Bab 12
Genap tiga hari Tata izin dikarenakan sakit. Jagad tak sempat menjenguk wakilnya itu lantaran kesibukan yang sungguh mencekik. Namun, setidaknya, lewat pesan, ia tahu kondisi wanita itu. Divisi marketing memang dikenal memiliki kesibukan yang tak main-main, juga sudah bukan hal yang asing lantaran menjadi tumpuan menghasilkan pundi laba bagi para pemilik saham.
“Loh, Ta?” Jagad cukup terkejut karena mendapati sosok wanita yang kini duduk tenang di mejanya. “Kamu sudah sehat memangnya?”
Tata tersenyum seraya berdiri menyambut sang bos.
“Sudah, Pak. Kelamaan di rumah untuk istirahat juga enggak enak.”
Jagad menggeleng sembari berdecak. “Harusnya kamu manfaatkan dulu untuk istirahat sampai benar-benar fit.”
“Enggak, Pak, sudah cukup. Lagian saya enggak bisa terus-terusan diam sementara yang lain sibuk.”
Tidak, Tata tak pernah berniat sedikit pun untuk menyinggung masalah pekerjaan. Ia cinta dengan apa yang menjadi rutinitasnya selama beberapa tahun belakangan ini. Justru dirinya merasa tak enak jika terlalu lama ada di rumah. Seperti yang ia katakan barusan.
“Ya sudah. Yang terpenting kamu juga harus tahu batas, Ta. Jangan sampai pingsan lagi.”
Tata tersenyum simpul. “Iya, Pak.”
Pria itu pun melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruangan. Kembali memikirkan apa pekerjaan lanjutan yang belum ia selesaikan. Kalau memang Tata sudah bisa berkantor, setidaknya mereka bisa bersama-sama seperti biasanya menyelesaikan bagian-bagian yang tertunda.
Selayaknya rekan kerja yang solid. Jagad, meski tegas dan irit bicara, selalu berusaha untuk menciptakan suasana yang nyaman untuk para anak buahnya. Jadi meski ada suatu trouble yang cukup membuat kepalanya pening, mereka bisa bekerja sama untuk menyelesaikannya dengan baik.
Sepeninggalan Jagad, Tata kembali berjibaku dengan banyaknya pekerjaan tertunda yang harus segera diselesaikan. Ia sampai tak menyadari kalau waktu sudah mendekati makan siang. Wanita itu mendesah pelan. Ponsel yang sebenarnya sejak dua hari lalu meminta perhatiannya, tak ia gubris. Tak peduli berapa banyak panggilan serta chat yang masuk, dirinya tak ada keinginan sama sekali untuk merespons.
Ia memilih merapikan sedikit berkasnya agar tak terlalu berserakan. Makan siang di kantin yang cepat penyajiannya dan tak terlalu lama adalah pilihannya sekarang. Namun ... suara Jagad menghentikan gerakannya.
“Saya sepertinya lupa bilang sama kamu, Ta,” Jagad bicara tanpa menoleh sama sekali ke arah Tata, tetapi langkahnya tepat berhenti di depan meja wakilnya. “Acame ajak makan siang sekalian diskusi promosi terbaru.”
Tata mengerjap. “Sekarang, Pak?”
“Iya, sekarang.” Jagad merasa sedikit aneh dengan pertanyaan Tata. “Terlalu mendadak?”
“Hm ... saya belum siapkan bahan promosi terbaru untuk Acame.” Tata tak tahu harus merespons apa.
Jagad terseyum tipis. “Sudah saya siapkan, Ta.”
Wanita itu masih belum menghilangkan rasa terkejutnya.
“Ayo! Kita ditunggu.” Jagad melangkah lebih dulu sembari memasukkan ponselnya.
“Enggak bareng sama Ridwan, Pak?”
Jagad terhenti. “Tak usah. Kita berdua cukup.”
“Boleh saya lihat berkasnya dulu, Pak.” Tata pun menyambar tas kecil yang selalu siap sedia berisikan memo serta tablet miliknya. Sedikit memeriksa apakah ada sesuatu yang tertinggal. “Seenggaknya saya pelajari dulu sebentar.”
“Kita diskusi di mobil, ya.”
Tak ada yang bisa Tata lakukan selain mengangguk. Mengekori langkah Jagad yang lebih dulu memimpin. Membiarkan pria itu membukakan pintu untuknya dan mempersilakannya keluar lebih dulu. Pun saat masuk ke dalam lift. Hanya itu interaksi di antara mereka. Tak pernah jauh dari bahasan pekerjaan.
Hal itulah yang membuat wanita itu nyaman bekerja di sekitar Jagad. Ia tak pernah mendapatkan pertanyaan mengenai privasinya. Sang bos seperti menerapkan batas itu demikian tinggi. Mungkin karena itu juga, sungkan bagi para bawahannya untuk tahu urusan pribadi sang atasan lebih jauh. Terlebih ... Jagad seorang manajer marketing di ShopaShop.
Di dalam mobil yang disetiri Pak Muh, sopir kantor, mereka benar-benar berdiskusi mengenai slot promo yang diinginkan Acame. Ada rasa cukup menggelitik yang akhirnya disuarakan Tata mengenai permintaan promosi Acame.
“Kemarin enggak percaya ke kita, ya, Pak,” kata Tata disertai tawa kecil. “Buktinya masih mau promo di beranda depan. Apalagi kita mau ada event.”
“Ya ... siapa yang enggak mau ada di beranda depan ShopaShop, Ta? Andai saya punya brand oke juga pastinya ingin tampil di sana. Secara traffic juga segi penjualannya pasti mumpuni.”
Tata tak memungkiri hal itu. “Tapi harga yang Ridwan tawarkan masuk di mereka, Pak?”
“Itulah kenapa kita meeting.”
Tata mencibir. “Minta diskon?”
Jagad jadinya tergelak. “Seperti ibu-ibu menawar harga kebutuhan pokok maksudnya, Ta?”
Bahu Tata terangkat sedikit. “Mungkin.”
Pria yang duduk di samping Tata tersenyum tipis.
“Enggak. Ada penawaran lain yang diberikan Acame untuk kita. Makanya humas GA juga ikut meeting. Mereka sudah lebih dulu karena cek barang.”
Kening Tata berkerut, tetapi sepertinya Jagad tak ingin melanjutkan bicara. Buktinya pria itu kembali sibuk dengan ponselnya seperti biasa. Kalau sudah seperti itu, wanita itu pun tak ingin banyak bertanya. Ia memilih untuk kembali mempelajari materi promo yang diinginkan Acame dan bagaimana penyesuaian dari pihaknya selaku divisi marketing ShopaShop.
Ponselnya berdering pelan, membuat Tata segera merogoh dan melihat siapa peneleponnya kali ini. Kalau nama yang sama muncul, ia tak akan menggubrisnya. Benar saja. Wanita itu berdecak pelan jadinya. Kembali ia masukkan ponselnya ke saku celananya. Mengabaikan panggilan barusan. Ia juga mengubah mode ponsel menjadi getar. Meski begitu, tetap saja getar ponselnya terdengar berdengung di dalam mobil.
“Angkat saja, Ta, siapa tahu penting,” kata Jagad yang sejak tadi memperhatikan wanita yang ada di sebelahnya. Semula ekspresi Tata seperti biasanya. Namun, begitu melihat ponselnya, wajah itu tampak tegang dan kesal. Beberapa kali juga ia mendengar Tata menghela napas panjang.
“Enggak penting, kok, Pak.”
Jagad hanya tersenyum menanggapi. Tak ingin lebih jauh bertanya meski ada sedikit rasa penasaran yang ia punya. Pria itu memilih menikmati saja perjalanannya menuju restoran yang sudah ditentukan. Sementara Tata berupaya untuk memfokuskan diri setelah pesan terakhir yang masuk dalam ponselnya. Jangan sampai apa yang menjadi masalah pribadinya membuat ia kehilangan konsentrasi.
Kali ini di hidup Tata, ada yang berubah jadi prioritasnya. Pekerjaannya. Jangan sampai gangguan yang datang membuatnya kehilangan pekerjaan yang sudah susah payah ia dapatkan dan raih selama ini.
Nilam:
Mbak, jangan menghindar dari masalah. Lagian kenapa, sih, sampai harus bercerai? Memang yakin bisa hidup tanpa Mas Bhumi? Mbak yang rugi. Ah, tapi sepertinya Mbak lupa, ya, siapa yang angkat derajat Mbak. Mas Bhumi, Mbak. Jangan lupa. Kalau bukan karena Mas Bhumi, Mbak cuma perempuan biasa yang ada di panti.
Itu belum seberapa untuk Tata. Baginya sang adik ipar tak lebih dari sebatas lalat pengganggu.
Ibu:
Masmu bilang, kamu minta cerai? Karena masmu dekat sama Ratih? Ibu tahu Ratih, Ta. Kenapa? Harusnya kamu berpikir kenapa masmu memilih dekat dengan Ratih. Bukannya memperbaiki diri malah minta cerai. Rugi sekali kamu. Tapi Ibu dukung perceraian kalian. Bhumi pasti dapatkan wanita yang jauh lebih baik dari kamu.