Bab 5 Serangan Pertama
“Ma-Mas Iwan,” Mirna berujar dengan gaguk.
Zul pun segera melepas tangan Mirna dan sengaja menjatuhkan uang kertas hingga berhamburan.
Iwan yang sempat memergoki mereka dengan kecurigaan, semakin heran saat melihat uang kertas dua ribuan berceceran.
“Baru pulang kerja, Mas?” sapa Zul.
Iwan masih memasang wajah muram. “Ngapain kalian di sini? Siapa kamu?” selidiknya.
“A-anu Mas....” Mirna ketakutan dan panik.
Zul terus memperlihatkan wajah tenangnya. Dia ulurkan tangan pada Iwan tapi tak disambut. “Saya tinggal di sini, Mas. Kita belum sempat ketemu tadi. Nama saya Zul. Tadi Mbak Mirna belanja di warung. Dompetnya ketinggalan di rumah. Kebetulan saya sedang ke warung beli air minum, jadi sekalian saya bayarkan. Sekarang Mbak Mirna mengembalikan uang yang tadi saya pinjamkan.”
Zul masih menatap Iwan dengan senyum terkembang sempurna. Dia berjongkok memunguti uang yang berceceran.
Mirna hanya melirik pada Zul dan suaminya bergantian. Betapa Mirna terpesona saat mendapati senyuman Zul yang tak pernah berubah.
Iwan berdeham sekali lagi dan Mirna sontak gelagapan.
“I-iya begitu, Mas. Karena tadi Mirna buru-buru ngasihnya, uangnya sampai jatuh berhamburan. Maaf, ya, Bang Zul.” Mirna ikut berjongkok dan membantu Zul memungut selembar lagi uang yang tersapu angin.
“Terima kasih, ya, Zul,” ujar Iwan masih duduk di atas motornya dengan wajah datar. “Mirna itu memang suka ceroboh. “
“Tidaklah, Mas. Kita, kan, bertetangga. Sedikit membantu juga gak masalah. Saya masuk dulu, ya, Mas, Mbak.” Zul bangkit dengan uang terkepal kuat di tangan sampai buku-buku jarinya memutih.
Mirna hanya mengangguk kaku. Dia lekas kembali ke rumahnya untuk menyambut sang suami. Mirna berusaha keras untuk mengalihkan pikiran Iwan dari apa yang baru saja terjadi.
“Melamun saja!” tegur Iwan saat melihat Mirna sibuk menyiapkan minuman untuknya.
Mirna gelagapan. Dia cepat menyeka air matanya yang kembali merembes. Perempuan itu terus memunggungi suaminya. Mirna tak ingin terpergok.
Mirna melirik pada Iwan yang duduk di depan televisi sambil memainkan gawainya. Wajah Iwan terlihat kusut dan tak bersemangat.
“Hari ini pulang cepat? Mirna belum masak untuk makan malam.”
“Ambilkan aku segelas air!” pinta Iwan sambil merebahkan diri di ranjangnya hingga menimbulkan suara kriut. “Di mana Zain?”
Mirna baru menyadari jika Zain tak ada di sana. Dia semakin kelabakan dan salah tingkah.
“Tadi dia di sini.”
“Di mana?” Iwan duduk tegak seketika.
“Anu, mungkin sedang bermain ke rumah tetangga sebelah.”
“Tetangga yang mana? Maksudmu di rumahnya Fiana?
Mirna panik. Seketika wajah Iwan memerah dan sepasang alisnya hampir bertaut. Mirna mengenali sikap itu sebagai bentuk kemarahan.
Mirna lekas berlari mencari anaknya. Dia mendengar samar suara tawa Zain dari rumah Zul. “Mungkin dia di rumah Bang Zul.”
Iwan menarik lengan Mirna. Dia mendesis. “Siapa sebenarnya Zul itu? Sejak kapan dia ada di sebelah?”
Mirna merintih kesakitan. “Anu, Mas, sepertinya kita salah memahami. Rupanya kontrakan sebelah sudah dihuni jauh hari sebelum kita pindah ke sini. Hanya saja orangnya memang jarang ada di rumah. Itu saja yang Mirna tahu waktu ke warung tadi.”
“Maksudmu, pria yang barusan ada di kontrakan sebelah?”
“Iya, benar.”
Iwan melepas cengkeramannya pada lengan Mirna dengan kasar.
“Kita, kan, tidak kenal dia. Kenapa kau biarkan Zain bermain di sana? Bagaimana kalau ternyata dia bukan orang yang baik?”
Mirna hanya menunduk dan diam saja. Dia sendiri tidak tahu bagaimana Zain bisa keluar. Membantah ucapan sang suami akan percuma. Dia sudah hafal betul karakter suaminya itu. Tanpa banyak bicara, Mirna segera keluar dari rumah untuk menjemput Zain.
Mirna berdiri di depan pintu kontrakan Zul yang terbuka. Dia bisa mendengar suara Zul dan Zain yang sedang ngobrol dan bercanda di dalam. Mirna tiba-tiba terhenyak karena suaminya sendiri hampir tidak pernah mengajak anaknya bermain dan bercanda seperti itu. Tiba-tiba, Mirna tersadar dan menepuk pipinya dengan keras.
“Ujian apa lagi ini? Mungkin benar setan dikirimkan untuk merusak dan menghasut hubungan harmonis suami istri.”
“Siapa setannya?”
Mirna terlonjak. “Zul? Kau mengejutkan aku.”
“Kamu itu yang aneh. Bukannya mengucap salam malah ngomong sendiri, bahas masalah setan pula. Kamu nyari Zain? Dia ke sini tadi.”
“Iya, ayahnya nyariin. Lagipula ini juga sudah sore. Aku tidak enak kalau Zain mengganggumu terlalu lama.”
“Ehem!” deham Iwan sekali lagi yang tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu kontrakannya.
Zul dan Mirna salah tingkah.
“Mampir ke rumah, Mas...?” tanya Zul ragu-ragu.
“Iwan!” ujar suami Mirna singkat. “Sudah lama tinggal di sini?”
“Baru, kok, Mas. Baru lima tahun.” Zul berusaha merendah dan tampil sepolos mungkin di depan Iwan.
Iwan dan Mirna saling lirik. Mirna membawa Zain masuk ke rumah dan memberikan ruang untuk suaminya dan Zul mengobrol.
“Kok, aku nggak pernah lihat kamu sejak pindah ke sini?” selidik Iwan.
Zul merenung. “Sepertinya, suami Mirna tidak mengenaliku. Wajar, sih, sudah lima tahun,” batin Zul.
“Saya sopir truk, Mas. Saya jarang di rumah. Mas Iwan sendiri kerja apa?”
“Hanya karyawan pabrik biasa,” balas Iwan. “Kamu sudah menikah?”
Zul nyengir. Dia tawarkan rokok pada Iwan. “Belum, Mas. Kalau Mas Iwan ada kenalan, boleh dung, kenalkan pada saya.”
Iwan semakin curiga. “Masa, sih, ganteng begini, kok, nggak nikah-nikah? Pasti maunya cari istri yang sempurna, ya?”
Iwan dan Zul duduk di teras masing-masing. Mereka hanya dipisahkan oleh garis lantai yang berbeda.
Diam-diam dari balik pintu rumah kontrakannya, Mirna menguping pembicaraan kedua pria itu sambil menyuapi Zain makan. Mirna memasang telinga lebar-lebar jika saja Zul akan berkata yang aneh-aneh tentang masa lalu mereka.
Mirna juga sedikit terkejut karena Iwan tak mengenali siapa Zul. Padahal di hari pernikahan mereka, Zul sempat memberi kejutan berupa kondom sebagai hadiah yang membuat Iwan marah selama beberapa hari.
Saat ini di depan suaminya, Mirna hanya bisa berpura-pura tidak mengenal Zul selain sebagai tetangga yang baru bertemu hari itu.
“Saya trauma, Mas. Saya takut untuk menikah.” Zul mulai mencurahkan isi hatinya kepada Iwan.
“Lho, trauma kenapa? Kok, bisa, sih, pria setampan kamu trauma?”
Iwan menyambar dua batang rokok yang ditawarkan Zul. Zul hanya menyeringai.
Mirna berdegup jantungnya ketika mendengar pernyataan Zul. Apa yang dikatakan Iwan tentang paras Zul saat ini tak bisa Mirna pungkiri. Wajah dan tubuh Zul sangat berbeda dari lima tahun yang lalu ketika terakhir mereka bertemu.
Wajah Zul saat ini terlihat lebih bersih dan tampan. Tubuhnya juga jadi berotot dan terlihat sekali Jika dia menjaga penampilannya selama ini. Sedangkan Iwan, setelah menikah apalagi setelah punya anak penampilannya jadi semakin tak terawat.
“Dasar kau, Mirna!” batin Mirna. “Kenapa kau membanding-bandingkan suamimu dengan pria lain?”
“Ah, saya tak enak hati, Mas, mau cerita. Mungkin kapan-kapan saja kalau saya siap, pasti akan saya ceritakan. Masa lalu saya kelam, Mas.”
Sekali lagi Mirna menguping pembicaraan dua pria itu di teras. Mirna sudah selesai menyuapi Zain. Balita itu kini tengah bermain mobil-mobilan di depan televisi. Mirna berinisiatif pergi ke dapur membuatkan kopi pahit untuk suaminya dan Zul.
Mirna seperti gadis lajang kembali. Selama menyeduh kopi, dia bahkan masih mengingat berapa takaran kopi dan gula yang sangat disukai oleh Zul. Sedangkan kopi untuk suaminya sendiri, Mirna tidak yakin apa yang disukai Iwan selama ini.
Sebelum keluar menghidangkan kopi pahit untuk mereka di teras, Mirna menyempatkan diri untuk berganti pakaian dan merias wajah secukupnya. Dia memoleskan lipstik warna merah terang ke bibirnya yang pucat.
Setelah selesai, Mirna mematut diri di depan cermin. Dia merasa penampilannya terlalu berlebihan sehingga cepat-cepat dia mengambil tisu basah dan membersihkan kembali bibirnya.
“Bodoh! Apa yang aku lakukan?”
Mirna membawa talam berisi dua cangkir kopi pahit dan menghidangkannya. Saat melakukan itu, Mirna sama sekali tak melirik ke arah Zul.
“Wah, kopi pahit. Kebetulan, saya belum ngopi hari ini. Terima kasih, ya, Mbak Mirna,” puji Zul basa-basi.
“Silahkan, hanya ini yang bisa kami sajikan untuk menyambut tetangga baru,” sambut Iwan yang mulai melunak hatinya.
“Kebalik, toh, Mas. Seharusnya saya yang menyambut Mas Iwan dan keluarga.”
“Tidak apa-apa. Bagaimanapun kita tinggal bertetangga.” Iwan segera menyeruput kopi pahitnya dan sedikit mengerut.
“Kenapa, Mas?” selidik Zul.
“Aduh, si Mirna ini, kebiasaan sekali kalau membuat apa-apa tidak pernah beres!” keluh Iwan.
Karena Zul penasaran, dia pun mulai menyeruput kopinya. Sekali sesap, dua kali sesap, dan keterusan sampai Zul menghabiskan seluruh isi cangkir dan menyisakan ampas.
“Loh, kok, dihabiskan, Zul?” tanya Iwan. “Padahal saya mau ajak kamu ke warung saja.”
“Nggak boleh dihabiskan, ya, Mas? Saya pikir ini dihidangkan untuk saya. Jadi saya minum sampai habis. Kopinya Mbak Mirna mantap sekali ini, takarannya pas.”
Mirna yang sempat sedih karena mendengar kritikan suaminya, kini tersenyum lebar begitu mendengar kepuasan yang disampaikan oleh Zul atas kopi buatannya. Iwan sempat memanyunkan bibir dan merasa kesal karena istrinya mendapat pujian dari laki-laki lain.
Mereka kembali berbincang-bincang. Pada saat itu terdengar suara motor yang mendekat. Rupanya, Fiana baru pulang dari tempatnya bekerja.
Fiana memarkir motornya. Begitu dia melihat Zul ada di teras, dia tak langsung masuk, tapi ikut nimbrung bersama Zul dan Iwan.
“Wah, sepertinya kalian sudah akrab, ya?” tanya Iwan.
Saat Fiana akan menjawab, seseorang tiba-tiba memotong percakapannya.
“Abang Zul? Kapan kembali?” Santi datang sambil membawa kantong belanjaan di tangannya. Perempuan itu terlihat sangat seksi hanya mengenakan celana pendek dan tanktop. Rambut pirangnya dibiarkan tergerai sepunggung.
“Jangan lupa nanti malam mampir ke rumah saya. Ada service gratis untuk Bang Zul!” kata Santi sebelum dia berlalu pergi.
Zul melirik pada Iwan. Iwan terus memandang tubuh Santi yang menjauh. Iwan sempat menelan ludah melihat kecantikan dan kemolekan si Santi.
Fiana yang merasa diabaikan dan merasa diganggu oleh Santi menjadi kesal. “Bang Zul mau ke rumah Santi nanti malam? Beneran?”
“Emang mau ngapain ke rumah Santi?” tanya Iwan yang juga penasaran.
Zul pura-pura tak mendengar pertanyaan Iwan, tapi dia membalas pertanyaan Fiana. “Anak kecil tak boleh ikut campur urusan orang dewasa! Sebaiknya kamu masuk dan istirahat. Besok kerja lagi, toh?”
Fiana manyun.
“Mas Iwan, saya permisi dulu, ya, mau ke minimarket!” pamit Zul.
“Oh, ya, monggo!”
“Terima kasih kopinya, ya, Mas. Tolong sampaikan juga terima kasih saya untuk Mbak Mirna.”
Fiana berdiri dengan kesal. “Bang Zul beneran mau ke rumahnya Santi?”
“Iya, ini aku mau ke minimarket dulu, persiapan!”
“Persiapan apa?” selidik Iwan.
Zul mendekatkan bibir ke telinga Iwan dan membisikkan sesuatu. Wajah Iwan bersemu merah. Fiana dan Mirna yang tak bisa mendengar pembicaraan mereka jadi semakin kesal dan bertanya-tanya.
Iwan kembali ke rumah sambil membawa dua cangkir kopi yang sudah kosong. Dia terus bergumam di depan Mirna. “Wah, enak betul si Zul. Datang-datang sudah dapat jatah dari Santi!”
“Jatah apa, sih, Mas?”
Iwan melirik pada Mirna lalu berbisik agar tak terdengar oleh anaknya.
“Apa?” pekik Mirna. Dia kesal bukan main.