Bab 6 Terong dan Timun
Iwan sudah terlelap bahkan mendengkur lirih. Zain juga sudah lama tertidur di samping ayahnya. Hanya Mirna yang masih terjaga. Dia terus mengedipkan mata menatap langit-langit yang gelap. Sesekali melintas sorot cahaya lampu dari pengendara motor yang lewat di depan kontrakan.
“Brengsek! Dia belum kembali sejak pergi sore tadi. Aku tak mendengar suara pintu terbuka!”
Mirna terus memikirkan ucapan Iwan sore ini. Dia bercerita kalau Zul mugkin menginap di rumah Santi malam ini setelah lebih dulu membeli kondom di minimarket.
Mirna membalik badan berulang kali. Segala posisi tidur sudah dia coba, tapi matanya terus gagal memejam. Pikirannya semakin melayang ke mana-mana. Dia mulai membayangkan apa saja yang sedang Zul lakukan saat ini di rumah kontrakan Santi.
“Aaah!” teriak Mirna tertahan.
Dia duduk tegak sambil mengacak-acak rambutnya yang lebat.
“Brengsek! Kenapa aku terus memikirkan dia, sih? Kami juga sudah tak ada hubungan apa pun,” batinnya. “Mau dia jungkir balik atau apa, bukan urusan aku!”
Saat Mirna akan kembali merebahkan diri, dia mendengar pintu rumah Zul terbuka. Jantung Mirna berdegup kencang. Dia melirik jam pada ponselnya. Pukul tiga pagi.
Mirna sangat penasaran apa saja yang sudah dikerjakan Zul sejak sore di rumah Santi. Mirna mendengar suara lirih dari kontrakan Zul. Pria itu tampaknya pergi ke kamar mandi. Mirna memang mendengar suara keran air terbuka. Entah bagaimana tiba-tiba Mirna punya pemikiran sinting.
Dia lari ke kamar mandinya sendiri yang letaknya bersebelahan dengan kamar mandi di kontrakan Zul. Suara apa pun pasti akan terdengar dari sana pun sebaliknya.
Setelah memastikan suaminya benar-benar terlelap, Mirna masuk kamar mandi. Dia yakin Zul juga masih di kamar mandinya sendiri. Mirna mulai mengeluarkan suara-suara aneh untuk memancing rasa ingin tahu Zul. Dia mulai mendesah pelan dan merintih seolah-olah tengah melakukan hubungan dengan suaminya.
Zul memang mendengarnya. Awalnya suara Mirna samar, tapi semakin lama semakin jelas. Zul pun mematikan keran air dan menempelkan telinga ke dinding kamar mandi. Dia dapat mendengar dengan jelas desahan Mirna.
“Keparat!” umpat Zul tertahan sambil mengepalkan tinjunya. “Sampai kapan dia akan membuat Mirna mendesah dan merintih seperti itu?”
Zul jadi kepanasan karena kesal. Dia tak ingin membayangkan hal-hal yang akan membuatnya semakin terluka. Zul pun membuka keran air agar suara dari rumah Mirna tak terdengar.
Merasa puas, Mirna menahan diri untuk tidak cekikikan. Dia mandi saat itu juga karena subuh sudah tiba. Jebar-jebur suara gayung bersambut air sedingin es batu terdengar gaduh di subuh buta. Iwan yang tengah tidur pun jadi ikut terganggu.
Iwan memeriksa ranjang dan melihat istrinya tak ada di sana. Dia pun mengurut dada dan geleng-geleng kepalanya melihat kelakuan Mirna yang tak biasanya jadi seaneh ini.
“Kau sedang mandi apa mau kuras tempayan, sih?” keluh Iwan yang mulai kesal di depan pintu kamar mandi.
“Aku mandi! Keramas! Biar basah seluruh rambut dan badan!” ujar Mirna dengan suara kesal.
Suara Iwan membawa pikiran Mirna melayang pada kenangan lima tahun silam. Empat tahun sudah Zul pergi ke perantauan. Sebelum pergi, dia berjanji akan kembali dengan membawa modal untuk menikahinya. Selama itu pula, mereka hanya bertukar kabar melalui SMS dan sesekali telepon yang menghabiskan ratusan ribu pulsa setiap bulan.
Suatu hari, ponsel Mirna rusak dan tak ada uang untuk memperbaikinya. Sudah seminggu lebih Mirna dan Zul tak saling bertukar kabar.
Tiba-tiba Sujat berkunjung ke rumah Mirna. Katanya, Sujat diminta Zul untuk mencari tahu keadaan Mirna karena mereka bertetangga. Mereka bertiga adalah teman masa kecil. Sejak hari itu, Sujat yang menjadi penghubung komunikasi antara Mirna dan Zul. Tapi, kondisi itu hanya bertahan sebentar. Karena Sujat merasa sungkan jika terus datang ke rumah Mirna.
Di tempat kerja, Mirna selalu curhat pada Iwan. Mereka adalah rekan kerja di pabrik sepatu. Iwan yang tak tahu-menahu menjadi bulan-bulanan kegelisahan dan kekesalan Mirna. Tanpa sadar benih-benih cinta mulai tumbuh mengisi kekosongan di antara mereka.
Mirna mengutuk peribahasa Jawa yang mengatakan cinta datang karena terbiasa. Seumur hidupnya, baru kali ini dia merasakan jatuh cinta pada dua orang pria yang sama-sama memiliki ciri yang diinginkan Mirna. Meski wajah Zul dan Iwan berbeda, tapi merekas ama-sama memiliki ketampanan yang membuat Mirna jatuh cinta.
Berhari-hari Mirna dibuat gelisah, antara menunggu kabar dari Zul atau melanjutkan perasaannya pada Iwan. Lebih keparatnya lagi, Iwan sudah lama menaruh rasa pada Mirna.
“Menikahlah denganku, Mirna. Sampai kapan kau akan menunggu pacarmu itu? Siapa tahu di perantauan dia sudah punya yang baru?” bujuk Iwan suatu hari.
Mirna hanya menghela dan menghela. Kecantikan wajahnya terkenal seantero desa dan pabrik sepatu. Iwan bukan pria pertama yang melamar, tapi batinnya tetap terpikat pada Zul.
Tak sampai di sana, setiap akhir pekan Iwan akan datang ke rumah Mirna dan melakukan pendekatan pada ibunya.
“Zul tak pernah pulang. Kau juga tak pernah berkomunikasi denganya. Aku dengar dia sudah menikah dengan orang sana!” ujar sang ibu suatu ketika.
“Ah, Emak jangan mengada! Tahu dari mana? Enggak mungkin Mas Zul selingkuh! Dia sudah berjanji akan pulang dan menikahi aku, kok.”
“Jangan membantah. Dia belum jelas kabarnya. Kenapa tidak kau terima saja lamaran Iwan?”
Suatu malam, Mirna mulai menimbang-nimbang. “Kalau kupilih Iwan apa kata Zul? Kalau kupilih Zul, Iwan akan terluka. Tapi, kan, Zul hanya memintaku untuk menanti, sampai kapan juga tak pasti. Sedangkan Iwan, tetap menungguku. Dia berada jelas di mataku, bahkan sanggup menunggu kata putusku. Gusti....”
Sekali lagi, Mirna mengguyurkan air dingin ke kepala dan tubuhnya. Tak ada yang tahu jika di dalam kamar mandi tubuhnya menggigil, ngilu, merasakan campuran dingin air dan kecutnya perlakuan sang suami padanya selama ini.
“Tak ada pasangan yang sempurna, aku tahu itu! Tapi, kenapa harus bertemu dengan Zul lagi setelah sekian lama? Apa sebenarnya yang aku harapkan dari pernikahan ini? Sialan si Zul! Aku memilih iwan berharap mendapat nasib baik, tapi malah aku menderita dengannya. Sialan si Iwan! Sialan untuk diriku sendiri!”
Mirna membebatkan handuk dan kembali ke kamar. Dia melihat suaminya kembali tidur bersama Zain. Mirna semakin kesal setiap kali mengingat kotak cincin berisi kondom yang diselipkan Zul pada telapak tangannya saat pernikahan. Kondom yang membuat dunianya jungkir balik. Ada perasaan bersalah terselip dalam hati Mirna pada sang suami.
Perempuan bertubuh sekal itu berkali-kali merunut pikirannya. “Apa yang kulakukan dengan memilih Iwan sudah tepat. Zul sendiri yang tidak mau mengusahakan hubungan kami.”
Kepala Mirna cenut-cenut dibuatnya.
“Mas, aku mau ke depan beli sayur,” bisik Mirna perlahan.
Iwan hanya membisu dan masih mendengkur.
Tanpa banyak bicara, Mirna pergi meninggalkan suaminya sambil mengempit dompet di ketiak. Daster batik dia kibaskan untuk mengabarkan pada Iwan bahwa dia siap menghadapi peliknya kenyataan.
Mirna biarkan rambut setengah basahnya tergerai. Pagi masih gelap saat Mirna berjalan menuju tempat tukang sayur biasa mangkal menggelar dagangan. Sandalnya berkeletak menggilas kerikil di jalanan tanah. Sesaat dia terhenti ketika mendengar suara Zul dari kejauhan.
“Sambar gledek! Kenapa Zul juga ada di sana?” ragu-ragu Mirna hendak berbalik.
Akan tetapi, kemunculannya sudah terlihat oleh sejumlah tetangga yang juga akan pergi belanja.
”Duh, Mbak Mirna, segar bener subuh-subuh sudah basah? Habis malam jumatan, ya?” goda ibu-ibu yang berpapasan dengannya.
Candaan itu diikuti gurauan dari orang-orang yang berada di sana. Merah dibuatnya wajah Mirna yang sempat memucat. Dia gertakkan geligi menahan malu.
Jika aku berbalik, hilang kesempatanku membuktikan pada Zul bahwa pernikahanku baik-baik saja!
Senyum terbaik berusaha Mirna kembangkan. Kedua tangannya cekatan memilih dan memilah sayuran. Tanpa banyak bicara, dia hanya mengangguk dan tersipu malu setiap kali ada tetangga yang menggoda.
Sudut mata Mirna terus terarah pada Zul yang mencoba menggoda Santi. Mereka sudah seperti sepasang kekasih yang belanja bersama. Tanpa Mirna sadari, Zul juga diam-diam terus mengawasinya. Dia memperhatikan rambut Mirna yang basah setelah melakukan sesuatu di kamar mandi sebelum subuh tadi.
Tak tahan, Mirna mulai berdeham sambil memilih sayur. “Mau masak bareng, ya, Mbak Santi dan Bang Zul?”
“Mbak Mirna....” Santi tersenyum malu. “Ini Bang Zul jago sekali kalau masak. Santi jadi pengen diajari masak yang bener.”
“Kalian kapan nikah?” cerocos salah satu tetangga pada Zul dan Santi.
“Ah, Ibu bisa saja!” sergah Zul. “Mana mau Santi sama pria kayak saya, Bu? Kerja jadi sopir truk, jarang pulang, duit pas-pasan pula. Makanya saya ditinggal kawin dulu, Bu.”
Wajah Mirna merah padam. Dia kibaskan rambutnya yang basah. Satu percikan mengenai bibir Zul dan dia menjilatnya tanpa sadar.
Mirna tanpa sadar mengambil timun dan menggigit ujungnya. Dia kunyah timun itu dengan kasar. Sedangkan Zul, diam-diam berdiri di belakang Mirna.
“Belum puas ngunyah terong tadi pagi, Mbak Mirna?” bisik Zul sambil berjalan pergi.
Muka Mirna memerah. Dia lemparkan sisa timun ke arah Zul dengan sekuat tenaga.