Bab 2 Pertemuan pertama
Jam menunjukan pukul 12 yang artinya tak lama lagi siswa dan siswi sekolah bergengsi itu akan menyelesaikan perjuangan mereka menuntut ilmu hari ini.
“By! ngemall yuk!” ujar Jino.
“Ngapain ke mall?” sahut Duri.
“Rebahan!” ucap Jino kesal.
Duri dan Ruby cekikikan mendengar ucapan kesal sahabat mereka.
“Aku nggak bisa kemana-mana hari ini, Mommy Winda nyuruh kerumah.
“Tante Winda?” ujar Jino dan Duri bersamaan.
Jika wanita bernama Winda itu meminta Ruby datang ke kediamannya pasti ada masalah serius yang harus segera di bicarakan.
“Minta ucup, bawa motor aku pulang!” ujar Ruby yang mendapat anggukan dari Jino.
“Bareng, Kak Dion?” Tanya Duri.
“Jelas, nggak usah ditanya lagi!” ujar Ruby malas.
Dan kini, gantian ia yang mendapatkan kekehan dari dua sahabat laknatnya itu.
Dari kejauhan dua orang gadis yang merupakan anak kelas IPS memandang Ruby and gengs sambil berdecak.
“Ruby cuma beruntung saja karena jadi anak konglomerat sekaligus sepupu Dion, coba saja dia tidak memiliki itu semua. Masih baik dan cantik aku kemana-mana ‘kan?” ujarnya sambil menelisik penampilannya sendiri. Teman yang bermuka dua yang setiap hari mendukung semua kejahatannya itu hanya bisa tersenyum mengiyakan. Padahal di hatinya ia juga mengagumi Dion.
***
Di dalam mobil Dion, Ruby yang lelah karena jalanan yang cukup macet sesekali berdecak dan beberapa kali terlihat merubah posisi duduknya sehingga membuat kakak sepupu yang berbeda hanya beberapa bulan itu menghela nafas.
“Tau gitu, pakai motor saja tadi!” cicitnya kesal.
Jika Ruby yang sudah terbiasa ngebut di jalanan agar segera sampai di tujuan, lain halnya dengan Dion yang lebih suka memakai kendaraan beroda empat itu kesekolah. Pria pecinta kebersihan dan sangat menjunjung kerapian dimanapun dia berada. Tak pernah dan tak akan pernah mau mengendarai kuda besi walau ia memilikinya. Hanya satu alasannya, tubuhnya tak lagi higienis. Sungguh berbanding terbalik dengan saudara sepupunya yang cantik layaknya barbie namun kelakuan bagai devil..
“Ada apa, Mommy memintamu kerumah? ada masalah yang aku tak tahu?” tanya Dion disela-sela kemacetan.
“Mana aku tahu! jika aku tahu lebih dulu aku tak akan datang dan memilih kabur ke antartika!” Kelakar Ruby.
Dion tertawa, Mami, Papi serta sang om yaitu ayah Ruby selalu memiliki kejutan yang tak pernah mereka sangka. Kejutan yang tak pernah menguntungkan bagi mereka namun sangat mengasyikkan bagi mereka para orang tua.
“Lalu, bagaimana dengan perjodohan itu?” tanya Ruby.
“Selamanya aku tak akan mengakui sheila sebagai calon pasanganku!” amit-amit!” ujar Dion bergidik.
“Jangan amit-amit! nanti suka kamu baru tahu rasa!” tawa Ruby lebih seperti ejekan.
“Jangan katakan itu, seolah aku akan benar-benar tertarik dengan wanita ular itu!” Dion bergidik ngeri membayangkan jika ia tergila-gila dengan wanita yang dijodohkannya itu. Jika perempuan yang dijodohkannya itu adalah seseorang yang ada dipikirannya sekarang tentu saja dia akan setuju.
Ruby tersenyum, menarik sudut bibirnya. “Jangan pernah libatkan sahabatku dalam urusanmu! awas kau!” ancamnya, bak paranormal Ruby menebak perasaan Dion dengan tepat.
“Apa maksudmu?” tanya Dion pura-pura tak mengerti.
“Kau menyukainya! terlihat jelas!” ucap Ruby dengan mata memandang lurus kedepan.
Dion berdehem, menetralkan semburat merah di wajahnya. Dia tak menyangka jika selama ini apa yang ia lakukan terbaca dengan cukup jelas oleh adiknya ini. “A aku tak melakukan apapun, kau tahu itu.” Elaknya.
“Ya, kamu memang tak melakukan apapun! tapi tatapan mata dan gestur tubuhmu sangat mudah terbaca olehku!” ujar Ruby menatap Dion dengan seksama.
“Sekarang saja, tanpa menyebut namanya. Pipimu seketika memerah! cih!” Ruby terbahak. Ia sangat senang karena bisa mengganggu sang kakak.
“Stop! Ruby!” seru Dion.
Ruby, gadis itu terdiam dan menatap ke arah depan dengan tatapan mengintimidasinya. “Ini peringatan! jangan libatkan dia jika hatimu tak tulus! kau tahu dengan pasti, bagaimana keluarga kita!” kata yang penuh penekanan itu membuat Dion menghela nafasnya.
Gerbang dengan aksen bunga melati serta bubuhan cat berwarna emas itu membuat kesan mewah dan elegan pada rumah yang sudah ditempati dari Dion lahir hingga saat ini. Walau terdapat banyak perubahan di berbagai sudut rumah. Namun, kesan mewah tak pernah luntur dari kediaman besar ini.
“Selamat siang Tuan Muda dan Nona Muda!” pria paruh baya dengan baju khas kepala pelayan datang menyambut kedua remaja itu.
“Nyonya serta yang lain sudah menunggu Anda berdua, untuk makan siang bersama.” tutur kepala pelayan kediaman besar Danubrata.
“Yang lain?” beo Ruby.
“Iya. Nona muda. Ada Tuan besar Rahadian bersama sang istri juga sedang menunggu kedatangan kalian.”
Dion dan Ruby saling pandang. Mereka tahu jika seluruh keluarga besar berkumpul berarti memang ada hal yang serius yang akan para orang tua itu bicarakan.
“Kali ini riwayat siapa yang akan tamat!” ujar mereka secara bersamaan.
Dion dan Ruby saling melirik dan menghela nafas mereka. Dengan penuh degup jantung yang kian cepat, Ruby serta Dion akhirnya melangkahkan kakinya secara bersamaan menuju ke ruang makan.
Terdengar sayup-sayup tawa dari para orang tua yang membuat kedua remaja itu mengerutkan dahinya. “Selucu itu sampai kedengaran dari depan,” cicit Ruby.
“Selamat siang semua!” tegas Ruby dengan mata elang memandang seluruh penghuni ruang makan itu.
Tawa yang cukup riang tadi seketika terhenti, setelah mendengar ucapan selamat siang yang sama sekali tak terdengar seperti sebuah sapaan.
“Siang sayang!” sahut sang ayah, Tuan besar Rahadian dengan senyum kerinduannya.
“Ayo, kalian bersih-bersih, setelah itu ikut kami makan siang bersama. Jangan terlalu lama, kita sedang ada tamu.” ucapan yang diiringi senyum itu sama sekali tak menandakan gurauan, tapi lebih seperti suruhan yang mutlak.
Dion dan Ruby mengangguk secara bersamaan. Mereka memutar badan dan segera berlalu ke kamar mereka masing-masing untuk membersihkan diri. Tanpa Ruby sadari, pria muda yang ada di kerumunan para orang tua itu, memandang Ruby dengan sorot mata yang tak bisa diartikan dengan jelas.
“Cantik! Tapi sayang, Bocah!” gumamnya dalam hati.
“Nak Alex, ada apa?” tanya sang Nyonya rumah yang masih tetap cantik walau usianya sudah diatas 40 tahun.
“Tidak apa-apa Nyonya Winda, saya baik-baik saja.” ujar pria muda ini dengan senyum ramahnya.
Tak lama, Dion serta Ruby datang berjalan bersamaan dengan saling menebar senyum dan saling mengejek satu sama lain. Kejadian itu pun tertangkap oleh indera penglihatan pria berjas berwarna abu lengkap dengan dasi berwarna senada.
“Jika bukan karena Mommy aku tak akan dan tak ingin memakai gaun norak ini!” lirih Ruby masih dengan senyum yang dipaksakan.
“Hei, dimatamu mungkin norak. Tapi kau tahu harga gaun ini satu tahun biaya sekolah kita!”
Mata Ruby membola dan hampir keluar mendengar penuturan Dion. Gaun yang ia katai norak itu, di pesan khusus oleh Nyonya Winda untuk acara makan siang ini. Gaun yang sesuai dengan usia Ruby. Jika Ruby menganggap tak pantas lain halnya dengan mata para orang tua yang tak berkedip sama sekali memandang Ruby dari atas hingga bawah.
“Wau, kamu cantik sayang!” ujar nyonya Winda bangun dari duduknya mendekat ke arah Ruby.
“Yuk. Kita makan siang dulu, setelah itu kita baru bicarakan masalah utamanya.”
Para Pelayan berdatangan membawa makan siang dengan berbagai jenis hidangan. Dari bahan laut, sayuran serta daging.
Walau Ruby di luar dan di sekolah bersikap seenaknya. Tapi itu tak berlaku jika ia sudah dalam kondisi formal seperti ini. Ibunya, selalu mengatakan jika Ruby harus pintar-pintar membawa diri dimanapun dan bersikap sesuai tempat dimana ia sedang berada.
Pria dewasa yang sedang menikmati makanannya itu sedikit mencuri pandang, ia cukup terkesima dengan penampilan Ruby serta tata cara Ruby di meja makan. Dirinya tak menyangka jika anak perempuan dengan style sedikit urakan tadi bisa menjelma menjadi gadis manis seperti yang ada di hadapannya ini.
“Tapi dia hanyalah anak kecil sombong,” batinnya.
***
Malam di perumahan yang telah menjadi tempat tinggal Ruby selama 4 tahun ini terlihat sepi walau jam masih menunjukan pukul 8 malam. Sang Nona yang biasanya asyik ikut bersenda gurau bersama bibi serta mang Joko yang telah menemaninya di sini tak terlihat batang hidungnya.
Setelah pulang dengan raut wajah yang tak bersahabat sore tadi. Ruby tak lagi terlihat, bahkan makan malam yang disiapkan bi Mar tak disentuh sedikitpun. Teronggok begitu saja di meja depan kamarnya.
“Non Ruby, kenapa?” tanya Mang Joko.
“Dari pulang sore tadi, wajahnya sudah cemberut. Tidak tahu apa yang terjadi di kediaman Tuan besar. Tadi tuan Hadi juga menghubungiku lewat ponsel dan menanyakan, apa Non Ruby sampai di rumah dengan selamat,” tutur bi Mar.
“Tumben, telepon lewat ponsel biasanya juga lewat telepon rumah?” ujar mang Joko merasa ada yang aneh.
Bi Mar, mengedikkan kedua bahunya tanda tidak tahu.
Sedangkan di kamar atas. Gadis yang sedang menjadi perbincangan hangat mereka tengah melamun menatap bintang yang ditutupi awan mendung yang kian berkerumun dan membentuk sebuah gumpalan yang menurunkan air yang tercipta.
“Hidupku adalah milikku, itu janji mereka setelah ibu meninggal. Tapi kenapa sekarang mereka mengingkari janji yang sudah mereka buat di depan ibu yang sekarat itu.”
Ruby, menutup kedua matanya mencoba mengingat kejadian yang telah lalu. Dimana saat-saat terakhir sang ibu berada didunia ini.