Bab 2 Nikahi nona besar keluarga Harrison
Pria di dalam mobil itu menunjukkan wajahnya namun dia tidak terlihat seperti kedua kakak laki – lakinya seperti yang dikatakan oleh Felicia. Karena dia adalah pria paruh baya botak dengan sepasang kacamata berbingkai hitam di hidungnya.
Mata Felicia menatap dengan kecewa dan kepala kecilnya terkulai.
Pria itu memaki dengan beberapa kata tetapi dengan cepat Vienna meminta maaf kepadanya dan mengatakan bahwa dia sudah mengenali orang yang salah.
Sambil menggendong Felicia lalu Vienna bekata, “Felicia, sudah yah, kita pulang.”
...
Di tengah malam, Vienna mengendarai Yaris bekasnyan dan berhenti di depan pintu masuk rumah sakit Sumber Sehat dengan terburu – buru.
“Hei, jangan parkir di sini!”
Tanpa mempedulikan si satpam yang menghalanginya, Viennya segera menggendong putri kecilnya yang duduk di kursi di sebelah supir lalu masuk ke dalam rumah sakit dengan tanpa alas kaki.
Saat ini dia tak bisa mendengarkan apapun dan tak bisa melihat apapun. Seluruh benaknya hanya berpikir untuk mencarikan pertolongan pertama untuk putrinya!
“Dokter, dokter!”
Dia berlari menuju ke UGD dengan putrinya yang di gendong di lengannya. Dengan gemetaran di sekujur tubuhnya dia berkata, “Tolong selamatkan putriku, cepat. Dia demam sampai kejang – kejang!”
Air matanya berderai jatuh saat dia berbicara.
Dokter buru – buru mengambil anak yang sedang pingsan itu lalu berkata, “Tunggu di luar, kami akan memberikan pertolongan pertama untuknya.”
Dengan cepat dokter membuat proses pertolongan pertama untuk anak itu dan si perawat yang berada di samping membawanya keluar dari ruang UGD lalu berkata, “Kau pergi selesaikan proses administrasinya dulu. Ini dokumennya. Dia harus dirawat di rumah sakit karena penyakin ini atau mungkin dirawat di ruang ICU.”
Vienna mengangguk – angguk dan berkata, “Oke, oke, tolong kalian selamatkan dia.”
Tidak boleh sampai terjadi apa – apa pada Felicia. Bagaimana kalau demam itu merusak otaknya? Saat pulang dari kota Clarke dia masih tampak baik – baik saja namun tak disangka malamnya dia malah demam.
Vienna sama sekali tidak berani membayangkannya. Dia berjalan ke loket pembayaran sambil menangis.
Pada saat yang sama, terdengar suara derap langkah kaki yang cepat dari pintu rumah sakit.
Sekelompok pria berjas dan sepatu kulit melangkah maju sementara pria yang berada di paling depan berpostur tinggi dengan ekspresi paling dingin.
Dia mengenakan mantel hitam yang dikancingkan hingga ke atas dengan cermat, yang semakin menambah aura dinginnya
Paras wajahnya yang tegas dengan mata gelapnya yang tampak sedikit terangkat memperlihatkan temperamennya yang keras.
Bibirnya yang tipis itu dipahat dengan sempurna dan seluruh tubuhnya memancarkan keagungan dan kemuliaan yang seolah – olah tidak ada satupun orang yang berani mendekatinya.
Kemanapun dia lewat, orang – orang pasti akan memberi jalan untuknya.
Vienna bergegas maju dengan kepala tertunduk, dia sama sekali tidak memperhatikan orang yang ada di depannya.
Tiba – tiba, kepalanya terasa sakit. Dia menabrak sebuah dinding daging yang keras.
“Aah!!”
Dia kehilangan keseimbangannya dan jatuh ke satu sisi.
Aroma yang familiar menyeruak masuk ke hidungnya dan secara refleks si pria itu mengulurkan tangannya yang panjang dan memeluk pinggangnya yang ramping untuk mencegahnya mencium lantai.
“Terima kasih…”
Vienna mengangkat kepalanya. Tatapannya bertemu dengan mata hitam yang tegas dan dingin itu. Untuk beberapa saat dia membeku.
Pada musim dingin, dia tidak beku karena cuaca namun dibuat beku oleh tatapan matanya. Apakah orang ini terbuat dari es?
Brian memeganginya dan meluruskannya agar dia bisa berdiri dengan stabil kemudian dengan tanpa ragu dia mengingatkannya, “Nona, tolong perhatikan jalan saat berjalan.”
Setelah selesai berbicara lalu dia melanjutkan langkahnya ke depan dan hanya menyisakan punggungnya yang lebar saja.
Vienna tercengang. Sampai si pria itu berjalan menuju lift, dia baru seakan tersadar kembali ke akal sehatnya dengan enggan lalu menoleh dan mengatakan sesuatu.
“Pak, kau juga tolong perhatikan jalannya yah.”
Jelas – jelas dia yang menabraknya, kan? Benar – benar pria yang dominan.
Pria yang masuk ke lift itu mendengar ucapannya dan menoleh kepadanya.
Baru pada saat itulah dia memperhatikan bahwa si wanita ini mengenakan piyama kuno dengan rambutnya yang berantakan serta matanya yang memerah dan bengkak karena menangis.
Dia benar – benar tampak menyedihkan sekali.
Dia melihat ke bawah dan mendapati wanita itu bertelanjang kaki, jari – jari kakinya juga memerah karena kedinginan serta jemarinya juga tampak mengkilat karena sedikit tergores.
Pintu lift tertutup secara perlahan, yang akhirnya benar – benar menghalangi pandangannya.
Brian menarik kembali tatapannya dan langsung menuju bangsal VIP yang ada di lantai sepuluh.
Enam tahun lalu dia menghabiskan malamnya dengan seorang wanita kemudian pada keesokan paginya, dia menerima dari kepala pelayan di rumahnya bahwa kakeknya sakit parah dan mengalami koma setelahnya. Dia sudah mengundang banyak sekali dokter terkenal di dunia namun tidak ada satupun dokter yang bisa menyembuhkannya.
Dan malam ini, si lelaki tua itu tiba – tiba sadar kembali sehingga Brian segera bergegas ke rumah sakit.
Di depan pintu bangsal tampak seorang pria kurus dan tinggi yang mengenakan jas putih. Dia adalah, Gerald Subroto, temannya Brian.
“Brian, lelaki tua itu benar – benar sudah sadar. Dia terus mengatakan ingin bertemu denganmu.”
“Terima kasih atas kerja kerasmu.”
Brian mengangguk sedikit lalu berkata kepada temannya itu, “Aku akan pergi menemui kakekku.”
Lalu dia mendorong dan membuka pintunya kemudian masuk ke dalam bangsal. Tubuh kakeknya tampak dipenuhi dengan berbagai macam selang.
Saat dia melihat seseorang datang lalu dengan sungguh – sungguh dia menatapnya lalu perlahan - lahan dia mengangkat tangannya dengan susah payah.
Brian bergegas menghampirinya dan menggenggam tangan kakeknya sambil berkata dengan nada bergetar karena merasa senang, “Kakek, akhirnya kau sudah bangun.”
Dia melihat kakeknya mengendurkan genggamannya dan menunjuk ke mulutnya membuat Brian mengerti bahwa kakeknya memiliki sesuatu yang ingin dia katakan jadi dia mendekatkan telinganya.”
Dengan susah payah kakek Prescott berkata, “Nikah, Menikahlah dengan putri sulung dari keluarga Harrison… nona Vienna Harrison…”