Bab 3 Rela Menikah Dengan Pria Sekarat
"Kalau begitu, kamu mau merawatnya seumur hidup? Dia memang pembawa rugi. Hari ini aku beri tahu, kalau kamu tidak menikahkannya untuk menghasilkan sedikit uang, maka aku tak akan hidup bersamamu lagi. Aku akan ... membawa pergi Dabao dan Chunhua, membuatmu seumur hidup tak akan bisa menemukan kami lagi."
Mendengar teriakan marah ini, Luolan sudah tak bisa menahan diri lagi. Dia pun membuka pintu kamarnya, lalu berkata, "Berhenti bertengkar! Aku bersedia menikah dengan pangeran itu."
Ucapannya ini langsung membuat Bibi Shui yang tadi masih berteriak-teriak, tiba-tiba menjadi tenang. Sementara Paman Shui malah menggeleng dengan kuat, "Tidak bisa, Lan'er, jangan mendengarkan omong kosong bibimu. Kamu tidak boleh menikah dengan orang yang sekarat itu."
Luolan hanya tersenyum tipis, wajahnya tanpa ekspresi, "Menikah dengan orang sekarat lebih baik daripada dipaksa mati."
Setelah bicara begitu, dia menutup pintu kamarnya dengan dingin. Saat ini, hatinya sudah sangat putus asa.
Apa salahnya menikah dengan orang yang sekarat? Berhubung Tuhan sudah membuatnya masuk ke tubuh gadis pengecut ini, maka dia harus lakukan sampai tuntas.
Malam itu, dia tidak masak seperti biasanya, juga tidak ada orang yang memanggilnya untuk makan.
Sebelum makan, Paman Shui masih mengetuk pintu kamarnya dan memanggil, "Lan'er ...."
Paman Shui adalah orang yang paling tidak bisa Luolan tolak. Jadi, dia membuka pintu, melihat Paman berdiri dengan ekspresi bersalah.
"Lan'er, Paman sungguh bersalah padamu. Ayo, makan ikan."
Saat Paman Shui berkata begitu, matanya sudah memerah.
Luolan langsung mengambil mangkuk berisi nasi dan ikan dari tangan Paman Shui. Ini pertama kalinya dia melihat makanan yang panas dalam beberapa tahun ini. Sebelumnya, Bibi Shui selalu memberi tahu Paman bahwa dia sudah makan, tidak membiarkannya makan bersama. Dia juga memberi tahu bahwa dirinya sudah makan di dapur setelah memasak. Jadi, Paman tidak tahu bahwa dia selalu makan makanan sisa dan nasi dingin.
"Paman, ikan ini terlihat sangat enak. Apa Paman yang memancingnya? Ayo, masuk. Besok aku akan pergi ke Kediaman Pangeran. Malam ini aku akan menemani Paman mengobrol."
Paman Shui mengangguk sambil mengusap air matanya. Dia membeli ikan itu di kota. Mungkin ini terakhir kali Lan’er makan di rumah. Lan’er mau makan ikan, maka dia pun harus memenuhi keinginannya meski harus berjuang keras.
Paman Shui duduk di bangku kayu yang sudah tua, sambil melihat Luolan menghabiskan nasi dan ikan itu.
Kemudian, dia menghela nafas panjang, "Lan'er, Paman tahu bahwa kamu setuju menikah dengan pangeran itu karena kamu takut Paman dan Bibi bertengkar. Namun, pangeran itu akan segera meninggal. Kalau dia meninggal, mak kamu ... harus ...."
Bicara sampai di sini, Paman Shui tidak bisa melanjutkannya lagi. Pria bertubuh besar ini menangis tersedu-sedu, bagaikan anak kecil yang mengalami kegetiran.
Demi menenangkan Paman Shui, Luolan pun tersenyum.
"Paman, tidak apa-apa. Aku pembawa keberuntungan bagi suami. Mungkin saja setelah menikah, pangeran itu tidak akan meninggal. Paman jangan seperti ini. Kalau tidak, aku juga akan merasa sedih."
"Lan'er, Paman akan bicara dengan bibimu lagi untuk mencarikan pasangan lain," kata Paman sebelum pergi.
"Tidak perlu."
Luolan menghentikan Paman Shui yang hendak pergi, sambil berkata, "Kalau pergi ke Kediaman Pangeran, bagaimanapun juga, aku akan menjadi istri pangeran, punya kedudukan yang terhormat. Mungkin saja aku juga bisa menjalani beberapa tahun yang baik."
Paman Shui menghela napas. Dia tahu meski dirinya membicarakan hal ini lagi, istrinya juga tak akan setuju.
Dia mengeluarkan sapu tangan bermotif bunga dari saku bajunya, lalu memberikannya pada Luolan dengan tangan gemetar.
"Lan'er, ini yang kamu bawa saat Paman menemukanmu. Awalnya masih ada selimut kecil dan pakaian bayi. Namun, setelah berselang bertahun-tahun, semuanya sudah hilang. Kamu ambillah sapu tangan ini. Paman tidak bisa memberikan hal lain padamu."
Setelah bicara begitu, Paman Shui menangis lagi. Luolan pun mengambil sapu tangan itu. Ada nama yang dijahit dengan benang biru di atasnya, yaitu Luolan.
Ternyata namanya berasal dari sini. Namun, dia tidak merasa terlalu asing dengan sapu tangan ini.
Luolan memasukkan sapu tangan itu ke sakunya, lalu menghibur Paman Shui.
"Paman, jangan sedih. Aku hanya menikah saja, setiap wanita pasti mengalaminya. Aku sangat senang bisa menikah dengan pangeran. Aku bisa menjadi istri pangeran, itu sangat keren."
Paman Shui tahu Luolan sedang menghiburnya, maka dia menahan air matanya dan berkata, "Lan'er, kalau kamu tidak mau menikah, katakan terus terang saja. Paman berusaha sekuat tenaga untuk melindungimu."
"Aku mau menikah, aku tidak pernah bilang tak mau menikah."
Luolan sengaja tersenyum lebar. Dia harus membuat satu-satunya orang yang peduli padanya di dunia ini merasa tenang.
Paman Shui menghela napas panjang, lalu keluar dari kamar dengan tak berdaya.
Malam itu, Luolan tidak bisa tidur. Di hari pertama datang ke dunia ini, dia malah langsung memutuskan untuk menikah dengan seorang pria yang akan segera meninggal. Kedengarannya ini sungguh lucu, tapi apa yang bisa dia lakukan? Bahkan meski Luolan yang asli masih hidup, dia juga pasti akan menikah dengan pangeran itu demi pamannya.
Keesokan paginya, untuk pertama kalinya Bibi Shui menyiapkan empat hidangan, lalu mengajak Luolan untuk makan bersamanya, tapi Luolan menolaknya. Dia berkata dengan dingin pada Bibi Shui yang terlihat begitu senang, "Setelah aku menikah dan masuk ke Kediaman Pangeran, kalian akan menerima hadiah uangnya. Mulai saat itu, kita tidak ada hubungan lagi."