangannya di depan wajah mulusnya yang sudah memerah.
“Nyes.” Dingin, sejuk menerpa pipi Ruby.
Dari arah samping kirinya, pria yang memiliki tinggi diatas Ruby tersenyum mengejek ke arahnya. Ruby langsung menyambar air dingin kemasan itu dan menenggaknya dalam sekali teguk.
"Ck! tinggal saja di rumah Om Hardi kalau begini terus kelakuanmu, By! telat sekali dua kali itu keteledoran. Tapi kalau dari senin sampai sabtu telat, itu namanya gak waras!" sarkasnya.
"Nggak usah cerewet!”
"Ini nih! ntar kalo Mami tahu, aku yang kena omel! yang katanya nggak mau perhatiin adik lah, ini lah. Huh, nyusahin!" mengangkat tangan dan merangkul leher Ruby hingga gadis setinggi 165 cm itu mengaduh.
"Duri? panggil Dion si pria tampan ketua tim basket ini pada teman Ruby yang sedang celingukkan mencari Ruby tentu saja, siapa lagi.
Duri adalah teman Ruby dari mereka masih di bangku sekolah dasar. Namun karena usaha ayahnya yang bangkrut dan tak lama sang ibu juga mengalami PHK dari tempat kerjanya membuat Duri tak bisa mengikuti Ruby ke sekolah yang sama. Namun, karena usaha yang tak pernah menghianati hasil membuat Duri akhirnya bisa bersekolah di tempat yang sama dengan sahabat karibnya itu dengan bantuan beasiswa.
Widuri Arsyana nama panjangnya, gadis dengan warna kulit kuning langsat khas Indonesia ini berlari kecil menghampiri Dion yang sedang berhadapan dengan sahabat sekaligus adik sepupu pria tampan yang digandrungi satu sekolahan itu.
"Telat, again?" ujar Duri terkekeh hingga memperlihatkan gigi gingsulnya.
"Kalian berdua kalau cuma mau menghakimi aku, mending pergi sana! sebelum tuh nenek lampir datang!" usir Ruby pada dua orang di depannya ini.
Dion hanya bisa menggelengkan kepalanya tanda tak tahu harus bagaimana lagi menyikapi sikap sepupu satu-satunya ini. Sedangkan Duri justru menoyor kepala Ruby hingga kepala gadis cantik itu mendongak.
“Jangan lupa PR matematika!” lirih Duri di samping telinga kiri Ruby.. Ruby yang melupakan jika hari ini ada pelajaran salah satu guru galak yang terkenal dengan penggaris kematian itu menelan ludahnya.
“Yuk, kita balik ke kelas. Tinggalkan gadis bengal ini panas-panasan disini!” tutur Dion sambil menggenggam tangan Duri membuat gadis setinggi 150 sentimeter itu mendongak menatap kakak kelas fenomenal itu.
"Woi! temenku mau bawa kemana!" Teriak Ruby membuat guru yang sedang melintas menghentikan langkahnya.
Sedangkan Dion dan Duri tetap melenggang menuju ke kelas.
"Dah sampai, aku balik ke kelas ya!" Dion mengacak rambut Duri membuat gadis itu mengerjap bingung.
"Kak Dion, kesambet apa dah!" Duri masih bengong di depan kelas sampai Jino sahabatnya harus menepuk pundaknya sedikit keras agar gadis itu tersadar dari khayalannya.
"Ish, Jino! bikin kaget aja!" serunya.
"Lagian, ngapain bengong disini, habis ini pelajaran Bu dessy, Loh!"
"Kak Dion tadi tiba-tiba gandeng tangan aku Jin! nganter aku sampai sini!" ujar Duri masih dengan nyawanya yang terbang entah kemana.
"Mimpi jangan ketinggian! siang hari bolong udah kesambet jin aja!" seru Jino.
“Nggak percayaan banget sih, Jino!” seru Duri sambil mengejar pria manis satu gengnya itu.
***
Ruby yang telah menyelesaikan hukumannya, memilih langsung menuju kantin terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam kelas. Ia sandarkan punggungnya di kursi kantin dan berteriak memesan es jeruk kesukaannya.
“Kena hukuman lagi, Non?” tanya Ibu kantin.
“Biasa lah Bu!” Ruby!” ujarnya sambil menepuk dadanya, bangga atas kelakuan yang tak patut dicontoh itu.
Sedangkan di dalam kelas XII IPA 1, Terjadi ketegangan di antara siswa dan siswi.
"Kumpulkan! PR kalian!" Bu Dessy si pemilik garisan panjang sepanjang tongkat nabi musa sudah standby di mejanya. Jika tongkat nabi musa bisa membelah lautan namun tidak dengan penggaris bu Desi, ia bisa membelah hati hingga tak bersisa.
"Yang tidak mengumpulkan maju kedepan!" teriaknya.
Jino, sahabat sekaligus teman sebangku Ruby. Berdiri hingga membuat kakinya gemetar, “Mampus! kiamat datang!" lirihnya
"Jino, Jino! kebiasaan!" ucap Duri yang duduk di depannya dengan tawa renyahnya.
"Kamu kenapa nggak ngingetin sih!" menyenggol lengan Duri pelan.
"Bodo amat! maju gih!" Duri tertawa tertahan. Sedangkan siswa yang tidak mengerjakan PR sudah berdiri berbaris menghadap tembok.
"Plak!”
"Aduh!" Jino beserta lima siswa lainnya meringis menahan sakit akibat pukulan di betis mereka. Sedangkan Ruby yang tak ingin mendapat hukuman memilih bersembunyi di etalase ibu kantin untuk menyelamatkan nyawanya.