Bab 11 Sisi Gelap Alex
“Dia tidak benar-benar ada di rumah sakit jiwa, kan?” Seruan Elena menyeruak. Ketika Alex sudah berdiri dan hendak beranjak dari restoran itu.
Mau tak mau Alex berhenti. Dia menoleh, memandang Elena dengan tatapannya yang dingin.
“Apa maksudmu?” Alex justru balik bertanya.
Elena mendongak. Dia masih duduk di tempatnya, meneguk tetes terakhir dari anggur yang masih tersisa.
“Dia tidak ada di rumah sakit jiwa,” ulang Elena. “Dia baru saja meneleponmu,”
Alex sejenak diam. Dengan mata seakan tak berkedip saat memandang Elena. Dengan satu kali helaan nafas, Alex memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.
“Kamu melihat ponselku?” tebak Alex.
“Ada nama Tabitha,” sambar Elena. “Bukankah dia sudah jadi mantan istrimu? Kenapa dia meneleponmu?”
“Dia ibu Sophia,” Nada Alex merendah. Dia hanya tidak ingin menjadi pusat perhatian.
“Kenapa kamu bilang dia di rumah sakit jiwa?”
“Dia memang di sana,” Alex memejamkan mata satu detik. Lantas kembali duduk sambil mengeluarkan ponselnya. “Mari kita hubungi nomor itu,”
Alex sengaja menyerahkan ponselnya pada Elena, ketika dia melakukan sambungan telepon ke nomor Tabitha yang sebelumnya menghubungi.
“Selamat pagi, Tuan Blackwood?” sapa seseorang di seberang. “Kami masih berusaha membuka rekaman CCTV untuk melihat kejadian tadi malam. Jika kami sudah menemukan keberadaan Nyonya Hill, kami akan menghubungi Anda,”
Penjelasan di seberang telepon terdengar begitu formal. Elena sampai tidak bisa berkata-kata.
“Aku sengaja memberi nama Tabitha untuk rumah sakit tempat dia dirawat,” aku Alex. “Wanita itu kabur tadi malam,”
“Kabur? Bagaimana … “
“Sebaiknya jangan pernah mencari tahu apapun,” sambar Alex cepat. Dia tidak memberi kesempatan Elena untuk bicara. “Kamu adalah istriku sekarang, dimana segala sikapmu akan diawasi. Jangan sampai rasa ingin tahumu yang sia-sia itu membuat reputasiku buruk,”
Elena tercekat. “Sia-sia, eh?” Dia ulang ucapan Alex yang tajam itu.
Alex melirik jam di tangan, lantas pergi tanpa pamit pada Elena. Tidak ada sikap yang menunjukkan bahwa mereka berdua adalah suami istri.
***
Sejak makan siang dengan Alex di La Pergola, pikiran Elena terus dihantui oleh nama yang muncul di ponsel suaminya—Tabitha. Meski Alex sudah membuktikan sendiri jika nama itu hanya sekedar nama—ternyata rumah sakit tempat Tabitha dirawat, tapi Elena tetap merasa ada yang janggal.
Elena mengendarai mobil Maserati-nya menuju Latham Holdings dengan kecepatan lambat. Segala hal tentang Tabitha, membuat pikirannya kacau hingga tidak bisa berpikir tenang. Harusnya Elena lebih fokus pada pekerjaannya di kantor, daripada berfokus pada seorang wanita yang katanya sakit mental. Benarkah Tabitha sakit? Elena juga tidak tahu jawabannya.
Lidya : Kamu kemana, Nyonya Blackwood?
Elena tertawa lirih mendengar suara Lidya di seberang, yang terdengar mengejek.
Elena : Kenapa mencariku?
Lidya : Kamu pulang jam berapa hari ini? Ayo kita makan malam bersama!
Beruntung, panggilan telepon dari Lidya sedikit banyak bisa melegakan pikirannya.
Lidya : Jemput aku pakai Maserati-mu!
Tawa Elena tak terbendung. Lidya selalu bisa mengucapkan hal-hal konyol diluar dugaan, yang selalu berhasil membuat Elena tertawa. Hidup bersama Alex terasa tidak begitu buruk jika mendengar segala celotehan Lidya.
Saat mobil berbelok ke kiri, tiba-tiba sebuah truk besar dari arah berlawanan kehilangan kendali dan berbelok langsung ke jalur mobil Elena. Dia tersentak panik, tangannya menggenggam erat setir, dan kakinya refleks menginjak rem. Maserati-nya berdecit tajam, nyaris terpelanting keluar jalur, tetapi untungnya dia berhasil mengendalikan mobil tepat waktu.
Jantung Elena berdegup kencang saat truk itu menjauh, meninggalkan kepulan asap di belakang. Nafasnya masih terengah-engah, sadar betapa tipis jaraknya dari kecelakaan yang bisa merenggut nyawanya.
Beberapa menit setelah hampir tertabrak, ponselnya tiba-tiba berdering. Nomor tak dikenal muncul di layar, membuatnya ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkatnya.
"Halo?" Suara Elena bergetar.
"Jika kau tahu yang terbaik untukmu, tinggalkan Alex. Sebelum terlambat,"
Elena membeku. Suara itu terdengar dingin.
"Siapa ini?" tanya Elena, dalam hati dipenuhi ketakutan.
“Ini peringatan terakhir. Pergilah sebelum kau bernasib sama seperti Tabitha," Suara itu terdengar tajam.
Sebelum Elena bisa merespon, panggilan itu terputus. Tangan Elena sampai gemetar saat dia menatap layar ponselnya. Dia diam sejenak di dalam mobil, dengan pikiran kalut. Sampai-sampai membenamkan wajahnya di atas setir Maserati-nya.
Tok, tok!
Kaca mobil Elena diketuk dua kali. Dia sampai melompat karena masih merasa ketakutan. Di kaca muncul sosok Lidya dengan wajah bingung. Elena bisa bernafas lega, dan segera membuka mobil.
“Kamu kenapa, El?” tanya Lidya cemas. “Kukira kamu belum datang, ternyata di parkiran,”
“Kenapa kamu di sini?” Elena mengalihkan topik.
“Ada urusan pekerjaan,” Lidya mengangkat berkas tebal yang dia bawa. “Aku datang menemui ibumu,”
Elena bergegas mengambil tas dan turun dari mobil. Dia berjalan cepat beriringan dengan Lidya.
“Apa tujuanmu ke sini?”
“Atas perintah Adrian. Kamu mengenalnya, kan?”
Elena menatap Lidya sekilas. “Ya, dia pria menyebalkan,”
“Benar,” sahut Lidya, mengacungkan jempol. “Meski usianya 28 tahun, tapi secara hukum dia adikmu sekarang,”
Elena memutar bola mata. “Apakah itu penting untuknya? Kurasa tidak. Semua keluarga Blackwood gemar mengintimidasi,”
Lidya menghentikan laju kaki Elena. Dia menatap sahabatnya itu dengan tatapan serius. Lantas melakukan high five, dengan gerakan lambat dan tanpa senyum.
"Blackwood sedang merencanakan penggalangan dana besar-besaran dalam waktu dekat. Kami membutuhkan Latham Holdings untuk memperkuat beberapa proyek infrastruktur yang sedang berjalan. Adrian merasa, dengan bantuan finansial dari Blackwood, Latham Holdings bisa menstabilkan posisi di pasar," Panjang lebar Lidya menjelaskan pada Elena, dalam perjalanan mereka ke lantai atas kantor Latham tempat Lina berada.
“Oh, ya?” Elena sampai membelalak. “Kenapa bosmu itu antusias sekali membantu kami?”
“Alexander, kau tahu. Karena dia sudah menukar pernikahan kalian dengan aliansi bisnis ini, kan?”
Obrolan mereka terpaksa berhenti saat pintu lift terbuka dan ruangan Lina nampak di depan. Meski Elena menempati ruangan CEO—ayahnya, namun Linalah yang memegang posisi sebagai CEO Latham Holdings.
“Aku akan meneleponmu nanti,” Lidya membuat gerakan di tangan, memberi isyarat telepon pada Elena.
***
Elena menghela napas, mencoba mengusir rasa lelah yang mulai menyergap setelah seharian bekerja di kantor. Dia menatap jalanan di depan, mengemudi menuju restoran tempat dia akan bertemu Lidya untuk makan malam. Matanya sesekali melirik ke kaca spion, memastikan jalan di belakangnya tetap aman. Hingga akhirnya dia melihat sebuah mobil hitam besar mengikuti di belakangnya. Mobil itu bergerak dengan kecepatan yang sama, menjaga jarak cukup dekat namun mencoba untuk tidak tampak mencurigakan.
“Siapa?” gumam Elena pada diri sendiri.
Awalnya dia mencoba mengabaikan, meyakinkan diri bahwa itu hanya kebetulan. Namun, saat dia mengambil beberapa belokan menuju pusat kota, mobil hitam itu tetap di belakang, tak pernah terlalu jauh, namun juga tidak terlalu dekat. Hawa dingin menjalar di tengkuk Elena, membuatnya semakin gelisah.