Bab 8 Hadiah pertama
Satu minggu berlalu setelah kejadian sang Nyonya Besar Danubrata yang harus dilarikan ke rumah sakit karena sudah tak sanggup menahan lemah tubuhnya yang melakukan demo mogok makan demi kebebasan sang keponakan tercinta yang nyatanya tak membuahkan hasil apapun. Sang nyonya yang tadinya masih kekeh dengan pendiriannya mengenai nasib sang keponakan kini pasrah akan keputusan sang suami juga saudara iparnya yaitu ayah Ruby tuan besar Sanjaya.
Dia yang tak lagi bisa membujuk sang suami persis kala ia meminta tak melakukan perjodohan kepada anak semata wayang mereka kini hanya bisa diam menyaksikan semua hal berlaku kepada kedua remaja kesayangannya itu. Winda yang tak pernah tahu bagaimana rasanya menikah dengan orang yang tak dicintai memilih memasrahkan semua kepada takdir yang akan membawa kedua remaja itu berlabuh. Walau benar ia dan sang suami menikah melalui perjodohan namun nasib baiknya mereka saling mencintai jauh dari rencana perjodohan itu terjadi.
Sudah satu minggu ini pula, Alex yang biasanya mengganggu Ruby dengan telepon isengnya atau kedatangannya yang mendadak di kediaman Ruby nampak tak terlihat sama sekali. Apakah Ruby sedih? tidak tentu jawabannya adalah tidak. Justru ia sangat senang karena pria yang ia anggap lebih cocok menjadi pamannya tersebut tak menampakan batang hidungnya sama sekali. Ia merasa bebas, bahkan ayahnya yang sering mengomel karena ia tak mau memperlakukan Alex secara baik pun juga tak lagi mengusik Ruby dengan omelan-omelan pedasnya.
“Seneng banget Non? ada apa?” tanya Mang Joko yang melihat Ruby tersenyum sambil memandang langit yang cukup cerah hari ini.
“Seneng aja Mang, tenang, damai dan indah,” ujarnya sambil menatap langit sore di taman belakang rumahnya.
“Em.. Non,” ucap mang Joko terdengar ragu.
“Ya?” jawab Ruby menoleh ke arah mang Joko yang duduk di sebelahnya.
“Apa, Non Ruby sungguh tidak mau menerima perjodohan itu?” lirihnya.
Ruby membenahi posisi duduknya sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Mang Joko. “Memangnya kenapa, Mang? Mamang Takut diusir kalau ketahuan dukung Ruby?” celetuknya dengan senyum mengejek ke arah mang Joko.
“Bu bukan begitu, Non! mana ada begitu!” tegas mang Joko dengan senyum yang dipaksakan.
“Mang Joko tenang saja, jika ayah tidak mau meneruskan biaya pendidikan anak mang Joko dan bibi, Ruby bisa kok menangani itu semua, tenang saja!” jawabnya penuh keyakinan.
“Bukan begitu, Non. Tapi Non tahu sendirikan, tak mungkin Mang Joko menentang perintah Tuan Besar, perintahnya adalah mandat untuk Mamang, Non Ruby,” lanjut pria paruh baya itu sedikit memelas.
Gadis disampingnya menarik nafas dalam hingga terlihat dadanya yang sedikit membusung, “Ruby sedang mencoba melawan takdir, Mang. Ruby sedang memohon banyak-banyak kepada yang Maha Kuasa agar Ruby dijauhkan dari segala kesusahan yang terjadi sekarang ini. Tapi Ruby tak akan memungkiri jika takdir dan nasib justru memilih ia mendekat bukan menjauh,” mang Joko sedikit tertegun mendengar kalimat yang terlontar dari mulut yang biasanya selalu keluar kata-kata candaan atau kalimat pedas, justru kali ini kalimat bijak yang sama sekali tak pernah terdengar seumur-umur ia menjaga nona mudanya ini terucap begitu santun dan lembut.
Ruby selama ini hanya berpura-pura tak paham dia lebih suka mengikuti alur yang ayah nya buat untuk dirinya.
Gadis berusia 18 tahun itu sadar betul, para orang tua sedang melakukan tugas mereka mencarikan kehidupan yang layak untuk para putra dan putri mereka. Namun apa salahnya, jika ia juga ingin mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri terlepas dari kenyamanan keluarga besar Danubrata dan Sanjaya.
Tiga tahun ini Ruby berjuang mati-matian agar ia bisa menjadi seseorang yang bisa di banggakan oleh sang ayah sekaligus membuktikan jika dia bisa mandiri dan menghidupi dirinya sendiri dengan usaha yang ia bangun bermodalkan uang tabungan yang ibunya siapkan tanpa sepengetahuan ayahnya. Uang yang disimpan dan di atas namakan pengasuh Ruby yaitu bibi Mar menghantarkan Ruby menjadi remaja yang cukup sukses walau tak menggunakan nama besar keluarganya. Semua hal yang kini ia lakukan dan tekuni tak lepas dari saran sang ibu, Nyonya Asmitha saat masih hidup dan sehat.
Ayah Ruby tuan Rahadian hanya tahu jika Ruby sama dengan remaja lainnya, bandel, tukang menghamburkan uang dan bersenang-senang dengan kekayaan yang dimilikinya. Lalu, kenapa sang ayah yang seharusnya tahu banyak hal tentang sang putri justru bisa berpikir seperti itu?
Tuan Rahadian selama tiga tahun ini hanya tahu tentang semua yang Ruby lakukan lewat asistennya, serta dari seluruh list penarikan uang bulanan yang menjadi hak Ruby selalu ludes tanpa sisa bahkan terkadang lebih dari yang sudah sang ayah berikan padanya. Tapi, sayangnya sang ayah tidak pernah mencari tahu kemana uang-uang itu berlabuh.
“Non, ada tamu!” ujar bibi Mar yang datang sedikit tergesa. Membuat lamunan Ruby buyar seketika.
“Siapa, Bi?” tanya Mang Joko.
Bibi Mar menggelengkan kepalanya. “Tidak tahu!”
Mang Joko yang masih berada disisi Ruby ikut beranjak kala Ruby melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah menuju ke teras depan. Setibanya di depan, Ruby menghentikan laju langkahnya dan mengintip di sebalik pintu melihat siapa tamu yang datang diwaktu hampir gelap tersebut. Mata bulat itu mulai memindai seseorang yang tengah berdiri dan membawa buket bunga mawar putih lengkap dengan sebuah kotak kado yang diletakkan di meja yang ada disana.
“Selamat sore!” ujar Ruby sambil melangkahkan kakinya dan berhenti tepat di hadapan pria yang lengkap dengan jas formal dan parfum yang membuat kesan maskulin itu menguar ke indera penciuman Ruby.
“Selamat sore, Nona Ruby!” jawabnya dengan senyum yang cukup gemilang.
“Ada yang bisa dibantu, Tuan?” tutur Ruby sopan.
“Perkenalkan, saya Dewa!” ujar lelaki tersebut mengulurkan tangannya sopan kehadapan Ruby dan disambut hangat oleh gadis itu.
“Iya, lalu?” lanjutnya.
“Saya adalah asisten Pak Alexis. Saya berkunjung untuk memberikan bunga ini dan kado ini untuk Anda, Nona,” ujar Dewa.
Ruby yang mendengar nama yang tak asing lagi di telinganya itu hanya bisa mendesah pasrah. “Lalu, dimana Tuan besar mu itu?”
Dewa tersenyum sebelum akhirnya menjawab pertanyaan yang Ruby layangkan padanya. “Tuan Alex sedang ada urusan pekerjaan ke Dubai, Nona. Jadi…
“Sudah, sudah! dia mau ke Dubai, Jerman atau ke Mars sekalipun bukan urusanku, To the point saja!” potong Ruby begitu saja, membuat Dewa mengulum bibirnya.
“Saya kemari ditugaskan untuk membawakan bunga dan hadiah ini untuk Anda, sekaligus meminta maaf karena beliau tak berpamitan kepada Anda sebelum keberangkatannya ke Dubai,” tutur Dewa panjang dan lebar.
“Lalu, ada lagi?” tanya Ruby tak ingin berlama-lama.
“Mungkin besok atau lusa, Tuan Alex akan kembali ke tanah air dan akan langsung mengunjungi Anda, Nona,” lanjut Dewa. Ruby yang mendengar kalimat itu hanya bisa mengangguk dan tersenyum seadanya.
“Hilang sudah masa-masa tenang aku!” gumam gadis berlesung pipi itu.
“Iya, Nona! Anda mengatakan sesuatu?” tanya Dewa yang mendengar sedikit gumaman Ruby.
“Oh, tidak!” Ruby menggeleng dengan cepat dengan senyum yang dipaksakan.
"Kalau begitu, saya mohon undur diri Nona.”
"Baik!” Jawab Ruby sambil meraih buket mawar itu dari tangan Dewa.
Selepas Dewa pergi, Ruby mengambil kotak kado berwarna pink dengan hiasan pita di atasnya. Ia bergidik, seumur-umur baru kali ini ia menerima kado dengan kotak berwarna seperti itu. "Sepertinya si Tuan Duda belum mencari tahu tentang warna kesukaanku, atau jangan-jangan dia sengaja memilih warna ini," gumam Ruby dengan tangannya sibuk mencoba membuka tutup kado tersebut agar ia tahu apa isi di dalamnya.
"Uhuk uhuk!" Ruby tersedak salivanya sendiri kala melihat isi dari kado tersebut.
"Dia pikir aku ini apa, penari balet! dasar gila!” Ruby langsung memasukkan kembali isi dari kado tersebut ke dalam kotak dan meninggalkannya begitu saja.
Ruby berjalan menuju tangga untuk naik ke kamarnya dengan sumpah serapah yang dilayangkan kepada duda tampan dan berwibawa tersebut. Sehingga membuat seseorang yang tak ingin Ruby sebut namanya tersedak oleh minuman yang sedang ia teguk.
“Ya, ampun! bisa sampai keselek begini sih! aduh sakit tenggorokanku!”
Alex mengusap hidung serta kedua matanya yang baru saja mengeluarkan air mata karena tersedak minuman soda yang ia tenggak barusan. Tak tahu saja, jika ia sedang mendapatkan makian dari gadis yang ia pikir akan tersentuh dengan pemberiannya. Oh Alex, sungguh sial.