Bab 5 Kejutan untuk Elena
Terus begitu....
Alex tidak melepaskannya dan terus melakukan pelepasan.
Entah berapa kali.
Yang jelas, Elena merasakan tubuhnya kedinginan dan hanya tertutupi selimut sutra marun di pagi hari.
Pria itu sudah tidak ada di sampingnya, padahal waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi. Elena terlalu lelah untuk bisa menyadari kepergian Alex, karena semalam pria dingin itu menyerangnya tanpa ampun.
Elena segera bangun, kemudian menyadari tubuh bagian bawahnya nyeri. Untuk seseorang yang baru pertama kali mengalaminya, semalam benar-benar jauh dari kata romantis. Elena menghubungi pelayan melalui intercom agar disiapkan sarapan dan segelas teh bunga krisan hangat.
Setelah selesai bersiap, Elena menuruni satu-persatu anak tangga secara perlahan karena kakinya terasa lemas. Namun dia harus tetap bekerja, juga menemui ibunya untuk membahas hal yang tak sengaja dia dengar kemarin. Ketika Elena sudah sampai di ruang makan, dia sempat tertegun sejenak saat melihat seorang anak kecil perempuan berusia 7 tahun, dengan seragam lengkap tengah mengunyah sandwich.
Anak kecil berambut kemerahan itu menyadari keberadaan Elena. Dia mengangkat kepala dan mengarahkan pandangannya pada Elena. Wajahnya sama sekali tidak ramah. Cenderung ketus, seperti ingin muntah saat memandang Elena.
“Papa tidak ada di sini,” ucap anak itu, masih ketus.
Elena berjalan mendekat. Papa?
“Apa kamu lihat-lihat?” Anak itu menyalak, mirip anjing galak.
Meski wajahnya tidak ramah, namun anak perempuan itu sangat cantik. Rambut panjang berwarna coklat kemerahan dengan mata hijau. Mengingatkan Elena pada seseorang. Pada—
“Papa?” Elena mencoba menegaskan untuk dirinya sendiri.
“Kamu ke sini karena mencari Papa, kan? Papa sudah berangkat kerja!” Anak itu makin meninggikan suaranya. Dia bahkan sudah tak sudi melanjutkan sarapan. Seakan Elena adalah sebuah momok yang membuatnya mual.
“Oh, selamat pagi Nyonya Elena,” sapa Vero.
Seorang pelayan di belakang Vero bergegas menarik salah satu kursi agar Elena bisa duduk. Dan satu lainnya meletakkan sarapan request Elena di depan Elena yang sudah duduk.
Elena tidak menjawab sapaan Vero. Melainkan menatap kepala pelayan itu dengan banyak pertanyaan.
“Aku harus pergi, Bibi Vero! Panggilkan supir!” seru si anak perempuan. Dia meraih tasnya, tak lupa melirik Elena penuh kebencian.
Setelah anak itu pergi, Elena langsung menghela nafas. Menghadapi seorang anak kecil saja bisa cukup menegangkan seperti ini. Elena menggerutu dalam hati, apakah semua penghuni mansion ini senang mengintimidasi?
“Dia Sophia Blackwood, Nyonya Elena,” tukas Vero tiba-tiba. Seakan tahu kebingungan Elena. “Apakah Tuan Alex tidak menceritakan tentang Sophia pada Anda?”
“Dia … anak Alex?” tebak Elena, tidak percaya.
“Anak kandung Tuan Alex,” timpal Vero. “Maafkan Sophia jika perlakuannya tidak ramah pada Anda, Nyonya,”
Elena mengerjap, mencoba menyembunyikan rasa terkejutnya di depan Vero. Pria yang baru saja dinikahinya—yang tampak begitu muda di usia 32 tahun ternyata adalah seorang duda. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Alex—dengan segala kesempurnaannya ternyata pernah bercerai dan memiliki seorang anak. Kenapa aku sama sekali tidak tahu tentang ini?
“Lalu … dimana ibu Sophia? Kenapa dia tinggal di sini?” Elena mencoba untuk kembali waras.
Mendengar pertanyaan ini, raut wajah Vero seketika berubah. Tidak seperti sebelumnya yang tampak tenang dan sabar menjawab apapun pertanyaan Elena. Dia bahkan melipat wajah, seperti menghindari tatapan Elena.
“Untuk hal itu … maafkan saya karena itu bukan wewenang saya untuk menjawab, Nyonya,” tolak Vero, begitu halus. Namun mengecewakan Elena.
Maka karena sudah yakin Vero tidak akan menjawab meski didesak oleh Elena, dia pun memutuskan untuk berangkat kerja. Mencoba untuk mengesampingkan fakta tentang Sophia Blackwood sejenak.
***
Elena menghela napas panjang saat dia berdiri di depan pintu kantor ibunya di Latham Holdings. Dia masih teringat dengan percakapan antara ibunya dan Alex yang dia dengar kemarin. Hatinya dipenuhi dengan berbagai macam emosi dan sedikit rasa pengkhianatan. Dia harus tahu mengapa ibunya, Lidya setuju dengan perjanjian itu tanpa memberitahunya terlebih dahulu.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Elena mengetuk pintu sebelum membukanya perlahan. Di dalam ruangan, ibunya sedang duduk di balik meja besar dengan tumpukan dokumen di sekitarnya. Ketika melihat Elena, Lina mengangkat kepalanya lantas tersenyum tipis. Meskipun ada rasa terkejut yang jelas di matanya.
Elena melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Dia menatap ibunya dengan dada bergemuruh, ingin segera meluapkan emosi.
“Kenapa Mama setuju menikahkanku dengan Alexander Blackwood?” tembak Elena, tanpa basa-basi. “Kenapa Mama tidak memberitahuku sebelumnya? Apakah ini semua hanya tentang menyelamatkan perusahaan?” cecar Elena.
Lina menarik napas panjang. Dia meletakkan penanya dan mengusap wajah dengan kedua tangan, seakan mencoba menghapus beban. Dia tahu bahwa Elena suatu hari pasti akan datang, menuntut penjelasan padanya.
“Latham Holdings berada di ambang kehancuran. Kreditur mulai menekan dan kita hampir tidak punya waktu lagi. Alexander Blackwood datang dengan tawaran yang bisa menyelamatkan kita, menyelamatkan perusahaan papamu. Aku tidak punya pilihan lain,” jelas Lina, sebisanya.
Hidung Elena kembang-kempis, masih berusaha menahan emosi. Ada rasa marah, kecewa, tapi juga sedikit pengertian. Dia tahu betapa pentingnya perusahaan ini bagi keluarganya, betapa keras usaha ayahnya dulu untuk membangun Latham Holdings. Tapi tetap saja, rasa diabaikan dan diatur oleh keputusan sepihak begitu menyakitkan.
“Kamu boleh membenciku sesukamu, Elena,” ucap Lina. Wajahnya begitu putus asa. “Kelak jika aku mati nanti, perusahaan ini akan tetap menjadi milikmu. Sama seperti sekarang. Aku memperjuangkan semuanya hanya untukmu,”
“Aku pasti bisa menyelamatkan perusahaan ini tanpa bantuan Alex,” sahut Elena cepat.
Lina menahan nafas dengan tatapan serius pada Elena. “Apakah dia menyakitimu?”
Elena terkesiap mendengar pertanyaan itu. Lantas kepalanya memutar memori semalam. Yang tidak romantis, tapi cukup membuat hati Elena berdesir saat mengingatnya. Mengingat siluet tubuh Alex, aromanya, dan—
“Tidak!” seru Elena. Tanpa sadar nadanya sedikit meninggi. Seperti mencoba mengusir pikiran kotor dalam otaknya.
“Elena, dengarkan aku,” Lina kini berjalan mendekati Elena. Dia merangkul tubuh anak tunggalnya itu. “Setelah Alex benar-benar menepati semua janjinya. Setelah perusahaan ini bisa bangkit, aku akan mencari cara untuk membantumu lepas dari Alex. Paham? Kamu bisa percaya pada Mama,”
Ide melepaskan diri dari Alex cukup menarik. Namun sebagian hatinya sedikit kecewa dan menolak.
“Kita lihat saja nanti, Ma,” timpal Elena. “Mama jangan pernah lagi memutuskan apapun tanpa berdiskusi denganku,”
Lina tersenyum dan mengangguk setuju. Suasana tegang diantara mereka akhirnya mencair. Lantas keduanya berpelukan erat, setelah beban di pundak masing-masing menguap akibat pernikahan Elena dan Alex.
“Ma, apa Mama tahu kalau Alex itu seorang duda?” tanya Elena, melepas pelukannya.
Lina mengerjapkan mata beberapa kali. “Dia memang duda, kan? Semua orang tahu itu,” jawab Lina. “Apa kamu tidak tahu, El?”
Elena mengumpat dalam hati. Tentu saja dia tidak tahu. Usianya dan Alex terlampau jauh dan jika bukan karena ayahnya meninggal, Elena tidak mungkin mengurus perusahaan. Tentu saja dia tidak akan tahu tentang gosip keluarga Blackwood, bahkan perceraian Alex.
“Siapa istri … maksudku mantan istrinya?”
Lina diam sejenak, untuk berpikir. “Namanya … “ Dia berhenti sejenak. “El, kenapa kamu tidak cari tahu langsung di internet. Suamimu itu cukup terkenal, kamu tahu itu,”