Bab 9
Ada satu nama yang masih lekat dalam ingatan Tata; Anisya Ratih Dwihara.
Lucu sekali karena ia pun hafal nama lengkap perempuan itu. Satu-satunya perempuan yang pernah hadir di hidup Bhumi. Tata tahu, kehadirannya sebagai pengganti kala itu. Gadis yatim piatu yang mau saja menerima tawaran cinta semu, berujung pernikahan yang katanya berlandas cinta bisa ada karena terbiasa. Yang sampai kini ia yakini, Bhumi memang sudah memiliki cinta untuknya. Ia lupa ... ingatan masa lalu mengenai cinta terindah mampu melenyapkan segalanya.
Tak pernah Tata sangka, untuk kedua kalinya, ia memergoki sang suami bersama wanita yang sama. Yang mana akhirnya juga ia tahu, sosok seperti apa Anisya Ratih Dwihara ini.
“Aku sudah menduga, sih, istri kamu pasti cantik sekali, Mas,” katanya dengan nada lembut. Senyumnya melengkung sempurna. Sorot matanya juga terlihat bersahabat. Namun, Tata tak jua bisa meredam tanya di hatinya.
Kenapa tangan itu justru bergelayut pada suaminya?
“Enggak sangka, ya, kita bertemu di sini,” imbuh sang lawan bicara.
“Iya,” sahutnya. “Saya juga enggak sangka bertemu kalian di sini.” Sembari menyesap pelan isi cangkirnya, Tata menatap tanpa ragu lawan bicaranya.
Ada tawa yang terdengar merdu, tetapi tersirat hal yang membuat Tata tak serta-merta melepas pandangannya. Pun sorot yang saling berbalas dalam diam. Dirinya tak buta.
“Bisa aja kamu, Ra. Kalian belum pernah ketemu rupanya, ya? Padahal reuni SMA tiga tahun lalu, Tata ikut. Kalau kamu datang, pasti kalian bisa berteman lebih akrab.”
Bhumi tertawa padahal hatinya mengibarkan bendera waspada. Tak menyangka akan bertemu istrinya di sini. Berusaha sekali terlihat santai dan tenang membawa diri.
“Kalian teman kerja?” Kali ini Jenni yang bertanya. Dirinya jualah yang menegur Bhumi dan menarik mereka untuk bergabung bersama.
“Bukan,” sahut Ratih masih dengan nada riangnya. Rambut bergelombang pirangnya bergerak pelan. “Kebetulan lagi menangani proyek yang sama. Iya, kan, Mas?”
“Bukan teman kerja, tapi ... bertemu weekend? Wow.” Jenni tersenyum miring. “Lucu, ya.”
“Saya memang ada urusan dengan Ratih, Jen,” tukas Bhumi dengan raut tak suka, lalu menatap Tata yang hanya menampilkan wajah datar. Tampaknya sang istri terlihat tak terganggu dengan apa yang ia lakukan. Apa istrinya tak peduli?
Baguslah.
“Kamu pulang jam berapa?” tanya Bhumi pada Tata.
Merasa ditanya, Tata hanya tersenyum tipis. “Belum tahu. Jenni masih ingin ditemani.”
“Aku enggak jemput. Masih ada yang harus kulakukan.”
Tata mengangguk.
“Kami permisi kalau begitu.” Bhumi berdiri yang mana diikuti pula oleh Ratih. Sebelum langkah keduanya meninggalkan mereka semua, Tata menadahkan tangan.
“Kunci, Mas.”
Kening Bhumi berkerut dalam. “Kunci?”
“Iya. Kunci mobil aku. Pasti kamu bawa, kan? Aku lagi malas naik taksi. Enggak ada lembur kantor jadi enggak ada voucer taksi.” Ucapan itu sangat enteng Tata lantunkan. Tanpa beban sama sekali. Tak peduli kalau Bhumi memberi tatapan tak percaya juga terlihat marah.
Pria itu melirik ke arah Ratih yang masih tersenyum, lalu kembali menatap istrinya. Segera ia rogoh kantong celananya dan memberi kunci mobil milik istrinya itu.
“Ini!”
“Selamat bekerja lembur, Mas,” kata Tata dengan senyumnya yang lebar. Ia genggam kunci itu erat-erat sampai terasa sakit telapak tangannya. Ia juga biarkan suaminya pergi dengan wanita lain dengan mesranya. Hatinya ... hancur.
“Kamu gila?” tanya Jenni sedikit memekik. “Dia suamimu, lo, Ta? Kamu biarkan?”
Tata menyeringai. “Apa yang mesti aku lakukan, Jen? Teriak memarahi? Menuduh berselingkuh? Menjambak wanita lain? Lalu pengunjung lain memperhatikan kami?”
Jenni berdecak kesal. Tak menyangka respons Tata hanya seperti ini saja. Jelas di matanya ia tahu, Bhumi bermain api.
“Bhumi enggak bisa dibiarkan, Ta.”
“Aku tahu.” Tata masih berusaha tersenyum meski badai di dadanya kian bergemuruh. “Tapi kamu tahu, Jen,” Meski sudah berkaca-kaca dan suaranya mulai gemetar, ia tetap berusaha untuk menuntaskan ucapannya, “Entah kenapa aku merasa tinggal menunggu kapan Mas Bhumi memploklamirkan dirinya mendua.”
“Kamu benar-benar enggak waras, Ta.”
“Mungkin.” Tata mengusap pipinya yang kini basah. “Tahu mati rasa?”
Jenni mengerjap pelan.
“Ini yang kurasa akhir-akhir ini.”
***
Tata termasuk orang yang suka menyimpan apik barang yang memiliki kenangan tertentu. Termasuk dress sebatas lutut berwarna peach yang ia kenakan sebelas tahun lalu. Dress yang menyimpan memori di mana seorang Bhumi Kaspia melamarnya. Acara makan malam yang cukup romantis untuk ukuran Semesta Lathika. Diterimanya ajakan pria itu untuk terikat dalam jalinan sakral; pernikahan. Meski ada ragu, tetapi Tata tetap melangkah.
“Aku yakin cinta untukmu pasti akan muncul, Ta. Aku juga yakin, pernikahan kita pasti bahagia,” kata sang pria.
Siapa yang tak tersanjung diperlakukan semanis ini? Namun, sekarang?
“Masih muat ternyata bajunya,” kata Tata dengan tawa [d1] miris. Ia mematut diri berulang kali. Memastikan tak ada yang tertinggal dari kenangan yang terindah dalam hidupnya. Segala hal mengenai hidupnya bersama Bhumi terputar tanpa bisa ia kendalikan. Bagaimana cinta itu semanis madu yang ia selami, sampai lupa kalau ternyata dirinya sudah keracunan.
Entah sejak kapan sang suami mulai mengabaikannya. Lebih sering menyudutkan dan menyalahkan dirinya atas hal-hal yang masih bisa dikompromikan. Di kepalanya hanya terpatri; Bhumi masih mencintainya.
“Bodoh,” bisik Tata lirih sembari memulas lipstik sebagai sentuhan terakhir. Tak lama juga terdengar suara deru mobil. Mungkin itu taksi yang ditumpangi Bhumi.
Wanita itu mengisi paru-parunya sebanyak yang ia bisa. Melangkah yakin, ia pun keluar kamarnya. Menuruni satu demi satu anak tangga dan berusaha untuk menampilkan senyum terbaiknya. Sampai langkahnya terhenti tepat di depan sang suami. Agak aneh sebenarnya melihat Tata berpenampilan seperti ini. Sudah lama istrinya menanggalkan dress yang memperlihatkan kaki jenjangnya. Memilih mengganti style yang jauh lebih tertutup karena permintaan Bhumi. Ia tak ingin ada pria lain yang melihat kecantikan Tata.
Seperti sekarang.
Namun ... Bhumi mendadak menyadari sesuatu. Kejadian di mal tadi. Ia masih menyimpan kesal untuk istrinya. Wajahnya berubah ketus, berbeda ketika ia bersama Ratih.
“Kamu itu sengaja mempermalukan aku, Ta?”
“Aku mau bicara,” kata Tata yang ternyata berbarengan dengan perkataan Bhumi. Mengerjap pelan, lalu ia pun terkekeh mendengar keluhan Bhumi barusan. “Mempermalukan kamu, Mas?”
“Bicara? Apa yang mau kamu bicarakan, hah?” Bhumi bersedekap. “Enggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku capek.”
“Iya, Mas. Aku tahu kamu capek.” Tata tersenyum tipis. “Capek meladeni wanita lain.”
Bhumi mendelik tajam. “Jaga bicara kamu.”
“Bicaraku sudah terjaga, tapi kelakuan suamiku, tak bisa dikendalikan ternyata.”
“Semesta!” bentak Bhumi. Tak peduli ini sudah cukup larut untuk bertengkar.
“Aku bicara kenyataan, Mas.” Tata mendekat. “Betapa terkejut aku begitu tahu, suamiku bersama wanita lain.”
“Sudah kukatakan dia rekan kerjaku!”
“Bergelayut manja seperti itu? Rekan kerja?” tanya Tata wajah dibuat sedramatis mungkin. “Kalau begitu, aku juga ingin bergelayut dengan pria lain.”
“Kurang ajar!” Bhumi melotot garang. “Berani kamu bilang begitu!”
Bhumi mencekal pipi Tata dengan kuatnya. Ia abaikan sorot mata istrinya yang tampaknya tak merasa bersalah sudah berhasil memprovokasinya. Wajah yang bertahun-tahun menemaninya, yang biasanya penuh dengan cinta, dan mudah dikelabui, tetapi sekarang?
Entah dari mana keberanian istrinya datang. Sorot matanya datar dan tak terganggu sama sekali dengan intimidasi yang ia buat.
“Kenapa aku mesti takut?” tanya Tata dengan usaha lebih. Tangan Bhumi pun ia tepis dengan kuat. “Akui sajalah, Mas, apa yang kamu perbuat. Jangan sampai aku menelanjangimu.”
Bhumi tertawa geli. “Dan mempermalukanku di depan Ibu? Astaga, Ta. Naif sekali pikiranmu. Apa ada yang akan membelamu?”
Tata terdiam. Benaknya memang menyetujui ucapan suaminya ini. Siapa yang akan membelanya? Tak ada. Yang ada, ia yakin sekali, mertuanya memberi pembelaan penuh pada sang putra. Tak peduli salah atau benar.
“Berhubung kamu sudah bertanya, aku malas bertele-tele.” Bhumi memilih untuk duduk di sofa. Sedikit bersandar di sana. “Aku selingkuh. Ratih masih mencintaiku dan ternyata aku enggak bisa membohongi hati ini, Ta. Aku juga masih mencintainya. Aku ingin menikahinya. Terserah kamu terima atau enggak.”
Wanita itu hanya mengangguk samar. “Sejak kapan?”
Bhumi mengerjap pelan. Padahal segala ucapannya ini ia sengaja untuk memancing amarah Tata. Namun, kenapa istrinya malah makin bersikap datar? Apa istrinya ... menyetujui hubungan mereka?
“Dua tahun lalu,” jawab Bhumi asal. “Ya, dua tahun lalu.” Ia menegaskan hal itu bukan untuk Tata, tetapi untuk dirinya.
“Ceraikan aku kalau begitu.”
Bhumi menegakkan punggung.
“Aku tunggu surat perceraian di meja kantorku, Bhumi.” Tanggal sudah panggilan ‘Mas’ yang selalu tersemat saat memanggil suaminya. “Silakan kamu nikmati hidupmu yang baru. Aku enggak ingin ada di antara kalian.”
Bhumi belum bisa berkata apa-apa.
“Dan selama proses itu berlangsung, mulai detik ini, kamu keluar dari rumah.”
“Apa?” Bhumi terperangah.
“Ini rumahku, Bhumi. Ambil apa yang kamu butuh dan tinggallah di rumah ibumu sampai putusan pengadilan keluar.”
“Ini rumah kita beli bersama. Masuk dalam pembagian harta gana-gini!” Bhumi berdiri dan menatap Tata dengan tajamnya. Anehnya ... wanita itu justru tertawa. Keras sekali.
“Ah ... kupikir kalau sudah berani berselingkuh tak peduli dengan harta yang sudah ada. Harusnya sanggup menghidupi calon istri baru dengan uang yang kamu punya. Bukan yang pernah kita punya,” kata Tata dengan banyak penekanan di tiap katanya.
“Kamu!” tuding Bhumi dengan geramnya.
“Aku beri waktu tiga puluh menit untuk kamu bereskan semua barang-barang kamu.” Tata pun bersiap meninggalkan ruang tamu. “Semuanya, Bhumi. Jangan sampai ada satu pun barang kamu di sini. Kalau enggak, aku bakar di depan rumah Nilam.”