Bab 6

Mas Bhumi: Aku pulang telat. Ada urusan kantor. Tata terdiam menatap ponselnya. Tanpa ia sadari, jemarinya meng-scroll balon percakapan dengan suaminya. Tak ada yang aneh, hanya akhir-akhir ini Bhumi lebih sering pulang telat. Kadang memberi kabar, kadang lagi alasannya lupa. Wanita itu tak ingin banyak mendebat suaminya. Ada rasa lelah tiap kali ia menyinggung masalah kabar, Bhumi selalu menyudutkan dengan satu kalimat. “Kamu sendiri? Sama, kan, sibuk? Aku juga, lah.” Bukan ingin Tata mengabaikan suaminya. Tuntutan pekerjaannya memang seperti itu. Namun, diberi penjelasan panjang lebar pun, Bhumi tak mau terima. Daripada membuat hatinya makin lelah, lebih baik ia diam dan melanjutkan kewajibannya; melayani sang suami sepulang kerja. Ia mendesah pelan. Disimpannya ponsel itu ke dalam laci kerjanya. Kembali ia pungut keping fokus yang terserak. Human Greatness sudah menyetujui segala arahan dari divisi marketing. Belum lagi beberapa brand yang sudah berjalan, tetapi masih dalam pemantauannya. Secara berkala, Tata tetap harus memberi report pada Jagad mengenai klien yang mereka tangani ini. Intercom berbunyi pelan yang membuat Tata teralih. Extention sang bos muncul di layar indikator. “Ya, Pak?” “Kita diskusi sebentar, Ta.” Tata mengerjap pelan. “Ada ... masalah, Pak?” “Cukup urgent.” “Tentang?” Tata jadi bertanya-tanya juga. “Acame. Persiapkan berkasnya, Ta. Cek grafik bulan Januari. Mereka komplain.” “Baik, Pak.” Tak lama berselang, telepon itu terputus. Tata dengan cepat mempersiapkan apa yang Jagad inginkan tadi. Juga beberapa poin yang bisa ia beri setelah membaca ulang grafik milik Acame. Tak ada yang aneh sepanjang penglihatannya, tetapi kenapa Jagad ingin membahas? Cukup lama mereka membahas Acame; tentu saja tak hanya berdua. Divisi marketing terdiri dari empat tim. Berhubung kali ini berkaitan dengan elektronik dan gadget, maka mereka berdiskusi bersama Ridwan. Menurutnya, mereka sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Namun, pihak Acame ini memang sejak awal mengajukan kerja sama, agak sedikit merepotkan. Mereka ingin penjualan seimbang biaya yang sudah dikeluarkan untuk menaikkan brand yang ada. Apalagi ShopaShop memang membuat penawaran tersendiri untuk brand apa saja yang muncul di beranda aplikasi ShopaShop. Pihak Acame merasa adanya indikasi penipuan. Mereka lampirkan juga respons brand lain yang sejenis dengan apa yang mereka jual, tetapi tanggapannya cukup baik. Permasalahannya, tuduhan mereka tak langsung tertuju pada tim marketing atau manajemen ShopaShop. Melainkan pada BoD serta pengacara yang ditunjuk. “Enggak logis, Pak, kalau menyalahkan IT serta slot promosi yang sudah disepakati. Lucu!” dengkus Ridwan dengan tangan bersedekap. “Bisa jadi kualitas mereka memang enggak terlalu bagus,” Ridwan segera membuka bagian review produk Acame. “See?” Disodorkannya ponsel itu pada Jagad yang sesekali mengangguk paham. “Semuanya sudah kamu catat, Ta? Kita banding besok.” “Segala banding, Pak?” Ridwan tampak terperangah. Tak menyangka kalau masalahnya cukup darurat. Jagad hanya tanggapi dengan senyum tipis. “Iya. Segera persiapkan apa yang tadi saya minta. Kita tunggu tim IT menjelaskan juga.” “Baik, Pak.” Semua yang ada di ruang kerja Jagad kompak bicara. Kemudian, mereka kembali sibuk mengurus masalah ini, jangan sampai tak menemukan jalan keluar terbaik. Meski sebagian dari mereka percaya, ini hanya sebatas tuduhan aneh, tetapi data berbicara. Tak lama berselang , tim IT datang. Semuanya menyimak penjelasan yang diberikan. Makin membulatkan keyakinan mereka kalau Acame hanya membuat tuduhan asal. Tak ada satu pun yang luput dari catatan Tata. Juga beberapa hal yang menurutnya kurang familier dari tim IT. Merasa semua hal yang ingin Jagad ketahui sudah dikantongi, diskusi dadakan itu pun berakhir. Meski nantinya Tata sedikit meluangkan waktu pulangnya untuk membuat rangkuman akhir, tetapi setidaknya, case Acame menemukan jalan keluar. “Kalau siang ini meeting dadakan, kamu siap, kan, Ta?” tanya Jagad sebelum wanita itu keluar ruangannya. Satu demi satu staf lain sudah keluar. Tersisa Tata yang masih sibuk mencatat beberapa hal. “Ke Acame?” “Ya.” Tata terdiam sejenak. “Boleh, Pak. Saya selesaikan ini dulu.” “Kamu bawa mobil?” “Enggak, Pak,” kata Tata seraya menggeleng kecil. “Nanti saya pulang bisa naik taksi, kok.” “Lo, saya pikir kamu enggak bawa mobil nantinya dijemput suamimu, Ta?” Ucapan itu seolah-olah membuat Tata menyadari sesuatu. Kapan terakhir kali Bhumi menjemputnya? Namun, demi menutupi tanya yang mendadak muncul ini, ia mengukir senyum tipis. “Ya, semisal enggak dijemput Mas Bhumi nanti, saya bisa pulang naik taksi.” Jagad mengangguk saja. “Okelah. Saya tunggu kamu selesai. Satu jam bisa?” Kadang ... bosnya ini itu tak mengenal jeda barang sejenak. Maunya selalu tancap gas. Bukan lagi berjalan, tetapi bersamanya harus siap berlari. Kapan pun dan bagaimanapun caranya; lari seorang Jagad harus bisa ia imbangi. *** Pertemuan dengan pihak Acame tadi berjalan lancar. Mereka mencoba mempelajari apa yang Jagad dan Tata sampaikan di meeting dadakan sore ini. Meski ada sedikit perdebatan, tetapi Jagad tak memberi celah sedikit pun untuk disanggah apa yang ia sampaikan. Karena menurut pria itu, semua prosedur yang ada di ShopaShop, sudah dijalani dengan baik. Tata tak terlalu mengkhawatirkan bagaimana cara bosnya memenangkan pertarungan dengan klien. Secara manfaat, Acame butuh ShopaShop sebagai third party nomor satu di Indonesia sebagai jembatan. Sayangnya, perjalanan kembali ke kantor harus Jagad putar menuju rumah sakit lantaran telepon mendadak dari Merry. Echa kembali histeris. Padahal belum lama sang putri keluar dari rumah sakit. Kondisinya berangsur membaik. Luka di kepala dan tangannya juga sudah mulai mengering. Meski anak itu jauh lebih pendiam ketimbang sebelumnya. Jauh lebih sensitif dari biasanya, lebih memilih mengurung diri, dan tak ingin diganggu. “Tidak baik! Tidak baik!” Jagad menghela panjang. “Echa, ini Daddy.” “Tidak baik! Jahat! Jahat! Berhenti! Tidak baik! Sakit!” Entah sudah berapa kali, pukulan yang Jagad terima dari kepalan tangan mungil milik putrinya. Mata cokelat terang itu bersimbah air mata. Sorotnya kesal dipenuhi amarah. Rambut pendek yang biasanya disemat jepit kupu-kupu, sudah berantakan serta agak lembap di beberapa sisi; berkeringat. “Jahat! Jahat! Semua! Echa! Echa! Sakit!” “Echa,” panggil Jagad lembut. “Ini Daddy, Nak.” “Daddy apa! Kantor. Daddy. Daddy di kantor.” “Daddy di sini, Nak.” Jagad berusaha untuk menatap Echa yang masih tersedu. “Ini Daddy. Dengar suara Daddy, kan?” Gadis itu mulai terlihat tenang, meski matanya terus menatap langit kamar rawatnya, tetapi setidaknya beberapa kali menatap Jagad meski hanya sepersekian detik. “Daddy?” “Iya.” Jagad berkata penuh sabar. Diusapnya pelan pipi yang lembap karena air mata itu. Ia juga meminta Merry memberinya tisu basah. Yang mana dengan sigap, justru Tata yang membantunya. Tata yang terjebak di mobil Jagad tak bisa turun begitu saja. Bertepatan dengan jalur one way di mana mobil tak bisa sembarangan putar arah. Niatnya, begitu tiba di rumah sakit, ia memilih naik taksi untuk kembali ke kantor. Namun, entah kenapa, ia sungguh penasaran lantaran ekspresi Jagad yang gusar sekali sepanjang menuju bangunan yang didominasi cat putih ini. Begitu sang bos memasuki ruang rawat, kegusaran itu langsung ditiadakan. Berganti senyum serta kesigapan yang sangat berbeda dari yang Tata tangkap sejak perjalanan ke rumah sakit ini. “Terima kasih,” Jagad tampak baru menyadari kalau ada Tata di ruang ini. “Mana Merry?” “Sepertinya keluar, Pak.” Jagad mengangguk sekilas. Kembali lagi ia fokuskan diri pada putrinya. “Echa sudah tahu ini Daddy.” Gadis itu terdiam, masih ada sisa isakan di bahunya. “Mau bicara?” Tak ada respons dari Echa. “Peluk Daddy?” “Tidak,” sahut Echa singkat. “Desta ambil Holy. Desta jahat. Echa pukul, Echa sakit.” Jagad tersenyum tipis. “Holy sudah kembali. Merry meminta baik-baik ke Desta. Mungkin Desta pinjam?” “Tidak! Desta ambil!” “Oke,” Jagad menarik Echa dalam peluknya. Ada kemungkinan kalau putrinya diserang histeris lagi. “Kita bicara sambil dengar dongeng?” “Daddy kantor?” Jagad tersenyum tipis sekali. “Daddy temani Echa dulu, ya. Nanti Daddy ke kantor lagi.” Mata Tata tak pernah lepas menatap interaksi dua orang yang ada di depannya. Sekelebatan pembicaraan remeh dengan Yessy serta Peony kembali terngiang. Jadi kabar itu ... benar adanya? Jagad memiliki putri dengan kebutuhan khusus. Namun, bukan itu yang membuat wanita itu tak bisa mengalihkan netranya. Pria yang ia kenal di kantor, berbeda. Sangat. Pria itu tampak sabar sekali menghadapi gadis kecil di sisinya. Ketulusan itu begitu terpancar di sorot mata yang terbiasa tegas dan kaku. Di depan putrinya, Jagad jauh lebih manusiawi ketimbang kesehariannya di kantor. Akan tetapi, tak baik rasanya bagi Tata untuk terus ada di sini. Ia memilih untuk keluar dan pulang saja. Memesan taksi online dan berpamitan lewat pesan pada Jagad. Ketimbang menjeda obrolan yang terkesan seru di sana, rasanya jauh lebih tak etis. Sisa pekerjaannya bisa ia lanjutkan pagi hari. Toh ... mereka berdua terlihat tak ingin terganggu. “Ta,” panggil Jagad yang membuat langkah Tata terhenti. Padahal satu atau dua langkah lagi, ia akan keluar dari ruang rawat itu. “Lo? Kamu mau ke mana?” Tata menoleh sembari tersenyum canggung. “Saya ... pamit pulang, Pak.” “Echa, sebentar, ya. Daddy bicara dengan kawan Daddy dulu.” “Kawan?” tanya Echa dengan mata mengerjap polos. “Kawan Daddy ... kawan Echa.” Jagad tertawa. “Kenalan? Echa tidak takut?” Tata tersenyum kala matanya bertemu dengan sosok yang sejak tadi turut ia perhatikan. “Hai,” sapa Tata terlebih dahulu. Kakinya juga kembali ia langkahkan mendekat dan mencoba untuk menyejajarkan tinggi tubuhnya dengan sang gadis kecil. Echa sendiri menatap wanita itu dengan pandangan tak terlalu fokus, tetapi ia menyadari wanita itu orang asing dalam hidupnya. “Siapa namanya?” tanya Tata sembari mengulurkan tangan. Tak pernah ia duga kalau .... “Echa!”
Tambahkan ke Perpustakaan
Joyread
UNION READ LIMITED
Room 1607, Tower 3, Phase 1 Enterprise Square 9 Sheung Yuet Road Kowloon Bay Hong Kong
Hak cipta@ Joyread. Seluruh Hak Cipta