Bab 1 Ranjang Berderit
Zul mencari anak kunci rumah kontrakannya. Sudah tiga bulan dia tak pulang ke sana. Pekerjaan sebagai sopir truk ekspedisi menuntut Zul untuk lebih banyak tinggal di jalanan atau tidur di pabrik saat menunggu bongkar muat barang.
“Duh, hilang ke mana itu kunci? Kan, aku simpan di dompet biasanya. Kok, tidak ada, ya?” gerutu Zul yang sudah sangat kelelahan dan ngantuk berat.
Akhirnya, Zul mengambil bangku plastik yang ada di teras kontrakan. Dia naiki kursi itu dan merogoh lubang angin di atas jendela. Sarang laba-laba dia serobot sampai menemukan satu anak kunci cadangan di sana.
Zul turun lagi untuk memasukkan anak kunci ke lubangnya. Klik-klik. Saat dia memutar kenop, terdengar suara seseorang juga tengah membuka pintu. Zul masuk ke rumah bersamaan dengan keluarnya orang itu dari rumah kontrakan sebelah.
Sampai di dalam, Zul hanya mengendik. “Rupanya rumah kontrakan di sebelah sudah ada yang menghuni?” pikir Zul.
Rumah kontrakan itu sangat sederhana. Hanya ada satu kamar tidur, dapur kecil, dan ruang tamu sempit cukup untuk televisi dan dua buah kursi. Di belakang dapur ada kamar mandi sederhana dan sedikit ruang untuk menjemur pakaian.
Ada lima rumah kontrakan yang saling berimpitan di sana. Dinding antar satu rumah dengan rumah yang lain bahkan menjadi satu. Rumah kontrakan Zul berada di tengah-tengah. Dua kontrakan di sisi kanan dihuni oleh masing-masing seorang perempuan lajang.
Zul tak begitu mengenal mereka karena jarang di rumah. Sedang di sisi kiri ada dua rumah lagi yang kosong sejak Zul pindah ke sana tiga tahun yang lalu. Sekarang, rumah di sisi kirinya sudah ada penghuni baru.
“Mungkin besok aku akan menyapanya.”
Setelah membersihkan badan dan bersalin pakaian, Zul memilih merebahkan diri di ranjangnya yang sederhana. Dinding kamar Zul berimpitan langsung dengan dinding kamar rumah kontrakan sebelah kiri. Sedapat mungkin dia tak berisik agar tak mengganggu penghuni baru di sebelah.
Perjalanan dengan truk selama tiga hari ini membuat Zul kelelahan. Dia kesulitan tidur selama di jalan. Zul memadamkan lampu kamar dan mulai mengatupkan mata.
Kriut!
Kriut! Kriut!
Sontak mata Zul terbuka kembali.
“Suara apa itu?”
Zul gelagapan dalam gelap. Dia hanya telentang sambil menatap langit-langit kamar yang samar-samar terkena pantulan lampu dari teras.
Zul menunggu beberapa detik. Suara keriut itu menghilang. Dia kembali memejamkan mata dan bergelung di balik selimut yang hangat. Udara dingin dari luar menyusup melalui celah pintu dan jendela.
“Ahh... ahhh... aahhh!”
“Astaga!” teriak Zul sambil duduk tegak seketika.
Kali ini, suara keriut berganti menjadi suara teriakan tertahan seorang perempuan. Zul memfokuskan pendengarannya. Dia takut jika itu suara kuntilanak yang bersarang di kamarnya karena terlalu lama ditinggalkan.
“Adu-duh, Mas... pelan-pelan, Mas... ini sakit!” bisik perempuan itu.
Zul menempelkan telinga ke dinding kamar. Suara itu datang dari penghuni kontrakan di sebelah. Zul menelan ludah dengan susah payah.
Saat dia duduk di ranjang, kembali terdengar suara ranjang yang berderit. Kali ini suaranya lebih pelan.
“Aduh, Mas... aah... jangan tarik-dorong begitu. Sakit, ini! Perih!” keluh perempuan itu sambil sesekali merintih.
Tanpa sadar, posisi Zul sudah semakin menempel ke dinding kamarnya. Dia berusaha keras untuk mencuri dengar suara-suara berisik dari rumah kontrakan di sebelahnya.
“Sebentar, ya, Sayang. Mas kasih minyak dulu biar gak seret!”
Zul terkejut. Dia mulai membayangkan suara-suara yang dia dengar dalam suatu adegan di kepalanya. Zul kembali memiringkan badan ke ranjang. Dia tutupi kepala dengan guling dan bantal.
Suara ranjang berderit dan desahan perempuan berusaha Zul halau dari pikiran. Entah bagaimana, semakin lama suara itu seperti merembes di telinga. Meski dia sudah menutup telinga dengan bantal, suara itu semakin dalam. Bahkan seakan-akan ranjang Zul yang ikut bergetar.
“Aaah!” pekik Zul tanpa sadar. Lekas dia tutup mulutnya dengan bantal dan berguling di ranjang karena takut ketahuan.
“Aku sudah gila! Ngapain aku nguping hal gituan?” pikir Zul.
Dia kembali ke balik selimutnya dan bergelung semakin kuat. Zul berusaha memejamkan mata tapi gagal. Suara-suara pasangan suami istri itu kembali menggema di telinga. Di malam buta yang sepi itu, sekecil apa pun suara akan terdengar jelas di udara.
“Astaga! Aku bisa gila!” gumam Zul sambil kembali terduduk dan menyingkapkan selimutnya.
Zul akhirnya lompat dari tempat tidur dan meninggalkan kamar.
Karena gelisah, dia mencari rokoknya untuk disulut. Sayangnya, bungkus rokok di kantung bajunya kosong hanya menyisakan sebatang korek bensol.
“Sial! Sial!” umpatnya berulang-ulang sambil melemparkan bungkus rokok ke tembok.
Zul pergi mengambil air minum di dapur. Tubuhnya tiba-tiba kepanasan meski udara cukup dingin malam itu. Sekali lagi, Zul melirik ke arah dinding kamar yang berhimpitan dengan dinding kamar rumah sebelah.
“Gimana, Dek? Masih sakit?” suara sang pria kini yang terdengar.
“Masih, Mas. Adu-duh... jangan kencang-kencang, Mas!”
“Sekali lagi, ya! Tinggal sedikit ini. Sebentar lagi... tahan, ya, Dek!”
Zul menepuk-nepuk pipinya. “Keparat! Mereka tidak tahu apa kalau tetangganya ini bujangan? Sialan!” umpat Zul dengan wajah mupeng luar biasa.
Dengan membawa selimut dan bantal, Zul akhirnya meringkuk di ruang tamu. Dia tidur di depan TV yang menyala. Dia keraskan suara TV untuk mengaburkan desahan dari kamar sebelah.
Brak!
Suara benda jatuh yang sangat keras sekali lagi menyentak Zul dari tidurnya. Pria itu gelagapan. Kepalanya terasa berat dan pening.
“Semprul! Apalagi ini, sih?”
Karena terus terganggu dengan suara-suara, Zul pun bangun dan membuka pintu tanpa pikir panjang. Dia sudah bertekad akan mengetuk pintu rumah tetangga sebelah dan entah apa yang akan terjadi nanti saat dia marah. Begitu pintu terbuka, Zul menciut seketika.
“Lho, kok, sudah pagi? Jam berapa ini?” pikirnya.
“Huaah... huuaah...!” terdengar jeritan seorang anak kecil di depan pintu kontrakan Zul.
Dia melihat anak laki-laki berusia sekitar satu setengah tahun itu jatuh dari sepeda roda tiganya setelah menabrak kursi di teras kontrakan Zul.
Zul sudah akan berjalan menuju anak itu, tapi seorang pria datang lebih dulu. Dia pria yang sama yang semalam keluar dari rumah kontrakan baru.
Disambarnya anak laki-laki itu dengan wajah cemberut dan mengabaikan sapaan Zul yang penuh keramahan. Dia pergi begitu saja sambil meneriaki istrinya yang entah ada di mana.
“Dasar perempuan! Kerjanya apa aja, sih? Sampai anak jatuh gak diperhatiin?” teriak pria itu.
Zul mengerut seketika. Dia masih berdiri di balik pintu rumahnya dan tak ingin terkesan ikut campur urusan orang lain.
“Dih, semalam anu-anu sama istrinya, sekarang marah-marah kayak setan! Pria macam apa dia? Lupa sama rasa sakit istrinya semalam? Keparat!” batin Zul.
“Maaf, Mas. Mirna lagi nyuci tadi. Mas Iwan, kan, ada di depan. Masak nggak bisa jagain Zain sebentar?”
“Perempuan gak tahu diri. Sudah salah malah nyalahin suami?” bentak sang suami yang terdengar jelas oleh Zul.
Cess!
Dasa Zul rasanya bergemuruh. Meski dia tak tahu siapa yang salah, tapi mendengar perempuan diperlakukan kasar di depannya, ingin sekali dia ikut datang ke sana dan menampar mulut sang pria. Tapi, Zul menahan diri.
“Tunggu!” pikir Zul. “Suara perempuan itu, seperi tidak asing... dan nama itu...?” pikirnya.
Suara tangisan bocah sudah mereda. Tak lama terdengar suara deru motor lewat di depan rumah Zul. Zul mengintip dari jendela. Pria yang sebelumnya marah sudah pergi, mungkin untuk bekerja.
Saat itulah Zul memberanikan diri keluar dari rumah. Dia ingin memastikan pemilik suara yang tak asing di telinganya.
“Tunggu! Itu bukan suara perempuan yang mendesah semalam, kan? Ya, maksudku itu memang perempuan yang mendesah semalam. Tapi, bukan itu maksudku!” Zul mengerutu sendiri.
“Aku hanya ingin memastikan suara itu. Aku sangat kenal, tapi aku ragu kalau mereka orang yang sama!”
Zul menarik napas dalam dan keluar dari ruang tamu. Dia berdiri di depan rumah berpura-pura tengah olahraga sambil melirik ke arah kiri.
“Duh, orangnya di dalam. Ya, sudahlah!” pikir Zul.
Saat dia akan berbalik masuk kembali, sesuatu menjatuhi kepalanya—terasa masih basah dan dingin.
“Apa ini?” kejut Zul sambil menarik benda itu.
Zul memegang benda warna hitam itu dan membukanya dengan kedua tangan. Aroma wangi detergen menguar di hidungnya.
“Ya ampun! Milik siapa ini?” jeritnya sambil melambaikan celana dalam berenda warna hitam.
“Punya saya!” teriak dua orang peremuan dari sisi kanan dan kiri kontrakan Zul secara bersamaan.
Zul menoleh ke kanan. Ada Fiana yang sudah lama jadi tetangganya. Lalu, Zul menoleh ke kiri pada tetangga baru yang keluar sambil menggendong anaknya.
Wajah Zul memucat seketika.
“Ka-kamu?”