Bab 6 Sophia Blackwood
Setelah berbincang beberapa lama dengan ibunya, Elena memutuskan untuk kembali ke ruangannya sendiri. Dalam perjalanan, dia tak henti mengumpati dirinya sendiri. Merasa bodoh karena tidak pernah terpikirkan untuk mencari identitas Alex di internet. Seorang CEO Blackwood Industries pasti cukup banyak diperbincangkan dan pernikahan Alex sebelumnya.
Elena duduk di kursi ruangannya, dengan jari-jari gemetar saat melayang di atas keyboard laptopnya. Ruang CEO milik ayahnya yang kecil dan sederhana tampak lebih sunyi daripada biasanya, seolah menyerap setiap suara yang muncul. Di luar, suara hiruk-pikuk kantor terdengar samar, tetapi di dalam ruangan ini, hanya ada ketegangan yang menggantung di udara.
Dia menatap layar laptop, menimbang apakah dia benar-benar ingin tahu masa lalu Alex. Mengetahui bahwa Alex adalah seorang duda dengan seorang anak berusia tujuh tahun sudah cukup mengejutkannya. Namun, ada sesuatu yang lebih mengganggu Elena—rasa penasaran tentang pernikahan Alexander sebelumnya.
Dengan napas yang dalam, Elena akhirnya mengetik nama Alexander Blackwood di mesin pencarian, diikuti dengan kata "wife" dan "marriage." Jantungnya berdetak lebih cepat saat dia menekan tombol "enter." Dalam hitungan detik, layar laptopnya dipenuhi dengan berbagai artikel, foto, dan berita lama tentang Alexander dan pernikahannya dengan seorang wanita berambut pirang. Tapi yang lebih menarik perhatian Elena adalah tajuk-tajuk berita yang mengiringi foto-foto itu.
Pernikahan Megah Alexander Blackwood dan Tabitha Hill
Pasangan Paling Berpengaruh di Riverton
Alexander dan Tabitha: Romansa yang Berakhir dengan Perceraian Mengejutkan
Namun, ada satu artikel yang menarik perhatiannya. "Tabitha Hill Blackwood Meminta Hak Asuh Penuh atas Putri Mereka, Sophia." Artikel itu mengungkapkan bahwa setelah perceraian, Tabitha mencoba merebut hak asuh Sophia dari Alexa, menuduhnya sebagai ayah yang tidak layak dan terlibat dalam praktik bisnis ilegal. Tuduhan ini tampaknya tidak pernah terbukti di pengadilan, tetapi cukup untuk membuat reputasi Alex sedikit ternoda di mata publik.
“Jadi ini alasannya menikahiku?” Elena bertanya pada dirinya sendiri. Begitu keras.
***
Elena tahu dia tidak bisa terus memikirkan artikel-artikel lama tentang Alex seorang diri. Atau kepalanya akan meledak. Maka saat jam istirahat, Elena memutuskan untuk bertemu dengan sahabatnya, Lidya di sebuah cafe yang letaknya tepat di titik tengah antara kantor Latham Holdings dan Blackwood Industries—Lidya bekerja di sana.
“Aku tahu maksudmu mentraktirku makan siang,” tukas Lidya. “Kamu ingin pamer karena berhasil menikahi bosku, kan?”
Elena melotot. “Kamu pikir, menikah dengan orang yang sama sekali tidak kamu kenal itu menyenangkan, hah?”
“Dia tampan! Aku mau tukar posisi denganmu,” seloroh Lidya sembarangan. Dia tertawa geli setelah mengatakan ucapan tak masuk akal itu.
Keduanya lantas tertawa bersama. Setidaknya beban Elena sedikit terangkat setelah tertawa bersama Lidya.
“So, ada yang bisa kubantu, Nyonya Blackwood?” goda Lidya.
“Hentikan,” Elena buang muka. “Aku benar-benar serius, Li,”
Lidya menarik kursinya agar makin dekat dengan Elena. Meski terus tertawa, Lidya tidak pernah melewatkan sedikit pun cerita Elena. Meski terkadang hal yang diceritakan Elena cukup konyol.
“Seorang wanita menyerangku, di malam pertama aku ada di rumah Alex,” terang Elena. “Kurasa dia adalah mantan istri Alex, Tabitha Hill,” Untuk yang ini, Elena sengaja bicara pelan.
“Ah!” Lidya berseru. “Jadi kamu diteror oleh wanita itu?”
“Wanita itu?” ulang Elena. “Kamu kenal?”
“Tentu saja! Dia mantan istri bosku,” seru Lidya. Wajahnya berubah kesal. “Dia … wanita yang sangat menyebalkan,” Lidya melipat tangan, sambil meringis kesal saat mengingat tabiat Tabitha. “Bagaimana dia menyerangmu?”
“Malam itu dia bersembunyi di balkon. Lalu tiba-tiba melompat dan hilang begitu saja tanpa jejak,”
Lidya mengerutkan kening mendengar cerita Elena. “Kamu yakin dia hilang begitu saja?”
“Sangat yakin!”
“Kamu sudah yakin, tidak ada yang membantunya masuk?”
Deg! Pertanyaan Lidya yang terakhir membuat jantung Elena mencelos. Dia sama sekali tidak terpikirkan akan hal itu.
“Menurutmu, apa mungkin mansion Blackwood tidak dijaga dengan ketat? Atau bagaimana mungkin dia bisa naik ke balkon tanpa tangga? Bukankah itu semua janggal, El?” Lidya mulai mengeluarkan segala kecurigaannya. Membuat Elena makin kaku tak bergerak.
“Jadi … dia sengaja menyerangku … dengan bantuan seseorang?”
“Exactly!” seru Lidya, menepuk tangan satu kali. Matanya melotot, begitu puas setelah hipotesisnya diterima Elena. “Ada seseorang yang ingin mengganggu pernikahanmu, El. Dan orang itu adalah Tabitha,”
“Kenapa dia melakukan itu? Bukankah dia sudah bercerai dari Alex?”
Lidya angkat bahu. “Kurasa dia wanita psycho. Sepertinya dia juga belum bisa move on dari mantan suaminya,”
***
Elena menghela napas panjang saat dia akhirnya memasuki pintu depan mansion Blackwood. Hari ini terasa begitu panjang dan melelahkan, dengan begitu banyak informasi baru tentang Alex dan Tabitha yang mengganggu pikirannya. Dia hanya ingin beristirahat, menenangkan diri, dan sebisa mungkin menghindari bertemu dengan anggota Blackwood yang lain. Tapi harapan untuk malam yang tenang segera sirna saat dia melihat Sophia berdiri di ujung tangga dengan ekspresi wajah yang penuh kemarahan.
Sophia, gadis kecil berusia tujuh tahun dengan rambut ikal kemerahan dan mata hijau tajam seperti ayahnya, menatap Elena dengan pandangan penuh amarah. Sebelum Elena sempat mengeluarkan satu kata, Sophia berlari menuruni tangga dan berhenti tepat di depan Elena. Bahkan gadis itu menudingkan jarinya ke arah wajah Elena.
"Ini semua salahmu!" teriak Sophia, suaranya melengking dan bergetar. "Kamu penyebab Papa dan Mama bercerai! Karena kamu, Mama pergi!"
Elena terkejut. Dia mundur selangkah dan menatap Sophia dengan mata terbuka lebar. Kata-kata anak kecil itu seperti pisau tajam yang menusuk hatinya. Dia tahu pernikahannya dengan Alex cukup tergesa-gesa, tetapi dia tidak pernah menyangka akan disalahkan oleh seorang anak kecil yang jelas tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.
“Sophia, dengar …” Elena mencoba menjelaskan dengan suara lembut. Bahkan menunduk agar sejajar dengan mata gadis kecil itu.
"Kamu bohong!” jerit Sophia. “Papa dulu tidak pernah sedih sebelum kamu datang! Mama juga dulu selalu di sini. Sekarang semuanya hancur, dan itu karenamu!"
“Sophia, aku turut bersedih atas perceraian papa dan mamamu,” Elena berbisik, mencoba menenangkan gadis kecil itu meskipun tahu usahanya mungkin sia-sia.
Sophia tetap diam. Air mata mengalir di pipinya. Kemudian dia berbalik dan lari menaiki tangga, meninggalkan Elena sendirian di ruang tamu besar yang tiba-tiba terasa sangat dingin dan sunyi.
“Ada apa?” tegur Alex, yang sudah berdiri di belakang Elena.
Melihat Alex, dada Elena bergemuruh marah. Setelah baru saja dimaki habis-habisan oleh seorang anak kecil atas kesalahan yang bahkan tidak dia tahu, kini Alex muncul dengan wajahnya yang dingin dan tanpa ekspresi.
“Apakah kamu senang?” hardik Elena. “Kamu tidak pernah menceritakan tentang pernikahan kita pada putrimu?”
“Kenapa kamu membawa nama Sophia?”
“Dia menyalahkanku!” seru Elena. “Aku bahkan baru tahu jika kamu punya seorang anak dan pernah bercerai. Dan sekarang aku disalahkan,”
Alex melonggarkan ikatan di dasinya. “Kutunggu di kamar pengantin. Dalam lima belas menit,” ucap Alex. Kemudian pria itu berlalu begitu saja meninggalkan Elena.
Tunggu, apa dia harus melayani pria itu lagi?!