Bab 7 Rumah sakit
Sadewa dan Alex masih terdiam dan terpaku pada berkas yang ada di hadapan mereka. Entah kini harus bagaimana ia bisa membuat gadis seperti Ruby mau setuju menikah dengannya.
“Lalu, apa yang akan Bapak lakukan sekarang?” Tanya Dewa memecah keheningan.
Alex masih terdiam dan tak ingin menjawab pertanyaan asistennya itu. Ia masih cukup kesal dengan pernyataan Dewa beberapa saat lalu mengenai gadis yang akhir-akhir ini sedikit membuat hidupnya yang flat sedikit berkelok bahkan bergelombang.
“Apa, Bapak mulai mencintai Nona Ruby?” tutur Dewa membuat Alex menatap asistennya itu penuh selidik.
“Apa, maksudmu?” ujar Alex sembari menyipitkan matanya.
“Bapak sepertinya sedikit berlebihan akhir-akhir ini jika menyangkut tentang Nona. Ini murni karena Tuan besar, atau memang Anda….”
“Diam, kau!” seru Alex membuat Dewa langsung menutup mulut tanpa filter itu dengan rapat.
Jika satu tahun ini ia hanya menganggap Ruby adalah seorang anak remaja manja dan tak layak dijadikan pendamping hidup walau sang ayah memaksanya. Alex tetap bersikukuh tetap tak ingin melakukannya. Namun saat untuk pertama kali setelah satu tahun ia tak bertemu dengan Ruby, seolah ada gejolak yang tak bisa ia jabarkan tentang gadis itu. Setelah pertemuan mereka kala makan siang bersama di kediaman Danubrata, saat ia melihat Ruby dengan penampilan serta segala hal yang dia lakukan, seketika pendapat Alex tentang Ruby berubah saat itu juga.
Apa lagi sekarang di depan matanya ada beberapa kertas bertuliskan segala hal tentang gadis itu yang cukup membuatnya tercengang. Banyak rahasia yang tak bisa ia tebak mengenai seorang Ruby, membuat Alex semakin tertarik dengan kehidupan gadis itu.
“Mulai sekarang, cari tahu semua hal yang gadis itu lakukan, sedetail mungkin dan jangan sampai ada yang terlewat! kamu mengerti?” Dewa mengangguk antusias, terlihat senyum menghiasi pria berusia 24 tahun itu.
“Jangan coba-coba menarik perhatiannya, awas kau!” ancam Alex.
“Siap, Pak!” hormat Dewa kepada Alex layaknya kepada bendera saat hari senin. Sedangkan Alex hanya bisa memutar bola matanya malas melihat kelakuan absurd asisten yang sayangnya selalu bisa diandalkannya itu.
***
Siang menjelang sore, jalanan kota Jakarta yang semakin ramai dan sibuk membuat para pengendara termasuk Ruby mengumpat kesal. Karena satu hal Ruby yang terbiasa menaiki kendaraan roda duanya kini harus ikut berjejal dengan antrian mobil. Satu jam yang lalu, Dion sepupunya memberikan kabar padanya jika wanita cantik yang ia sebut dengan Mommy pingsan karena dehidrasi dan kini sudah dilarikan ke rumah sakit.
“Ini jalan kenapa sih, nggak gerak!” umpat Ruby.
“Sabar, By! sebentar lagi juga sampai kok!” ucap Duri mencoba menenangkan sahabat yang sudah dianggapnya saudara itu. Sedangkan pria yang menjadi anak kandung dari wanita yang tengah terbaring di rumah sakit itu tetap tenang dan tak terganggu dengan sikap yang Ruby tunjukan. Justru ia tetap menyetir dengan tenang seolah tak terjadi apapun.
Tak lama terlihat dari pandangan Ruby papan nama bertuliskan Rumah Sakit Permata kini hanya tinggal beberapa meter saja. Hatinya sungguh tak tenang, ia ingin segera bertemu dan mengetahui kondisi wanita yang sudah sangat baik mengurusnya dari ia kecil hingga ia dewasa seperti sekarang. Apa lagi setelah ibunya meninggal nyonya Winda lah yang selalu mengurus segala keperluan Ruby walau mereka tinggal di kediaman yang berbeda. Bahkan ibu tiri yang kini mendampingi sang ayah tak lebih baik dari nyonya Winda sendiri.
Sesampainya di lobby rumah sakit, Ruby langsung keluar dari dalam mobil dan berlari cukup cepat hingga membuat Duri memekik.
“Tuh anak! nggak takut jatuh apa! lari kaya cheetah.” omel Duri sembari menutup pintu mobil.
“Namanya juga khawatir, Widuri!”
“Tapi kok, kak Dion santai sih? itu yang sakit ibu kak Dion lho!” tanya Widuri mencoba menelisik. Dion yang mendapat tatapan seperti itu tak menampakan ketakutan atau kekhawatiran, justru ia sedang menyunggingkan senyumnya. Tak tahu saja saat Ruby mengajak Duri untuk ikut membuat pria dihadapan Duri ini senang bukan main.
“Yuk! jalan pelan-pelan saja.” Dion merangkul Duri membawa gadis itu berjalan bersamanya. Sedangkan Duri hanya bisa menggeleng kecil, tak tahu harus mengatakan apa lagi.
Di sebuah kamar VVIP sang nyonya besar yang tengah terbaring lemah sedang mendapat tatapan tajam dari sang suami karena tindakan keras kepalanya.
“Tidak bisakah kamu mengalah sayang, ini semua demi kebaikan Ruby!” kesalnya.
“Tidak bisakah kamu dan Mas Hadi tak memaksakan kehendak itu pada Ruby, biarkan ia bebas memilih kehidupannya, Pih! Papi tahu betulkan bagaimana selama ini usaha Ruby!” ucap sang istri tak mau kalah.
“Justru ini semua demi kebaikan Ruby, sayang. Alex lah yang paling cocok dari semua pria yang aku dan Mas Hadi pilih, untuk semua hal yang telah Ruby lakukan selama ini pada kenyataanya Mas Hadi tidak mengetahuinya ‘kan? jadi sudahlah, jangan memperpanjang masalah yang tak perlu.”
“Sudahi marahmu, aku tak mau kamu semakin sakit. Jangan sampai Ruby tahu jika kamu sakit karena mogok makan, demo tutup mulut agar aku dan Mas Hadi membatalkan rencana itu, jelas tak akan terwujud!” lanjut sang suami.
Winda, terdiam. Ia kembali meneteskan air matanya, ia merasa sangat berdosa jika ia ikut menyetujui niat sang suami dan saudara iparnya itu. Karena ia tahu betul pesan yang terucap di akhir hayat adik iparnya merupakan keinginan yang sudah menjadi harapan utama saat Ruby terlahir kedunia ini. Nyonya Winda juga tahu bagaimana Ruby selama 3 tahun ini memulai semua bisnisnya dengan susah payah agar suatu saat sang ayah melepaskannya dan membiarkannya hidup bebas dengan semua pilihannya.
Ibu Ruby, Nyonya Asmitha tahu betul kehidupan pernikahan dengan proses perjodohan itu tak mudah, dan terbukti setelah ia hamil Ruby dan melahirkan anak itu. Sang suami tuan Rahadian masih belum sungguh-sungguh menaruh hati pada ibu Ruby yaitu almarhum Nyonya Asmitha. Walau akhirnya cinta itu tumbuh besar namun semua proses itu tak ingin terjadi kepada sang anak. Ia ingin Ruby menikah dengan pria yang ia cintai begitupun sebaliknya.
“Sudahlah sayang, cukup doakan agar Ruby bahagia dengan Alex itu sudah lebih dari cukup, aku dan Mas Hadi juga sangat mencintai anak itu, kami sangat peduli padanya, terlepas apa yang menjadi wasiat Asmitha ‘tuk terakhir kalinya, ini juga merupakan keinginan seorang ayah,” tutur Tuan Aswan mencoba menenangkan sang istri. ia usap pundak ringkih yang terlihat sedikit tulang yang menonjol karena asupan nutrisi yang tak teratur akhir-akhir ini. Sedangkan diluar seorang gadis tengah berdiri mematung mendengar semua hal itu. Tak ingin ketahuan menguping ia memilih untuk segera masuk kedalam. Dengan diawali rapalan doa yang ia bisa, tangannya terulur untuk membuka pintu itu lebar-lebar.
Klek
Pintu terbuka, gadis yang tengah menjadi perbincangan mereka menyembulkan kepalanya melihat seolah-olah apakah kamar yang ia datangi tidak salah.
“Dad,” panggilnya sambil celingukan.
Pria yang tengah memeluk istrinya itu melepas dekapannya dan berjalan ke arah pintu. “Ruby?” panggilnya.
“Ah, syukur aku kira salah kamar!” tutur Ruby sambil melangkahkan kakinya masuk kedalam kamar VVIP itu dengan senyum yang dibuat gembira.
“Kamar ini kan sudah biasa di pakai Mommy mu jika sedang tak enak badan! kenapa harus keliru, ada-ada saja,” kekeh Tuan Aswan.
Ruby sedikit menyunggingkan senyumnya, sejenak ia terpaku melihat ke sekeliling kamar yang didominasi warna putih serta beberapa vas bunga lengkap dengan bunga tulip bertengger disana.
“Sepertinya ruangan ini di rombak ya, Mom?” tanya Ruby sesampainya di ranjang tempat Nyonya Winda tengah berbaring.
“Ia sayang,” ucapnya lemah.
“Mommy kenapa? apa Daddy tidak memberikan mommy makanan yang bergizi, mommy terlihat kurus!” tutur Ruby membuat Dion yang baru saja masuk bersama Duri terkekeh.
“Selamat siang Om, Tante. Saya teman Ruby,” ujar Duri menyalami tangan Tuan Aswan dan Nyonya Winda bergantian.
“Bukannya biasanya kalian bertiga, dimana yang satunya?” tanya Tuan Aswan.
Duri sedikit mengerutkan dahi mengingat siapa yang Tuan Aswan maksud.
“Jino,” ucap Dion sambil membetulkan kursi yang akan dia duduki.
“Oh, Dia ada urusan tadi, jadi saya kesini bertugas menemani Ruby,” lanjut Widuri dengan senyum polosnya.
Nyonya Winda yang mendengar penuturan Duri tersenyum, “Memangnya apa tugas Duri, jika Jino ada di antara kalian?” tanya nya ingin tahu.
“Em.. Jino setiap hari bertugas menjadi pengawal kita berdua Tan, tapi kalau dia tidak ada dan ada hal yang penting terkait kita berdua, ya.. salah satu dari kami yang bertugas,” tuturnya kebingungan dengan ucapannya sendiri.
“Kamu ngomong apa sih, Dur!” ucap Ruby yang ikut bingung dengan pernyataan gadis setinggi 150 cm itu tuturkan.
“He he!” tawa lebar menghiasi wajah Duri membuat Nyonya Winda ikut terkekeh.
Obrolan pun mengalun begitu saja hingga Ruby yang tadinya sangat khawatir mengenai kondisi sang Mommy akhirnya bisa bernafas lega saat dokter yang menangani wanita berusia lebih dari seperempat abad itu mengatakan jika Winda baik-baik saja hanya butuh istirahat dan membuat jadwal makan yang teratur.