Bab 10
Tata bersandar di tepi ranjang. Kamarnya baru saja diterpa angin puting beliung. Meja rias yang semula rapi, sudah tak keruan lagi letaknya. Koleksi make up serta botol parfumnya mengotori lantai. Seprai ranjang, sudah amburadul. Bantal serta guling pun isinya mencuat ke mana-mana. Begitu pula lemari pakaian miliknya, hampir seluruh isinya berserak di lantai. Ia sendiri tak tahu, barang apa saja yang pecah di sana.
“Aku pastikan kamu menyesal melakukan ini, Ta.”
Ucapan itu sedikit mengusik Tata. Sampai sosok pria yang masih berlabel suaminya itu pergi meninggalkannya dengan dua koper besar, ia masih bertahan dalam kedataran wajahnya. Tak akan ia merendahkan diri atau meminta maaf telah mengusir Bhumi. Sudah cukup baginya bertahan.
Namun, tak lama berselang, ia pun luruh.
Menangis sejadi-jadinya. Berteriak macam orang gila. Memaki serta menumpahkan segala amarah yang ia tahan sejak duduk berempat—ah, rasanya bukan diawali beberapa jam lalu. Mungkin amarahnya telah lama bersemayam di hati. Baru kali ini ia bisa memuntahkannya dengan bebas. Termasuk memorak-porandakan kamarnya sebagai salah satu bentuk pelampiasan.
“Kamu itu jangan mengeluh terus, Ta. Coba sesekali turuti Ibu. Kamu sendiri, kan, yang bilang beruntung akhirnya bisa punya Ibu?”
Kala itu Tata tersenyum tipis dan berusaha untuk menekan rasa tak sukanya pada sikap Rieka, sang mertua. Ia pikir, konyol rasanya kalau di hari libur kerja ia tetap harus berkunjung ke rumah mertuanya. Kalau sesekali, mungkin tak jadi soal. Namun, ini hampir setiap waktu liburnya.
Awalnya tak jadi soal, tetapi makin ke sini, ia makin kelelahan. Dirinya tak bisa beristirahat dengan baik sementara pekerjaan di rumah juga masih bertumpuk. Bhumi pun tak mau membantunya barang sedikit. Tata ingin ada seseorang yang membantu di rumah, sang suami melarangnya. Katanya harus berhemat.
“Apa kurangku, Bhumi?!” maki Tata sembari melempar bantal, mengacak selimut yang telah rapi terlipat. “Apa!”
“Ta, Nilam mau kursus di salon. Aku janji membiayainya.”
Tata terperangah. “Tapi, Mas, uangnya memang ada?”
“Ada, lah.” Bhumi tersenyum tipis. “Aku baru dapat proyek.”
“Kamu bilang kita harus hemat, Mas.”
“Hemat bukan berarti pelit dengan keluarga aku, kan, Ta. Lagian, ya, kita berdua ini kerja. Nilam juga adik kamu, kan? Dia juga pengin punya kegiatan ketimbang di rumah aja.”
Tata bingung jadinya. “Kenapa Nilam enggak melamar kerja di kantoran saja? Percuma kita kuliahkan dia, Mas.”
Bhumi melihat Tata dengan sorot tak terima. “Lalu yang jaga Ibu siapa? Kamu? Kamu aja kerja, kok.”
“Ya, tapi, kan, bisa nanti untuk kursus. Toh, sama juga Nilam nantinya punya kegiatan di luar rumah. Yang jaga Ibu siapa?”
“Sudahlah, kamu enggak perlu banyak ikut campur, Ta. Ini keluarga aku. Aku yang biayai mereka. Bukan kamu!”
Tata meremas ujung dressnya kuat-kuat.
“Dia biayai keluarganya?” Tawanya memenuhi kamar. “Yang paling banyak itu aku! Aku!”
Dadanya sesak sekali.
“Kamu itu jadi istri yang hormat dan ajeni suami dengan baik, Ta. Jangan banyak bantah. Bantu suami juga. Jangan mau enaknya aja.”
Ucapan itu bukan sekali dua kali Tata dengar. Sungguh, ia selalu memimpikan memiliki seorang ibu dan saudari perempuan. Ia hidup sendiri sejak masih berusia 5 tahun. Mengenal Bhumi yang memiliki keluarga nyaris utuh, meski hanya mengenal ayah mertuanya dua tahun setelah mereka menikah, Tata bersyukur. Saking bersyukurnya—tak peduli betapa sering mereka memperlakukannya dengan buruk— selama bisa membantu, pasti akan ia bantu.
Ia tak menyangka, kian hari perlakuan mereka persis seperti apa yang Jenni katakan.
Sapi perah.
Berulang kali Tata menyanggah, tetapi ucapan Jenni tak terbantah. Bukan satu atau dua kali entah Nilam atau mertuanya meminta uang tanpa peduli bagaimana kondisinya. Yang mereka tahu, Tata bekerja, Bhumi bekerja. Punya uang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kalau wanita itu mengeluh, sang suami bukannya membela malah menyudutkan.
“Jangan perhitungan sama keluarga aku, Ta,” katanya begitu.
“Aku perhitungan?” tanya Tata dengan decak miris. “Kapan aku memperhitungkan apa yang sudah aku keluarkan?” Ia mengusap lelehan air mata yang kembali membasahi pipinya. “KAPAN?”
Isakannya makin jadi.
“Aku cinta sama kamu, Bhumi. Cinta banget.” Tata terduduk di lantai. Dinginnya keramik yang menyentuh kakinya tak ia pedulikan. “Saking cintanya, aku jadi buta akan semua hal yang kalian lakukan ke aku.”
Tata sesak sekali. “Dan sampai rasanya juga, semua perlakuan kalian bikin aku mati rasa.”
Ia menengadah pelan, menatap langit-langit kamarnya yang cukup terang. “Kurang aku apa, sih?”
“Kapan Mbak hamil? Ayolah. Pasti Mas Bhumi dan Ibu sudah kepengin banget Mbak hamil. Jangan nunda terus.”
“Aku enggak nunda, Nilam,” kata Tata dengan senyum tipis.
“Ya, tapi Mbak sibuk banget, sih, kerjanya. Kapan bisa senangi suami kalau gitu?”
Ucapan itu ia dengar enam bulan setelah Nilam menikah. Masih dalam suasana pengantin baru, yang rona bahagianya terus bersemu di wajah adik iparnya itu.
“Kayak aku dong, Mbak. Sudah hamil. Masa Mbak lama banget, sih?”
Tata berusaha untuk kembali tersenyum meski hatinya perih sekali.
“Memang maunya aku seperti ini?”
Tanpa aba-aba, ia lempar salah satu botol parfum dekat kakinya pada cermin yang ada di lemari. Bunyi pecahannya begitu memekak. Tata yakin, pecahan yang berserakan bisa melukainya kapan saja. Namun, sungguh, ia tak peduli. Rasa pedulinya sudah tak ada lagi.
Kini Tata termangu. Napasnya juga sedikit terengah. Ia juga merasa tenggorokannya agak kering. Matanya pun pastinya bengkak karena selain berteriak, juga juga menangis tanpa henti. Kendati demikian, sekali lagi matanya mengedar memperhatikan sekitarnya yang kacau balau. Kemudian, terhenti di jam yang tergantung di salah satu sudut kamar.
Jarum di sana menunjuk pada angka dua dini hari.
Tata mendesah pelan. Berusaha bangkit tanpa berniat sedikit pun untuk merapikan kamarnya. Ia memilih masuk ke kamar lainnya. Namun, langkahnya terhenti tepat di pintu ruangan yang berada tak jauh dari kamar utama. Kamar yang biasanya ditempati sang ibu mertua saat menginap di rumah ini.
“Ck!” Ia pun mengurungkan niatnya. Berjalan sedikit limbung, tetapi terus saja melangkah sampai kakinya membawanya ke sofa.
“Lebih baik di sini,” katanya sembari merebahkan diri. “Kalian semua keterlaluan! Terutama kamu, Bhumi,” lirihnya.
Tata sedikit menekuk diri di sofa. Berusaha memejam padahal pening melandanya dengan kuat. Rasa sakitnya ia abaikan. Dingin yang mulai merayapi tubuhnya juga tak ia pedulikan. Tubuhnya butuh tidur.
Esok ... ia masih harus menghadapi dunia.
***
“Pagi, Ta,” sapa Yessy yang tampak terkejut saat mereka bersemuka. “Kamu kenapa, Ta?”
“Aku?” tanya Tata dengan kerjap bingung. “Aku kenapa?”
“Wajahmu itu, lo, Ta. Pucat sekali. Sakit?”
Tata berusaha untuk menampilkan senyum. Padahal sesaat sebelum berangkat, ia memastikan sekali lagi tak ada yang salah dengan penampilannya. Meski harus bekerja ekstra mencari concealer untuk menutupi mata panda karena kurang tidur semalam, tetapi dirinya merasa tak ada yang salah.
Kenapa Yessy begitu teliti?
“Enggak, kok.”
“Syukurlah. Aku pikir kamu sakit. Lesu banget. Belum sarapankah?”
“Kurasa begitu,” sahut Tata singkat. Ia sedikit terhuyung lantaran pusing yang menderanya belum jua pergi.
“Ta?” Yessy segera tanggap. Dipegangi bahu rekan kerjanya itu. “Kamu sakit?” tanyanya sekali lagi.
“Enggak.” Pelan, Tata menyingkirkan tangan Yessy. “Aku baik-baik saja. Terima kasih.”
Meski begitu, Yessy tetap tak percaya. Selama mengenal Tata, baru kali ini ia melihat sosok wanita yang selalu tampil elegan ini tampak kacau. Ingin bertanya lebih jauh, tapi ia mengurungkan niatnya. Mereka berpisah tepat di koridor menuju ruangan masing-masing.
Tata berusaha sekali meyakinkan Yessy kalau dirinya baik-baik saja. Padahal ia mulai kehilangan keseimbangan. Lantai tempatnya berpijak mulai terasa bergetar, sampai-sampai dirinya harus memegangi tembok di sisi kanannya agar tak limbung. Beruntung, ia masih bisa berkendara dengan selamat sampai di kantor.
Entah bagaimana caranya, wanita itu sendiri tak tahu. Yang harus ia pikirkan sekarang adalah bagaimana melalui hari ini dengan baik.
Kenapa ia tak mengambil cuti saja, sih?
Ah ... itu bukan dirinya sekali. Masalah yang tengah ia hadapi jangan sampai mengganggu konsentrasi kerjanya. Masalah ini harus disingkirkan, karena pekerjaan yang ia lakoni harus dijalankan dengan profesional. Ya, benar. Ia harus profesional. Mungkin secangkir teh manis hangat bisa mengurangi pening yang menderanya.
“Pagi, Ta,” sapa Jagad ketika melihat Tata sedikit bersandar di tembok.
Tata mengerjap, lalu menoleh dan berusaha untuk tersenyum. Mendengar suara Jagad, jangan sampai bosnya tahu kalau ia dalam keadaan seperti ini.
“Pagi, Pak.”
Hanya itu yang bisa Tata katakan. Karena setelahnya, suara Jagad meneriaki namanya, tetapi tak bisa ia balas. Yang ada, kegelapan yang lebih dulu menghampirinya.