Bab 4

Dalam hidup Jagad, sosok yang sedang terbaring lemah dengan selang infus di tangannya adalah anugerah serta kutuk. Ada rasa marah yang sangat hebat mengingat siapa dan dari mana sosok ini berasal. Namun sungguh, tiap kali netra cokelat terang itu menatapnya sedemikian rupa, pria itu pun bertekuk lutut. [d1] Buyar segala marah yang ia punya. Terutama saat tangan itu menyentuh wajah Jagad dan bertanya, “Kantor baik?” Tuhan! Bisakah sekali saja Jagad diberi satu kesempatan untuk mengulang dunia? Terserah dimulai dari zaman apa, asal dirinya tak mengambil jalan serta keputusan supertolol di masa lalu. “Pak,” panggil seseorang yang Jagad kenali. Pria itu hanya menoleh sekilas, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada sosok yang terbaring di ranjang ini. Merasa tak ada respons apa-apa, sekali lagi, sang pemilik suara berkata, “Bapak pulang saja. Saya yang jaga Non Echa.” Jagad tersenyum tipis. “Pulanglah. Biar saya yang jaga Echa.” “Tapi, Pak.” Merry, sang pengasuh anaknya agak bersikeras. Ia tahu, pria yang ada di depannya ini jelas memiliki kesibukan yang sangat tinggi. “Besok Bapak be—” “Saya enggak apa-apa, Merry. Kamu pulanglah. Biar saya yang jaga Echa malam ini. Kamu pasti lebih lelah ketimbang saya.” Merry tak bisa lagi membantah. Ucapan Jagad final. Kalaupun ia bersikeras, sama saja membuat murka pada diri majikannya mencuat. “Baik, Pak. Saya pamit.” Tak butuh waktu lama, sosok Merry meninggalkan ruang rawat Alesyha Kirei Adi. Menyisakan sunyi yang membuat Jagad bisa mendengar detak jarum jam serta mesin pendingin di ruang ini. Juga satu monitor yang memantau bagaimana keadaan putrinya. Padahal Echa sudah lama tidak kambuh dari kebiasaannya melukai diri sendiri. Tiap kali gugup, mendengar suara yang terlalu bising serta hal-hal yang membuatnya ketakutan, anak itu pasti melakukan tindakan ekstrim. Menjambaki rambutnya dengan kuat. Menggaruk lengannya sampai menganga lebar lukanya. Yang paling parah, membenturkan kepalanya ke tembok sampai terluka. Seperti kemarin sore. Jagad ada di persimpangan. Meeting-nya tak bisa ditunda, sementara putrinya berjuang mengatasi rasa takut. Meski berakhir dengan perban di kepala, rasa sesal pria itu besar sekali. Namun, ia tak punya banyak pilihan. Pekerjaannya juga penting dan dijadikan penopang untuk hidupnya dengan Echa. Sekali lagi, ia menghela pelan. Ditariknya kursi dengan gerak cukup hati-hati agar tak menimbulkan suara mengganggu, lalu duduk di sisi putrinya. Diambilnya tangan yang ditancap selang infus di sana. Dibelainya penuh kasih. Dikecupnya penuh cinta. “Echa kenapa? Ada yang jahat? Bilang Daddy, Nak.” Ia terpejam, menahan rasa sakit yang kini kembali menggebuk batinnya dengan kuat. “Kamu yang kepingin banget punya anak, kan?Jagad mengusap wajahnya penuh frustrasi. Tapi dia bukan anak aku!” “Apa bedanya? Anak, kan? Aku beri, Jagad. Aku beri!” “Wanita sialan! maki Jagad tak peduli tempat di mana mereka berada kala itu.Sialan? Aku sialan? Kamu yang sialan, Jagad! Wanita itu tersenyum sinis. Itu anak kamu. Seperti yang kamu mau. Ingin anak, kan? Sudah kuberikan[wd2] .” *** Kedatangannya disambut sepi. Tata agak heran sebenarnya. Biasanya sudah terdengar suara mesin kopi milik sang bos. “Pagi, Bu Tata,” sapa Bambang, office boy yang khusus membersihkan area ruang ini. Di tangannya terdapat nampan berisi tumbler milik Tata berikut secangkir teh hangat. “Saya letakkan di sini, ya, Bu.” “Terima kasih.” Tata tersenyum. “Oh iya, Bapak sudah ada di ruangannya?” “Belum, Bu.” Tumben, batin Tata. “Saya permisi.” Tata mengangguk sekilas. Dibiarkan pria berseragam biru itu keluar dari ruangannya. Matanya kembali mengarah pada ruang kaca di mana sang pemilik ternyata belum datang. Alexander Christie di lengan kirinya, sudah menunjuk pukul 08.10. Baru saja Tata berinisiatif mengirim pesan pada sang bos, namanya sudah lebih dulu muncul di layar ponsel. Jagad: Hari ini saya cuti. Ada keperluan mendesak. Kalau ada sesuatu yang urgent, kirim ke e-mail segera. Segera jemarinya menari di atas layar datar ponsel miliknya. Meski ada tanya di benak Tata, tetapi itu bukan urusannya. Kemarin mereka menjalani meeting seperti biasanya. Walau ia akui, sang bos terlihat beberapa kali menghela pelan sembari menatap layar ponselnya. Seolah-olah ada sesuatu yang tengah terjadi sore kemarin. Mungkin ... Ini yang membuat pria itu gusar? Namun, apa pedulinya? Tak ada. Semesta: Baik, Pak. Ia kembalikan ponsel di laci pertama meja kerjanya. Detik juga terus berjalan, masih banyak pekerjaan yang harus Tata lakukan. Hasil meeting sore kemarin belum ia buat dalam rangkuman utuh. Tanpa ia sadari, waktu sudah mendekati makan siang. Mungkin saking banyaknya pekerjaan yang silih berganti masuk ke dalam e-mail-nya, belum lagi sesekali berdiskusi dengan Jagad lewat sambungan telepon. Ada beberapa hal yang tak bisa Tata putuskan begitu saja. “Apa yang saya bicarakan tadi, kamu garis bawahi di laporan nanti, ya, Ta,” kata Jagad di ujung sana. “Baik, Pak.” “Sudah waktunya makan siang, Ta. Makan dulu saja. Laporannya masih bisa saya tunggu, kok.” Tata meringis kecil. “Iya, Pak.” “Daddy, tidak. Tidak. Tidak. Itu tidak.” “Sabar, Echa. Daddy bicara sebentar. Daddy tidak ke mana-mana.” Ah ... ternyata keperluannya karena Echa. Meski belum pernah melihatnya secara langsung, tetapi foto profil Jagad terpampang jelas bagaimana rupa anak tunggalnya itu. “Saya tutup dulu, ya, Pak. Kalau sudah selesai dikerjakan laporannya, segera saya e-mail.” “Terima kasih, Ta.” Lepas bicara seperti itu, Jagad segera memutuskan sambungan teleponnya. Tata sendiri pun segera merapikan berkas-berkas yang berserak. Setidaknya saat ia meninggalkan ruangan tak terlalu berantakan. Tas kecil yang biasa digunakan untuk menaruh dompet dan ponselnya, sudah ia sampirkan di bahu. Berjalan santai menuju lift yang akan membawanya turun ke basemen. Sesekali ia menyapa staf divisi marketing yang hanya dipisah sekat serta meja panjang di sisi kanan ruangannya. Sebatas sapaan basa-basi tak pernah luput keluar dari bibir Tata. “Hai, Ta,” sapa Yessy. Meski beda divisi, tetapi Tata cukup dekat dengannya. Ditambah juga Peony, yang tak pernah jauh dari Yessy. Mereka berdua ada di satu divisi; finance. Yang berseberangan ruangannya dengan Tata. “Makan di mana?” tanya Tata dengan senyuman. “Eh ... Bibir kamu kenapa? Luka gitu?” Tata tak menyangka mendapat pertanyaan barusan. Sejak pagi, ia sudah berusaha menutup luka yang didapatnya semalam. Ia merasa sudah berhasil menyamarkannya, tetapi kenapa Yessy melihat jelas? “Ah, enggak apa-apa. Sariawan aja.” Tanggapan Peony justru tertawa. “Ganas banget, ya, semalam?” Tata mengulum senyum saja. Tahu arah bicara yang Peony tuju. Jarang sekali ia membagi perkara hati serta kericuhan dalam hidupnya pada orang lain. Terutama rekan di kantornya. Bukan tak mungkin kisahnya dijadikan gosip terbaru yang selalu ditunggu, kan? Hanya pada satu oranglah, Tata memercayakan kisah yang berputar di hidupnya. Sayang, untuk beberapa waktu ke depan, ia tak bisa mencurahkan isi hatinya. Jenni, sang sahabat tengah sibuk mengurus bisnisnya di luar kota. “Ih, sayang banget Pak Jagad enggak masuk,” keluh Yessy. “Padahal aku sengaja, lo, pakai kemeja soft gini. Siapa tahu matanya melirik ke aku.” “Mimpi!” seloroh Peony. Mereka bertiga sudah ada di dalam lift. Beruntung kotak besi itu hanya ada mereka. Biasanya jelang makan siang, lift sudah berjubel karyawan lain dari gedung ini. Menuju tempat yang sana; kantin basemen. “Mimpi itu boleh. Lagian aku single. Siapa tahu Pak Jagad berminat menjadikan aku istri.” Tata yang mendengarkan candaan mereka hanya tertawa samar. Sudah terlalu biasa ia mendengar bagaimana staf di ShopaShop ingin menarik perhatian seorang Jagad Bhayangkara. Tak jarang juga ia ditanya, bagaimana cara mendekati pria itu. Ditanya seperti itu membuat Tata tak habis pikir. Memangnya ada cara khusus mendekati pria? “Lagian, Yes, memangnya kamu siap kalau jadi ibu sambung? Pak Jagad punya anak, kan? Si Echa itu.” Peony bicara dengan nada ragu. “Kalian tahu, kan, anaknya?” “Yang penting jadi istrinya Pak Jagad,” kata Yessy dengan senyum lebar. “Siap memang jadi ibu sambung dari seorang autis?” Suara Peony sengaja diturunkan beberapa level. Ucapan Peony membuat Tata menoleh dan mengerutkan kening. Sementara Yessy melotot tak percaya. “Masa, sih?” Peony langsung membungkam mulut Yessy, bertepatan dengan pintu lift yang terbuka. Mereka melangkah keluar dan menyusuri koridor. “Kamu yakin?” tanya Yessy masih diliputi penasaran. Mereka sudah duduk di salah satu sudut kantin. Sejak keluar dari lift, tak ada satu pun yang bicara serta bertanya. “Iyalah.” Peony berkata dengan yakinnya. “Sumberku valid beri info ini. Iya, kan, Ta?” Tata sendiri sebenarnya tak terlalu mengenal atasannya serta sang putri secara pribadi. Hubungan mereka murni karena pekerjaan. Andai bertanya mengenai kehidupan pribadi, baik Tata juga Jagad seolah-olah menyepakati, ada batas yang tak boleh dilewati. Hanya sekadarnya saja. “Kurang tahu, sih,” kata Tata dengan jujur. “Ih, payah banget kamu. Padahal kamu dekat banget dengan Pak Jagad. Masa iya kamu enggak tahu kalau beliau punya anak autis?” Tata tersenyum simpul. “Andai benar sekali pun, memangnya ada masalah?” Peony berdecak pelan, sementara Yessy masih tak percaya dengan berita yang baru ia dengar. “Pantas saja Pak Jagad enggak mau didekati. Mungkin minder karena punya anak autis. Atau malu?” tanya Peony sembari mengedikkan bahu. Yessy tampak ingin bicara, tetapi diurungkan. Berbeda dengan Tata yang menikmati santap siangnya kali ini. Baginya, itu bukan urusannya. “Selain itu juga,” Peony meletakkan sendoknya perlahan, “yang aku dengar, mantan istrinya Pak Jagad ninggalin beliau gitu aja.” “Karena punya anak autis?” Yessy bertanya dengan polosnya. “Ih, jahat banget!” “Mana aku tahu alasannya!” Peony berdecak. “Tapi yang jelas, Pak Jagad antipati sama perempuan. Makanya, Yess, kubur dalam-dalam rasa suka kamu ke Pak Jagad. Percuma.” Yessy cemberut. Meski berita ini baru pertama kali Tata dengar, ia sungguh tak peduli. Ada banyak hal yang bisa ia pikirkan ketimbang gosip mengenai sang bos. Mulai dari gosip murahan [d3] seperti merek kemeja kesukaan seorang Jagad, sampai hal yang sangat privasi ini. Dari mana Peony dapat berita ini sebenarnya? Tata tak habis pikir. Dering ponsel membuat Tata menghentikan santap siangnya. Segera ia rogoh tas kecil yang selalu ada di sampingnya. Nilam: Mbak, sore nanti transfer untuk tebus obat Ibu. Mas Bhumi bilang minta sama Mbak. Kenapa sih aku jadi repot gini? Kan, Mas Bhumi juga harus kasih sebagian gajinya untuk Ibu. Kenapa Mbak pegang semuanya?
Tambahkan ke Perpustakaan
Joyread
UNION READ LIMITED
Room 1607, Tower 3, Phase 1 Enterprise Square 9 Sheung Yuet Road Kowloon Bay Hong Kong
Hak cipta@ Joyread. Seluruh Hak Cipta