Bab 10 Mulai Takut
“Nyonya Elena?” panggil Vero, sudah ada di belakang punggung Elena.
Elena sampai terperanjat karena tidak menyadari kehadiran Vero. Dia menoleh, sedikit gagap.
“Sopir bilang, mobil Anda sudah siap,” Vero melanjutkan. Dengan sedikit rasa bersalah, karena sudah membuat Elena terkejut.
“Dimana Alex?”
“Tuan—” Vero berhenti bicara. “Anda tentu tahu, Tuan Alex sudah pergi sejak tadi pagi,”
“Kenapa dia selalu menghindariku di pagi hari?” Ucapan Elena begitu kesal. Sejak mereka menikah, Elena memang tidak pernah bertemu Alex di pagi hari.
“Maafkan saya, Nyonya,” sesal Vero. Meski dia tentu tidak salah.
Elena tidak ingin membiarkan kekesalannya, merusak mood di pagi hari. Dia harus bekerja, demi kemajuan Latham Holdings. Maka dia pun bergegas pergi, untuk mengambil mobil Maserati pemberian Alex yang sudah disiapkan di halaman depan mansion besar itu.
***
Pikiran Elena tetap penuh kecemasan sepanjang hari. Surat dari Tabitha yang telah dia sembunyikan di dalam laci meja kerja terus membayang di benaknya. Tak peduli seberapa keras dia mencoba mengalihkan pikiran, tak ada yang bisa mengusir beban yang menguasai dirinya.
Pergilah sebelum semuanya terlambat, atau kau akan bernasib sama sepertiku.
Elena duduk di ruang kerja CEO Latham Holdings yang dulu bekas almarhum ayahnya, dengan tatapan kosong menatap jendela besar yang menghadap ke gedung tinggi kota Riverton. Pikiran Elena melayang. Meski hubungan pernikahannya dan Alex masih terlalu baru untuk disebut sebagai bencana, dia tahu ada sesuatu yang salah—terutama setelah surat itu datang. Tabitha tidak mungkin memberikan peringatan seperti itu tanpa alasan yang jelas.
“Sialan!” umpat Elena keras. Hingga dia mencengkeram kepalanya sendiri. Rambut coklatnya yang panjang terpaksa berantakan.
Elena tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Maka dia pun segera mengambil ponsel dan menghubungi Alex. Namun hingga dua kali dia mencoba, tidak ada jawaban. Elena menggertakkan gigi putus asa, sebelum tiba-tiba ada panggilan masuk.
“Elena?” Dari seberang, terdengar jelas suara Alex yang berat.
Elena sampai mengecek layar ponsel untuk melihat nomor yang masuk. Itu nomor asing, bukan nomor Alex yang dia simpan selama ini.
“Maafkan aku menelepon dari sini. Ini nomor David,”
“Kenapa kamu menghubungiku dari nomor David?”
Sunyi. Tidak ada jawaban. Elena menunggu dengan sabar, sambil menajamkan telinganya untuk merekam setiap detil suara yang ada di seberang.
“Seseorang menyadap ponselku,” jawab Alex pada akhirnya.
“Menyadap? Mana mungkin?”
“Bukankah sudah kubilang, Elena? Tidak ada satupun yang bisa kamu percaya di dunia ini,”
Elena menggigit bibir. Geram bukan main. Alex selalu bisa membuat hatinya terombang-ambing dengan perasaan intimidasi yang kuat.
“Kenapa kamu meneleponku di jam kerja?” tanya Alex.
“Ayo kita makan siang bersama. Aku akan mengirim alamat restorannya,”
“Oh, jadi kamu merindukanku?”
“Hentikan, Alexander Blackwood. Aku tahu kamu tidak tulus,” hardik Elena. Menolak untuk termakan ucapan Alex.
Terdengar tawa kecil yang berat. Elena tahu itu tawa Alex.
***
Elena duduk di sudut restoran mewah La Pergola, sebuah tempat eksklusif di pusat kota Riverton yang terkenal dengan pemandangan indah dan pelayanan kelas atas. Restoran ini berada di lantai atas gedung pencakar langit dengan jendela kaca besar yang memamerkan panorama kota di siang hari. Musik jazz lembut mengalun, menciptakan suasana yang menenangkan—namun tidak untuk Elena hari ini.
Alex tiba beberapa menit kemudian, seperti biasa dengan penampilannya yang sempurna. Dengan setelan abu-abu gelap, dia berjalan melewati meja-meja restoran dengan percaya diri. Banyak mata yang mengikuti pergerakannya, tapi Alex tampak tidak peduli. Dia hanya fokus pada Elena.
“Maaf terlambat,” kata Alex singkat saat duduk di seberang Elena.
Pelayan dengan sigap menghampiri mereka untuk memberikan menu. Alex mengambil menu tanpa banyak bicara. Matanya beralih pada daftar makanan dengan tenang, sementara Elena semakin sesak oleh kecemasan.
“Bagaimana bisa, kita satu rumah, tapi aku bahkan tidak tahu pakaian yang kamu kenakan hari ini?” Elena membuka pertanyaan dengan senyum getir.
Alex memandangnya singkat. Tampak tidak peduli. Lalu dia menyerahkan daftar menu beserta pesanannya pada pelayan. Alex memesan steak wagyu medium rare yang disajikan dengan saus truffle hitam dan kentang gratin. Sementara Elena, memilih sesuatu yang lebih ringan yaitu salad sayuran dengan keju feta dan vinaigrette lemon.
“Aku mengajakmu ke sini bukan hanya untuk makan siang,” Elena memulai dengan suara rendah.
Alex mengangkat kepala, memandang Elena dengan tatapan dingin namun tenang. “Apa yang ingin kamu bicarakan?”
Elena menarik napas panjang. “Aku ingin tahu alasan sebenarnya, kenapa kamu dan Tabitha bercerai,”
Alex diam sejenak, wajahnya tetap datar. “Tabitha mengalami gangguan mental, dan pernikahan kami tidak bisa dipertahankan. Itu saja,”
Elena tidak puas dengan jawaban singkat itu. “Tapi surat dari Tabitha ... dia memperingatkanku. Dia mengatakan kalau ada sesuatu yang salah, bahwa aku akan bernasib sama seperti dia jika aku tetap bersamamu,”
“Dan kamu percaya?” Alex mendesah, wajahnya tampak sedikit lelah. “Dia mengalami gangguan mental yang serius. Itulah sebabnya kami bercerai. Dia tidak lagi bisa membedakan kenyataan dan ilusi,”
Elena terkejut mendengar jawaban Alex. Tapi juga tidak sepenuhnya percaya. "Gangguan mental? Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa dia begitu membencimu?"
“Jika dia bisa berpikir jernih, dia tidak akan berada di rumah sakit jiwa,” Alex menatap Elena dengan tajam, kali ini ekspresinya lebih tegas. “Jika kamu terus memikirkan kata-kata dan ancaman Tabitha, bisa-bisa kamu akan sama gilanya seperti dia,”
Elena masih menatap Alex, mencoba mencari kebenaran di balik jawaban Alex yang dingin itu. Tapi sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, pelayan datang dengan hidangan yang dipesan, memecah ketegangan keduanya.
Elena menatap piringnya, merasa semakin bingung. Elena sama sekali tidak nafsu makan. Sementara Alex mulai memakan makanannya dengan tenang, seolah pembicaraan barusan sudah selesai. Tapi bagi Elena, pertanyaan-pertanyaan itu masih menggantung di udara, tak terjawab.
Makan siang hampir selesai. Alex seperti biasa tampak tenang, meletakkan garpu dan mengeluarkan ponsel dari sakunya. Elena memperhatikannya sekilas, tidak terlalu mempermasalahkan hingga saat Alex menyalakan layarnya. Sebuah nama muncul sekejap di atas notifikasi pesan: Tabitha.
Elena terpaku. Seluruh tubuhnya membeku, dan jantungnya berdebar keras. Matanya tertuju pada layar ponsel itu.
Alex mendongak, matanya bertemu dengan tatapan Elena. Seakan menyadari sesuatu sedang terjadi. Alex juga sadar perubahan ekspresi wajah Elena saat melihat layar ponselnya. Namun ekspresi wajah Alex tetap dingin, sama sekali tidak terpengaruh.
“Tidak usah khawatir,” ucap Alex dengan nada yang rendah. Kemudian dengan cepat memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.
“K-katamu … dia di rumah sakit jiwa? Kenapa dia bisa … “
“Kita harus kembali,” potong Alex cepat. Tanpa memberi kesempatan Elena untuk melanjutkan pertanyaannya.