Bab 5 Penjelasan untuk sahabat
Mobil SUV yang keduanya tumpangi akhirnya sampai di sebuah perumahan yang Ruby tempati kurang lebih sejak ia duduk di bangku kelas 3 SMP akhir. Tepatnya beberapa bulan setelah sang ibu meninggal.
“Kamu tidak terkejut, aku tinggal disini?” kata Ruby tiba-tiba.
Alex yang siap menjawab pertanyaan Ruby kembali mengatupkan bibir tebalnya saat Ruby kembali mengucapkan kata yang membuat Alex terdiam sesaat.
“Yah, tentu anak buahmu sudah pasti mencari semua hal detail tentang aku,” ujarnya.
“Thanks, sudah mengantar!” Ruby membuka pintu mobil tanpa alex membantunya.
“Ruby!” panggil Alex.
Ruby yang siap keluar dari mobil, menghentikan pergerakannya, “hem?”
“Bisakah, aku mampir ? banyak hal yang seharusnya kita bicarakan, bukan?” pinta Alex dengan nada yang cukup serius.
Ruby melihat tatapan intens yang Alex sematkan padanya membuatnya mendengus. Bukan tak ingin membuat hal ini jelas. Tapi Ruby masih belum siap dengan kata ‘PERJODOHAN’ yang ada di antara mereka.
“Tak bisakah, lain kali saja?” ujar Ruby malas.
“Oke, bisakah kita makan malam bersama?” pinta Alex, berharap Ruby menyetujuinya.
Ruby menatap pria ini dengan menjatuhkan dagunya. Sumpah serapah sudah Ruby layangkan pada pria dewasa ini dengan segenap hati terdalamnya.
“Tidak! pulanglah, dan terima kasih sudah mengantar, dan bilang pada pak tua itu jika aku pulang bersamamu!”
“Kau takut?” cetus Alex membuat Ruby menoleh menatap tajam manik mata yang penuh dengan binar itu.
“Takut?” Ruby mengangkat kedua matanya.
“Yah, takut jika ayahmu tak mengembalikan semua fasilitas, iya kan?” cibir Alex.
“Sepertinya, asisten Anda belum mengantongi secara detail tentang ku?” seulas senyum terbit dari bibir Ruby, Seolah berbalik mencibir ke arah Alex.
Pria dewasa itu mengernyit, menatap Ruby seolah mengatakan ‘apa yang belum diketahuinya mengenai seorang Ruby.
Sedangkan Ruby sudah terbahak melihat seorang Alex yang notabene salah satu pengusaha muda yang cukup terkenal itu nampak terlihat seperti orang bodoh.
“Belajarlah lagi, wahai Tuan Alexis!”
Blub
Pintu mobil Ruby tutup dengan cukup keras membuat Alex terhenyak dan spontan menepuk dadanya karena terkejut.
“Astaga! bisa rusak pintu mobilku. Tenaga apa itu tadi. Dia perempuan atau jelmaan sih!” umpat Alex yang cukup kesal karena ia terlihat bodoh di depan seorang Ruby anak remaja yang sayangnya telah dijodohkan dengannya itu.
“Hal apa yang aku tak tahu, atau justru memang masih banyak hal yang aku tak tahu tentangnya?” Alex menggelengkan kepalanya karena ia yakin sudah sangat detail mencari tahu tentang Ruby, bahkan dari satu tahun yang lalu. Alex segera memutar setirnya untuk kembali ke perusahaan untuk meminta pertanggung jawaban sang asisten karena tak becus mencari informasi tentang Ruby. Serta sudah membuatnya tampak seperti keledai.
***
Matahari yang gagah kini telah berganti dengan bulan yang menampakan sinar kelembutan. Bintang yang bertebaran cukup membuat malam ini sangat indah dan membuat sebuah ketenangan siapapun yang memandangnya. Namun, sayangnya, kejadian alam ini bertolak belakang dengan kediaman Ruby yang malam ini cukup berisik akibat ulah kedua sahabatnya. Siapa lagi? jika bukan Jino dan Widuri.
“Kalian ngapain sih kesini, ngabisin makan malam aku aja!” sarkas Ruby.
“Ya ampun, By! pelit amat sih, Bibi Mar saja dengan sangat ikhlas ngasih ke kita, ya nggak Jin?” Jino mengangguk seraya menelan makanan yang cukup penuh itu ke dalam tenggorokannya.
“Sekarang nggak usah bahas makanan, kita kesini karena mau tahu tentang om-om tamvan tadi siang?!” tutur Widuri memicingkan matanya melirik ke arah Ruby.
Ruby yang mendengar itu seketika menghela nafas panjang. Tentu saja kedua sahabatnya ini tak mungkin menahan diri tentang apa yang terjadi tadi siang, mereka pasti akan bertanya dengan segera karena Jino tahu betul, Alex bukanlah salah satu kerabat Ruby.
“Kita ngobrol di kamar saja. bawa cemilan kalian, jangan ngerepotin Bibi Mar!” tegas Ruby.
“Kita ke atas dulu ya, Bik!” ucap Jino tersenyum ramah kepada art yang sudah Ruby anggap sebagai orang tua itu.
“Iya Mas!” balas bibi Mar.
Jino serta Duri mengambil cemilan yang sudah bibi Mar siapkan dan langsung menyusul Ruby ke kamarnya yang berada di lantai atas. Kamar yang cukup luas walau tak seluas kamar yang ada di rumah mewah sang ayah, namun Ruby lebih nyaman berada di kamar ini. Karena bagaimanapun kenangan bersama sang ibu cukup banyak di kediaman ini.
Sesampainya di dalam kamar, Ruby menuju balkon kamarnya dan membuka pintu kaca yang ada disana lebar-lebar. Sebelum mengatakan sebuah kebenaran kepada dua sahabatnya Ruby lebih dulu menghirup udara luar dengan rakusnya.
“Dia, calon suami yang dipilihkan Ayahku!”
“Prang!”
Toples yang Jino pegang seketika terjatuh mendengar kalimat yang Ruby utarakan secara mendadak itu. Duri yang juga terkejut membulatkan matanya hingga berkedip berkali-kali.
“Are you serious!” ujar Jino dan Duri bersamaan.
“Hah!” Ruby meloloskan udara yang begitu sesak menyelimuti dadanya.
“Tanyakan itu pada Ayahku!” ucap Ruby.
“Tunggu aku beresin ini dulu, jangan lanjutin ceritanya tanpa aku!”
Ruby serta Duri hanya menggelengkan kepalanya. Jino selalu begitu jika terkejut jika tak menjatuhkan sesuatu pasti menabrak sesuatu. Teledor, satu kata yang selalu terucap dari bibir dua wanita kesayangannya itu.
Setelah Jino menyelesaikan kekacauan yang ia buat, ia kembali dengan cemilan baru dan langsung meletakkannya di atas meja agar tak ia jatuhkan kembali.
“Lanjutkan!” kami akan mendengar dengan seksama,” cetus Jino.
“Satu bulan lalu, masih ingatkan saat aku mengatakan akan kerumah Dion karena Mommy Winda memintaku berkunjung kesana?” Jino dan Duri mengangguk.
“Disana, aku bertemu dengan Om-om itu. Tadinya aku pikir mungkin dia salah satu tamu dari Om Aswan. Tapi setelah selesai makan siang tiba-tiba, Ayahku memperkenalkan pria itu sebagai calon suamiku.”
Jino dan Duri menatap iba kepada Ruby, mereka tahu betul bagaimana Ruby selama ini berjuang mati-matian agar bisa hidup mandiri dan terbebas dengan segala aturan keluarga besarnya. Jika Dion lebih memilih menurut namun tidak dengan Ruby. Ruby memilih jalannya sendiri setelah ibunya meninggalkan dia untuk selama-lamanya. Apa lagi, sang ibu juga tak mendukung tentang perjodohan yang sudah keluarga mereka lakukan secara turun temurun itu terhadap Ruby sang anak.
“Lalu? kamu menyetujuinya?” tanya Duri sambil mengusap lengan Ruby mencoba menguatkan gadis itu.
“Tentu saja jawabanku, TIDAK!” kekeh Ruby.
“Tapi tak mungkin Ayahmu membiarkan keinginan itu begitu saja, bukan?” timpal Jino.
“Semua fasilitas dia ambil semua, dari kartu hingga mobil kesayanganku. Hanya motor itu saja tersisa.” Duri langsung menubruk Ruby dan memeluknya erat, ia tahu bagaimana perasaan Ruby sekarang ini. Walau dia tampak biasa saja, tapi hatinya tentu sangat tertekan.
“Apa kamu perlu bantuanku?” tanya Jino meletakkan tubuhnya di samping dua wanita yang sedang saling memeluk itu.
“Aku rasa, aku bisa menyelesaikan ini sendiri dengan caraku,” Ruby tersenyum menatap Jino berusaha tetap tegar agar tak membuat kedua sahabatnya ini terlalu mengkhawatirkannya.
Tak ingin terus menerus mengingat perjodohan yang membuatnya sesak. Ruby melanjutkan obrolan dengan menanyakan tentang bisnis yang ia jalankan bersama dengan Jino yaitu bengkel khusus motor besar atau biasa kita dengar dengan MOGE.
“Semua baik. Seperti laporan yang aku kirim minggu lalu, sesekali kesana By. Anak-anak pasti senang jika melihatmu.”
“Aku pasti kesana, tapi mungkin akhir-akhir ini aku akan sedikit sibuk di kafe. Kemarin aku mendapat laporan jika ada yang bermain curang dengan bahan-bahan yang ada di gudang. Dan Diva memintaku untuk menghandle seluruh pekerjaan itu sampai semua kembali teratur dan menemukan siapa yang melakukan kecurangan,” tutur Ruby.
“Wah, cari mati nggak sih!” pekik Duri kesal mendengar ucapan yang Ruby utarakan.
“Jangan kesel-kesel aja, makanya mau kalau aku minta jadi bos disana!” Ruby mendorong tubuh Duri yang masih bergelayut di lengannya.
“Bukan nggak mau By, tapi yang ada aku nggak bisa fokus buat kejar beasiswa aku ke Jerman dong!”
“Loh, jadi?” tanya Jino mengarah pada Duri.
“Jadi lah! udah daftar susah payah, masa iya aku nggak serius, Jino!” memukul lengan Jino sampai membuat Jino mengaduh.
“Biasa aja bisa nggak sih! kalian kalau main fisik selalu ninggalin bekas,” Jino mengusap lengannya yang sedikit terasa sakit. Namun sayangnya Duri tampak biasa saja tak merasa bersalah sedikitpun, karena hal ini sudah sering terjadi di antara mereka. Bahkan Jino pernah mengalami hal yang lebih ekstrim daripada ini.
Saat mereka sedang asyik bersenda gurau, tiba-tiba ponsel Ruby berdering dan terlihat sebuah nomer asing disana.
“Siapa?” tanya Jino yang melihat Ruby mengernyitkan dahinya.
“Nggak tahu, sebentar!” Ruby berjalan ke arah balkon dan menggeser tombol hijau di layar ponselnya.
“Halo?”
Suara tawa sedikit nyaring terdengar dari seberang sana. “Halo, calon istri kecilku!”
Ruby langsung melihat nomor yang tertera di sana. Dan, dia baru mengingat jika nomor itu yang menghubunginya tadi siang. “Ck, ngapain sih?” kesal Ruby.
“Saya cuma mau mengingatkan kamu, jika mulai besok pagi kita akan berangkat ke kantor dan kesekolah bersama-sama.”
“What?!” you are kidding, this isn’t funny?” pekik Ruby.
“No, I am serious! and your Dad is serious too!”
“I don't need my dad, and you don't seem to get along with me. understand?”
Tut!
Panggilan Ruby putus secara sepihak sebelum pria sok itu melanjutkan percakapan yang tak berfaedah sama sekali bagi Ruby.
“Ayah, kamu melewati batasmu!” cicit Ruby dengan gigi yang bergemeretak.
“Ada apa?” tanya Jino yang melihat Ruby tampak sangat kesal.
“Om-om gila itu, mulai mengatur kehidupanku. Dia mau, kita sama-sama berangkat dalam satu mobil,” tutur Ruby dengan kilatan amarah yang siap ia ledakkan kapanpun.
“Mulai besok, kamu berangkat bersamaku saja. Aku akan datang lebih pagi dari om-om kegatelan itu!” tutur Jino sambil memegang pundak Ruby lembut.
“Iya By, aku setuju. Aku rasa jika sendiri kamu tidak akan mungkin bisa melawan bodyguard ayah dan om-om itu, tapi jika dengan Jino pasti bisa,” Duri mencoba menguatkan Ruby dengan ide cemerlangnya.
“Lalu, apa tugasmu?” tanya Jino meremehkan.
“Tugasku? belajar lah! apa lagi!” ucapnya jumawa.
“Hah!!”
Jino dan Ruby menghela nafas mendengar penuturan Duri. “Lalu untuk apa kamu mempelajari bela diri itu, Widuri!” sarkas Jino dan Ruby bersamaan.
“Tentu saja untuk bekal, jika suatu ketika ada hal-hal mendesak yang mengharuskanku melakukan perlawanan secara fisik, apa lagi!” Tekan Duri pada setiap kalimat yang terlontar dari mulut manisnya itu.