Chapter 11 Kembali Berbaikan
Pagi ini, aku bergegas menuju ruang guru ketika Bu Misaki meminta bantuanku untuk mengumpulkan buku tugasku dan teman-teman sekelas ke ruangannya. Aku berjalan seorang diri di koridor sembari memeluk tumpukan buku tugas dengan kedua tangan. Tak ada siswa yang berlalu lalang di sini karena semua siswa sedang berada di kelas masing-masing untuk mengikuti pelajaran.
Dalam suasana hening mencekam ini, aku dikejutkan begitu menatap ke depan. Ketika tiba-tiba aku nyaris berpapasan dengannya. Dari kejauhan aku melihat Kyo sedang berjalan. Aku yakin dia akan pergi ke kelasnya karena arah ini menuju ke kelasnya. Dia berjalan seorang diri sambil sesekali memandang kelas-kelas yang dia lewati. Saat dia memandang lurus ke depan, aku yakin dia menyadari kehadiranku.
Langkah demi langkah membuat jarak di antara kami semakin terkikis habis. Tinggal sedikit lagi jarak kami, maka kami akan berpapasan. Detak jantungku yang cepat dan kegugupan yang selalu kurasakan setiap kali melihat Kyo, kini kembali kurasakan. Aku menundukkan kepala, menatap ke arah bawah ketika tiba saatnya kami berpapasan. Aku berharap dia akan menyapaku. Tetapi ...
Dia melintas begitu saja tanpa memedulikanku. Seakan-akan aku tak tampak di matanya. Seolah dia tak pernah mengenalku. Sungguh ... sungguh rasa sakit ini tak pernah kurasakan sebelumnya. Rasa sakit di dalam hati yang membuat air mataku mengalir dengan sendirinya. Sekarang aku mengakui kebenaran perkataan Kak Akane. Aku ... sepertinya aku memang jatuh cinta padanya karena tak pernah kusangka, rasanya akan sesakit ini saat Kyo mengabaikanku.
***
Begitu jam istirahat tiba, aku bergegas menuju kelas Kyo. Aku memberanikan diri menatap ke dalam kelas Kyo yang hanya beberapa siswa laki-laki saja yang masih berada di dalamnya. Sosok yang kucari sama sekali tak kutemukan di dalam kelas. Kemudian aku melihat seseorang menghampiriku dan aku sangat senang melihatnya.
“Hai, Hanna. Kau pasti mencari Kyo,” ucap pria itu yang tidak lain adalah Siky, sahabat karib Kyo.
Aku mengangguk malu. “I-Iya. Dimana Kyo?” tanyaku antusias.
“Pasti kau tahu tempat favoritnya menghabiskan waktu istirahat, kan?”
Aku teringat sebuah tempat begitu mendengar pertanyaannya ini. Aku berlari bahkan sebelum mengucapkan terima kasih pada Siky, aku hanya tidak sabar ingin segera bertemu dengan Kyo dan mengatakan semua yang ingin kukatakan padanya.
Setibanya di rooftop yang kuyakini merupakan tempat favorit Kyo, aku pun menatap sekeliling mencari sosoknya. Aku berhenti mencari ketika melihat sepasang kaki terhalang tembok sedang terlentang di lantai, aku pun dengan berani menghampirinya.
Betapa senangnya aku begitu melihat Kyo sedang berbaring dengan satu tangan diletakkan di atas wajah sehingga menutupi kedua matanya. Dia pasti sedang tertidur. Aku tidak ingin membangunkannya sehingga aku memutuskan untuk menunggunya bangun. Aku mendudukan diri di sampingnya, menunggunya bangun sendiri dengan sabar.
Satu jam berlalu sejak aku duduk menunggu Kyo bangun dari tidurnya. Bahkan suara bel yang menandakan waktu istirahat berakhir pun terdengar dengan jelas. Namun Kyo masih tertidur lelap, sebenarnya aku tidak ingin terlambat memasuki kelas tapi keinginanku untuk berbaikan dengan Kyo membuatku tetap bertahan menunggunya.
Penantianku berakhir ketika dia akhirnya menyingkirkan tangannya dari wajah sehingga wajah tampannya kini terekspos jelas di depanku. Seperti biasa jantungku pun berpacu dengan cepat saat ini. Kyo bangkit dari posisi tidurnya dan menatap ke arahku dengan raut datar, satu alisnya terangkat naik mungkin heran melihat keberadaanku di sini.
“Sedang apa kau di sini?” Tanya Kyo datar dan dingin.
Aku menundukan kepala karena tak berani menatap wajahnya. “Aku menunggumu.”
“Kenapa kau tidak membangunkanku?”
“Tidurmu pulas sekali. Aku tidak enak membangunkanmu.”
Kyo tiba-tiba berdiri dan sepertinya dia berniat meninggalkanku, namun dengan cepat aku memegang tangannya. Detik itu juga dia menghentikan niatnya untuk pergi.
“Ada apa?” tanyanya masih dengan raut wajah datar.
Tiba-tiba saja aku sangat gugup, tapi dalma situasi seperti ini tidak ada jalan bagiku untuk mundur. Karena itu aku tetap mengatakannya meski kegugupan luar biasa menghantam hatiku hingga jantung ini rasa-rasanya siap melompat keluar dari dalam dada.
“Aku minta maaf untuk perkataanku hari itu. Aku sangat menyesal, tidak seharusnya aku mengatakan itu padamu. Padahal aku tahu semua itu kau lakukan untuk membantuku. Aku juga menarik kata-kataku waktu itu, aku ingin kau tetap menjadi pelindungku.” Akhirnya aku berhasil mengatakan semuanya secara bertubi-tubi dan tanpa jeda.
Kyo hanya diam dengan tatapan yang tertuju padaku. Aku sangat khawatir saat ini, aku takut dia tidak bersedia menerima permintaan maafku ini.
“Bukankah sekarang teman-temanmu sudah bersikap baik padamu? Seharusnya kau sudah tidak membutuhkan pelindung lagi.”
Aku menggeleng tegas, tidak menyetujui ucapannya, “Itu tidak benar. Aku sangat membutuhkanmu, Kyo. Aku merasa tenang jika kau jadi pelindungku,” ucapku dengan kepala tertunduk. Jika boleh jujur sebenarnya sekarang aku sedang menahan malu luar biasa.
Kyo melepaskan genggaman tanganku padanya, aku pikir dia akan pergi dan tidak mau menerima permintaan maafku. Namun aku segera menepis pemikiranku itu ketika kurasakan tangannya menyentuh daguku. Dia menengadahkan wajahku sehingga kini aku menatap wajah tampannya.
“Benarkah ini maumu?”
Aku mengangguk dengan semangat menjawab pertanyaannya.
Kyo tersenyum tipis yang menyebabkan lututku lemas bagai jelly sekarang.
“Baiklah jika memang itu maumu. Tapi berjanjilah, mulai sekarang kau akan menatapku jika sedang bicara denganku. Aku tidak suka melihatmu menundukan kepala di depanku seakan-akan kau tidak ingin melihatku.”
Itukah alasannya menengadahkan kepalaku karena dia tidak suka jika aku berbicara dengannya sambil menunduk? Aku baru menyadari hal ini.
“Jadi kau sudah tidak marah lagi padaku, kan?” tanyaku dengan perasaan was-was. Tapi tetap harus kupastikan karena aku tidak mau salah menerka-nerka sikapnya yang tiba-tiba berubah hangat ini. Dia melepaskan daguku dan memasukkan tangannya ke saku celananya.
“Sejak awal aku tidak pernah marah padamu.”
“Bohong! Buktinya ketika kita bertemu di Cafe sekolah dan ketika kita berpapasan tadi pagi, kau sama sekali tidak menyapaku.”
Kyo mengernyitkan dahi, “Bukankah kau yang memintanya? Kau menyuruhku untuk menjauhimu dan kau pun tidak ingin melihatku apalagi melibatkan diriku dalam urusanmu.”
Aku teringat semua yang kukatakan padanya hari itu, sungguh aku sangat menyesali semua perkataan bodoh itu.
“Syukurlah jika kau tidak marah padaku, Kyo,” kataku sembari berusaha menyunggingkan seulas senyuman untuknya.
“Kau harus banyak tersenyum seperti ini. Kau tahu, kau terlihat manis jika sedang tersenyum.”
Untuk kesekian kalinya aku merasa jantungku ingin melompat keluar dari dada. Mungkinkah ini sebuah pujian? Sebuah pujian yang untuk pertama kalinya dia berikan padaku.
Kyo melangkah pergi tanpa mengajakku setelah itu, aku pun kesal dengan sikapnya ini dan bergegas mengejarnya. “Kau mau kemana?” tanyaku ketus.
“Tentu saja ke kelas. Memangnya kau tidak ingin mengikuti pelajaran?”
Aku seketika teringat pada beberapa pelajaran yang masih harus aku ikuti hari ini. Aku jelas terlambat karena bel tanda masuk sudah berbunyi sejak tadi. Aku harap tidak akan mendapatkan hukuman dari guru yang pastinya sedang mengajar di kelasku saat ini.
“Jika gurumu menghukummu, beritahu aku. Aku akan membantumu.”
Rasa cemas itu pun lenyap seketika, benar juga, aku memiliki seorang pelindung jadi tidak seharusnya aku takut pada apa pun lagi. Aku mengangguk penuh semangat, tak akan kutolak kebaikannya ini.
“Oh, iya. Sepulang sekolah nanti, aku akan menunggumu di kelasku.”
Tanpa menunggu jawaban dariku, dia melanjutkan langkah kakinya. Meski aku tak paham alasan dirinya menyuruhku untuk mendatangi kelasnya sepulang sekolah nanti, aku tak berani bertanya lebih jauh lagi. Aku hanya mampu mengikutinya tanpa mampu menanyakan maksud perkataannya meskipun sebenarnya aku sangat penasaran saat ini.
***
Seperti permintaan Kyo saat di rooftop siang tadi, begitu terdengar suara bel tanda pelajaran hari ini berakhir, aku segera menuju kelas Kyo.
Teman-teman sekelas Kyo, satu per satu keluar dari kelas. Saat melihat sosok Kyo berjalan bersama Siky meninggalkan kelas, aku pun segera menghampirinya.
“Cepat sekali kau sampai?” tanya Kyo, terlihat terkejut.
“Aku langsung kemari begitu bel berbunyi,” jawabku seramah mungkin.
“Waah, sepertinya kalian sudah berbaikan. Syukurlah aku senang melihatnya. Aku tidak akan mengganggu kalian, aku pulang duluan ya.”
Siky mengatakan itu sambil berjalan pergi meninggalkan kami. Siky, pria yang sangat baik dan sangat dekat dengan Kyo. Mendengar dia mengetahui pertengkaranku dengan Kyo, aku menyimpulkan Kyo-lah yang menceritakan hal ini pada Siky.
“Siky, kau akan datang kan nanti malam?!!” teriak Kyo, yang ditanggapi lambaian tangan oleh Siky.
Kini aku mengalihkan tatapanku dari Siky yang semakin menjauh, aku pun sedang menatap Kyo sekarang.
“Jadi, kenapa kau menyuruhku untuk menemuimu di sini?” tanyaku karena tak sanggup lagi menahan penasaran.
“Aku mengkhawatirkan keselamatanmu saat aku tidak ada di sampingmu. Jadi aku ingin membawamu ke suatu tempat,” jawabnya, yang seketika itu juga membuat sebuah firasat buruk memenuhi pikiranku.
“Kau mau mengajakku kemana?”
Kyo tiba-tiba menyeringai, yang sukses membuatku memicing penuh curiga.
“Nanti juga kau akan tahu,” katanya, sesantai dan semisterius itu.
Sebuah ide tiba-tiba terlintas di pikiranku, sebelum dia membawaku pergi, aku pun segera mengutarakan ideku ini.
“Aku akan ikut denganmu, dengan satu syarat,” kataku tegas. Kyo langsung menghentikan langkah dan menatapku bingung.
“Haah, syarat kau bilang?”
Aku mengangguk tegas, “Begitulah.”
“Memangnya apa syaratnya?” tanyanya sambil mendesah malas.
“Kau harus meminta maaf pada Bu Misaki atas kekasaranmu hari itu. Aku mengerti alasanmu mengatakan kata-kata kasar pada teman-teman sekelasku. Tapi sampai hari ini bagiku sikap kasarmu pada Bu Misaki seharusnya tidak pernah kau lakukan. Walau bagaimana pun dia tetaplah gurumu. Sebagai murid kita harus menghormati guru kita.”
Kyo hanya terdiam mendengar permintaanku, aku mencoba mencari raut kemarahan di wajahnya tapi aku sama sekali tidak menemukannya.
“Itu saja syaratnya?” Dia kembali bertanya. Aku menanggapinya hanya dengan sebuah anggukan.
“Baiklah. Tapi kau juga harus berjanji akan menuruti permintaanku setelah ini.”
Aku menelan ludah tanpa sadar sebelum kuanggukan kepala karena merasa tak memiliki pilihan lain. “Baiklah,” sahutku ragu.
Entah apa yang akan dia minta dariku, tapi aku mempercayainya. Yang kutahu Kyo tidak akan meminta hal yang akan membahayakanku ataupun menyakitiku.
Setibanya di ruangan Bu Misaki, Kyo benar-benar meminta maaf atas kekasarannya hari itu. Terlihat raut ketidak percayaan di wajah Bu Misaki, aku yakin dia tidak menyangka Kyo akan meminta maaf padanya seperti ini. Tapi aku merasa lega sekarang, Kyo bukanlah siswa berandalan seperti yang kupikirkan selama ini. Aku yakin ada sebuah rahasia di balik penampilan Kyo yang urakan dan ketakutan para guru maupun siswa di sekolah ini padanya. Aku yakin suatu hari nanti akan mengetahui alasannya.