Bab 11

Jenni tiba di rumah sakit secepat yang ia bisa. Sebenarnya sejak kemarin hatinya sudah tak keruan. Sorot mata Tata tak bisa membohonginya; sahabatnya itu sangat kecewa. Sialnya, Jenni tak bisa melontarkan kekesalan yang ia punya pada Bhumi. Tuhan! Pria itu sungguh menyebalkan. Kenapa pria model seperti Bhumi bisa diberi napas panjang dan hidup di dunia ini? Tak berguna. “Anda ... Bu Jenni?” tanya Jagad hati-hati begitu melihat seorang wanita tergopoh menghampiri ruang rawat Tata. Ia tak bisa meninggalkan sang wakil manajernya begitu saja. Agak kebingungan juga lantaran ponsel Tata terkunci dan nomor kontak darurat yang ia dapat dari pihak HRD, sama sekali tak merespons. Padahal nomor itu adalah nomor suaminya. Dalam perjalanan ke rumah sakit tadi, nama Jenni muncul di layar ponsel Tata. Jagad jelaskan apa yang terjadi dan sekarang di sini lah mereka. “Benar,” Jenni tersenyum kecil, “Pasti Pak Jagad?” Jagad hanya mengangguk sekilas serta menerima uluran tangan Jenni. Berkenalan singkat, pria itu mengutarakan kondisi terakhir Tata. Dokter bilang, Tata mengalami dehidrasi dan kelelahan yang cukup parah. Pria itu sebenarnya penasaran kenapa bisa Tata alami hal seperti ini. Ditambah beberapa kali ia juga mendengar, racauan wakil manajernya yang pelan sekali, tetapi mampu membuatnya berkali-kali mengerutkan kening. “Jahat kalian.” “Terima kasih banyak dan maaf merepotkan Bapak.” Pemikirannya tentang Tata pun buyar. “Enggak jadi soal.” Jagad kembali menatap wanita yang kini terbaring lemah ditemani selang infus di sisi kirinya. “Kalau begitu saya pamit?” “Iya, Pak. Silakan. Tata saya yang urus nantinya.” “Kalau bisa segera hubungi keluarganya. Jangan sampai mereka enggak tahu kondisi Tata. Untuk administrasi sudah diurus menggunakan asuransi kantor.” Jenni hanya tersenyum simpul. “Sekali lagi terima kasih.” Ia biarkan pria bersetelan rapi itu keluar ruang rawat sahabatnya. Sampai pintu itu melenyapkan sosok Jagad, barulah Jenni menghela panjang. “Mana bakalan keluarganya peduli,” decaknya. “Astaga, Ta!” Ia pun segera mendekati sahabatnya. “Jangan bikin aku khawatir. Harusnya semalam aku temani kamu, ya, Ta.” Meski hanya ditemani bunyi mesin pendingin ruangan, tetapi bagi Jenni tak jadi soal. Ia menatap sahabatnya dengan sorot sendu. Tak menyangka kalau inilah titik terendah dari seorang Semesta. Sepanjang mengenalnya, Tata tak pernah mengeluh. Wanita itu hanya tersenyum menanggapi segala ocehan Jenni yang berkisar mengenai keluarga suaminya. “Mau sampai kapan kamu seperti ini, Ta?” Jenni sering kali mempertanyakan hal itu. Namun, Tata seperti tak terlalu peduli. Sahabatnya itu hanya menarik sudut bibirnya tipis sekali dan berkata, “Entah sampai kapan, Jen. Padahal inginku sederhana sekali. Hargai aku. Itu saja.” Mengingat obrolan mereka membuat Jenni mendesah frustrasi. Sementara itu, Tata merasa pusing yang sejak semalam ia alami, belum jua berkurang. Malah seluruhnya terasa gelap. Yang dirinya ingat, ada Yessy yang menegurnya, lalu ... Jagad. Benar. Jagad. Bosnya. Ia pun membuka mata dengan segera. “Aduh!” lirihnya kesakitan lantaran tangannya terasa perih juga kepalanya yang makin pening. Sosok yang pertama kali ia lihat adalah Jenni. “Kamu sudah sadar, Ta?” “Aku ... di mana?” tanya Tata kembali memejam. Berusaha meredakan pening yang mengganggunya. “Aku panggil dokter dulu, Ta. Yang jelas ini bukan kamarmu.” Tata meringis tipis. Dibiarkan Jenni pergi dari sisinya yang ditandai dengan bunyi ketuk sepatunya yang bercumbu dengan lantai. Benar yang sahabatnya katakan, ia ada di rumah sakit. Selain selang infus, kamar yang didominasi warna putih ini pun salah satu buktinya. Pun aroma karbol serta obat-obatan yang khas sekali. Tak lama berselang, dokter serta perawat datang. Memeriksa keadaan Tata dan memastikan wanita itu mendapatkan perawatan terbaik. Wanita itu diam saja mendengar semua ocehan dokter. Tak satu pun ia bantah. Termasuk, “Ibu harus beristirahat yang cukup, ya.” “Aku kenapa?” tanya Tata sesaat setelah dokter keluar dari ruang rawatnya. “Pingsan, Ta. Apa lagi?” “Di kantor?” Jenni mengangguk. “Yang bawa kamu ke sini Pak Jagad.” Ia pun membenahi selimut Tata. “Makan, ya, Ta. Aku suapi.” “Enggak, Jen.” Wanita itu menghela pelan. “So ... kenapa kamu bisa pingsan? Apa yang Bhumi lakuin sama kamu di rumah, Ta?” Tata tahu maksud pertanyaan Jenni. Matanya menatap lekat sang sahabat, lalu tersenyum miris. “Enggak ada. Malah bilang kalau dia benar-benar selingkuh.” “Bajingan!” Memang Bhumi itu bajingan! “Malang betul nasib aku, ya, Jen.” Jenni menggeram kesal. “Ya enggaklah. Kenapa malang? Artinya Tuhan masih baik sama kamu. Kamu dikasih lihat betapa berengsek suami kamu itu, Ta. Selama ini apa kamu dengar ucapan aku mengenai Bhumi? Keluarganya? Enggak, Ta.” Jenni berusaha menekan emosinya. Kasihan kalau sampai Tata makin kepikiran dengan apa yang ia ucapkan. Namun, bagaimana lagi? Ia memang benar-benar sudah habis sabarnya melihat apa yang Bhumi lakukan pada Tata. “Itu yang kubilang mati rasa, Jen.” Bibirnya yang agak pucat berusaha sekali ia paksa untuk tersenyum. “Macam ... aku tinggal tunggu waktu di mana semuanya terjadi.” Jenni terdiam begitu juga Tata. “Sakit banget rasanya, Jen.” Tata mulai terisak. Bahunya pun mulai gemetar. Air mata yang ia pikir sudah mengering, mulai kembali menganak sungai di pipi. Direngkuhnya tubuh Tata dengan lembut oleh Jenni. Dibiarkan bahunya basah karena tangis sahabatnya. Juga ia beri usapan lembut untuk memberikan semangat. Selama mengenal Tata, sebenarnya sang sahabat ini bukan wanita bodoh. Rasa tak teganya sangat besar, membuat sahabatnya ini sering dimanfaatkan. Sialnya, dia juga mendapatkan keluarga baru yang tak tahu diuntung. Makanya Jenni berdoa, semoga Tata tak lemah. Apalagi Bhumi sudah sangat keterlaluan menurutnya. “Apa yang akan kamu lakukan, Ta?” tanya Jenni pelan setelah merasa Tata sudah jauh lebih tenang. “Cerai,” sahut Tata pelan. Meski matanya memerah karena tangis barusan, suaranya juga gemetar, tetapi untuk kali ini Tata memiliki satu keyakinan. Sudah cukup sampai di sini. Mendengar hal itu membuat Jenni melebarkan senyum. “Aku dukung kamu, Ta.” Ucapan Jenni barusan membuat Tata tersenyum masam. Sembari mengusap sisa air matanya, ia pun berkata, “Biasanya kalau ada yang mau cerai selalu dibilang, dipikir dulu. Tapi kamu malah dukung aku, Jen.” Jenni berdecak. “Cerai untuk kamu itu yang terbaik, Ta. Tuhan juga tahu, kok, kenapa kamu bercerai. Masa iya kamu hidup sampai ujung usia diperlakukan seperti ini terus? Capek, Ta. Kamu bukan robot. Kamu manusia, perempuan pula. Punya batas.” Meski dengan banyak penekanan di tiap kata-katanya, Jenni menggenggam kuat tangan Tata yang terbebas dari selang infus. “Mungkin kalau masalah ekonomi atau bantuanmu ke keluarganya Bhumi masih bisa ditoleransi, tapi selingkuh?” Tata menelan ludah. “Aku merasa Bhumi main api enggak dalam waktu dekat ini, Ta. Enggak tahu kenapa, feeling aja,” tukas Jenni yang mana membuat Tata mengangguk sekilas. “Bhumi bilang sudah dua tahun belakangan ini.” Ucapan itu membuat Jenni makin geram. “Dia ngaku?” Lagi-lagi Tata mengangguk. “Gila memang orang itu!” Jenni tak habis pikir. “Buatku, Ta, pernikahan yang sudah dibumbui perselingkuhan, enggak ada kompromi lagi. Bahkan cinta yang katanya ada di sana, sudah lenyap. Semua sudah selesai.”
Tambahkan ke Perpustakaan
Joyread
UNION READ LIMITED
Room 1607, Tower 3, Phase 1 Enterprise Square 9 Sheung Yuet Road Kowloon Bay Hong Kong
Hak cipta@ Joyread. Seluruh Hak Cipta