Chapter 13 Cinta Bertepuk Sebelah Tangan Part 1
Setelah selesai mengerjakan tugas sekolah dan belajar sebentar, biasanya aku akan segera menuju tempat tidur untuk tidur. Tapi tidak dengan
malam ini. Entah mengapa pikiranku tak henti-hentinya memikirkan pembicaraan hari ini dengan Kaori. Aku masih tak menyangka Kyo memiliki banyak mantan kekasih, dan yang membuatku takjub adalah dia memiliki hubungan yang baik sampai sekarang dengan mantan-mantan kekasihnya. Setidaknya itulah yang kudengar dari Kaori hari ini.
Kyo yang selama ini selalu baik padaku, rupanya dia pun baik pada semua wanita. Mungkinkah seandainya aku menyatakan cinta padanya, dia pun akan menerimanya?
Segera kugelengkan kepala, tak pernah kuduga pemikiran seperti ini akan terlintas di benakku. Sejujurnya aku kecewa mendengar dia selalu bersikap baik pada semua wanita. Semula aku mengira, dia hanya bersikap baik padaku. Kutatap jaket hitamnya yang menggantung di dinding. Rasa rindu ini pun terasa tak tertahankan lagi. Baru dua minggu saja tidak melihatnya membuatku merasa tersiksa seperti ini. Sebenarnya bisa saja aku menghubunginya lewat telepon, tapi mengingat kemungkinan dia sedang sibuk hari ini membuatku segera menepis keinginan dan pemikiranku itu.
“Aku rasa dia memilikinya. Rasanya mustahil seorang Kyo tidak memiliki kekasih karena kau pun pasti tahu banyak wanita yang mengincarnya.”
Perkataan Kaori tadi tiba-tiba terlintas di pikiranku. Sebuah perkataan yang sebenarnya sejak tadi menggangguku. Tak dapat dipungkiri begitu inginnya aku menanyakan hal ini pada Kyo. Tapi aku sadar, mustahil menanyakan itu padanya karena kami bahkan tidak memiliki hubungan yang
spesial. Dia menawarkan diri untuk menjadi pelindungku pastilah karena dia merasa kasihan padaku.
Dengan malas aku pun beranjak meninggalkan meja belajar dan berjalan menuju tempat tidurku yang empuk. Kuputuskan untuk berhenti memikirkan hal ini. Setelah merebahkan diri, kupejamkan kedua mata berharap bisa segera tertidur. Akan tetapi, di luar kendaliku, bayangan wajah Kyo selalu terbayang sehingga sekeras apa pun aku mencoba tertidur, sedikit pun aku tak mampu melakukannya.
Wajah Kyo yang tampan, senyumnya yang memesona, sikap menyebalkannya yang suka seenaknya tanpa meminta izin terlebih dahulu, perhatian dan kebaikannya, aku bahkan tak bisa menghitung sudah berapa kali ditolong olehnya. Serta penampilannya yang urakan tapi justru membuat dia terlihat semakin keren. Semua hal tentang Kyo terus melintas di kepalaku tanpa permisi. Kubuka kembali kedua mata dan kutatap sebuah jam
yang terpajang di dinding. Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Kuambil handphone yang kuletakkan di meja belajar, jariku sudah berada tepat di tombol angka 1. Jika aku menekannya tentu saja aku akan tersambung dengan nomor handphone Kyo.
Bukankah rasa rinduku ini setidaknya bisa sedikit terobati jika aku mendengar suaranya? Tetapi aku kembali tersadar, meneleponnya sekarang hanya akan membuatnya terganggu karena mungkin saja dia sudah tertidur lelap. Kutatap layar handphone, selama dua minggu ini dia bahkan tidak pernah sekalipun menghubungiku. Sebenarnya dia memang tak pernah sekalipun menghubungiku. Pertama dan terakhir kalinya aku berbicara di telepon dengannya adalah ketika aku meminta bantuannya. Meminta bantuannya di saat aku bersembunyi dari kejaran dua pria yang ingin menodaiku.
Sempat aku berpikir untuk meletakkan kembali handphone di atas meja, namun sekali lagi wajah Kyo melintas di kepalaku. Aku masih ragu tapi jelas saat ini aku sudah tak sanggup lagi menahan rasa rinduku padanya. Dengan berani kutekan tombol angka 1 sembari memejamkan mata
, dengan gugup kuletakkan handphone di telinga. Teleponnya tersambung tapi Kyo belum mengangkatnya. Cukup lama aku menunggu tapi Kyo
masih tidak mengangkat teleponku. Aku pun menyerah tampaknya dia memang sudah tertidur saat ini. Kuletakkan kembali handphone di atas meja belajar lalu berniat kembali merebahkan diri di kasur, namun belum sempat tubuhku kembali berbaring nyaman, aku segera bangun dan mengambil
handphone ketika mendengar suara getaran yang kuyakini berasal dari handphoneku. Nama yang tertera di layar handphone telah berhasil membuat jantungku kembali berdetak melebihi kapasitasnya. Sebuah perasaan dimana bukan pertama kalinya aku rasakan. Kyo ... kini dia sedang meneleponku, tanpa ragu aku pun menerima teleponnya.
“Ha-Hallo,” ucapku dengan terbata-bata.
“Hallo, Hanna. Kau barusan meneleponku ya? Ada apa? Kau baik-baik saja, kan?”
Suaranya yang sangat kurindukan itu terdengar panik, sepertinya dia mengira aku meneleponnya karena aku sedang berada dalam kesulitan. Mungkin dia teringat pada kejadian malam itu. Aku menggeleng, lupa jika dia tak mungkin bisa melihat responku ini.
“Tidak. Aku baik-baik saja. Aku sedang di kamarku sekarang.”
“Oh, syukurlah kalau begitu. Apa ada temanmu yang mengganggumu lagi di sekolah?” tanyanya.
“Tidak ada. Berkat Kyo, sekarang teman-teman di kelas sangat baik padaku.”
“Hm, baguslah,” katanya. “Lalu kenapa kau meneleponku?”
Pertanyaannya itu semakin membuatku gugup karena sungguh aku tidak tahu harus mengatakan apa padanya. Rasanya tidak mungkin jika kukatakan alasan meneleponnya karena aku merindukannya.
“A-Apa aku mengganggumu, Kyo? Kau sudah tidur ya?”tanyaku, mencoba mengalihkan pembicaraan kami.
“Tidak. Kau tidak mengganggu. Aku juga belum tidur. Jadi kenapa kau meneleponku?”
Aku sadar usahaku untuk mengalihkan pembicaraan kami tidak berhasil karena dia kembali menanyakan hal itu. Kini aku tidak memiliki pilihan selain menjawabnya.
“T-Tidak kenapa-napa, aku hanya ingin menanyakan sesuatu padamu.”
“Oh, apa itu?”
Aku terdiam, lebih tepatnya sedang memutar otak untuk mencari pertanyaan yang harus kulontarkan padanya karena aku terlanjur berkata demikian.
“Aku penasaran ...”
Aku menghentikan perkataanku karena keraguan yang kembali menyerangku. Rasanya malu sekali jika aku menanyakan hal yang memang sejak awal membuatku sangat penasaran.
“Penasaran ... apa? Ck, kalau bicara jangan setengah-setengah, bisa kan?” katanya, terdengar kesal.
Aku meneguk ludah, sepertinya memang harus kulanjutkan ucapanku.
“Ma-Maaf. Aku penasaran kenapa saat itu kau tahu keberadaanku?”
“Saat itu?”
Nada suaranya terdengar sangat kebingungan, membuatku tersenyum sendiri mendengarnya.
“Saat itu ... kapan maksudmu? Hai, jika sedang bicara, katakan yang jelas ya. Jangan membuatku pusing.”
Aku yakin dia kesal setengah mati dengan sikapku ini. Aku beruntung karena sebuah pemikiran tiba-tiba terlintas di pikiranku sehingga aku bisa mengubah topik pembicaraan yang tadi nyaris kukatakan padanya.
“Saat aku meneleponmu. Malam itu ketika aku dikejar oleh dua pria suruhan Akemi, padahal aku belum memberitahukan tempatku berada.”
Sebenarnya hal ini juga memang mengganjal pikiranku. Entah mengapa saat itu dia bisa mengetahui keberadaanku? Beruntung aku mengingat pertanyaan ini sehingga aku bisa mengalihkan pertanyaan yang awalnya ingin kutanyakan padanya.
“Kau tidak sadar aku menyalakan GPS di handphonemu?”
Perkataannya membuatku terkejut, aku memang jarang memegang handphone. Aku bahkan tidak memeriksa apa yang telah Kyo lakukan pada handphoneku ketika dia meminjamnya di tempat favoritku hari itu. Aku menggeleng, lagi-lagi lupa dia tak mungkin melihat responku ini.
“Aku tidak tahu. Aku pikir kau hanya memasukkan nomor teleponmu.”
“Tentu saja tidak. Aku sengaja menyalakan GPS handphonemu agar aku bisa mengetahui keberadaanmu.”
Suasana tiba-tiba hening di antara kami, aku masih terdiam mendengar penjelasannya. Aku tidak mengira dia begitu serius ingin menjadi pelindungku sehingga sampai berbuat demikian.
“Hanya itu yang ingin kau tanyakan padaku? Jika tidak ada lagi yang ingin kau tanyakan, aku akan memutus teleponnya.”
“Tunggu, Kyo, masih ada hal lain yang ingin aku tanyakan.”
Perkataan itu terlontar dengan sendirinya dari mulutku, aku sendiri sangat terkejut ketika menyadari kesalahan besar yang baru saja aku katakan pada Kyo.
“Hm, apa lagi?” katanya terdengar malas.
Aku pikir, sekarang sudah tidak bisa mengelak lagi karena aku tak berhasil menemukan pertanyaan lain untuk mengalihkan pertanyaan sebenarnya yang sejak tadi ingin aku ungkapkan tapi berusaha mati-matian aku tahan. Dengan mengumpulkan segenap keberanian, aku pun akhirnya mengutarakan pertanyaan yang membuatku gugup setengah mati.