Bab 7 Perempuan Berhias Norak
Matahari masih bersembunyi, tapi Zul sudah terjaga dan berolahraga di teras rumah kontrakannya. Dia hanya mengenakan celana pendek dan kaos oblong ketat yang basah karena keringat hingga terpampang jelas lekuk lengan dan dadanya yang berotot. Sambil bersenandung, Zul terus melakukan peregangan.
Suara krasak-krasak terdengar dari sebelah. Zul celingukan memastikan suara itu bukan khayalannya belaka. Cahaya fajar kekuningan mulai menyoroti sosok di halaman tempat penghuni kontrakan biasa memarkir kendaraan pribadinya. Tampak bayangan Mirna yang sangat Zul kenali sedang menjemur pakaian seorang diri. Jika Mirna tahu ada Zul yang sedang memperhatikannya dari sana, mungkin Mirna akan berbalik arah.
“Bukankah ini kesempatanku untuk meminta maaf?” batin Zul. “Aku tak ingin dia salah paham dengan candaanku kemarin pagi.”
Zul mendekat sambil meregangkan kedua lengannya yang terasa tegang. Ditinggalkannya pemutar musik yang sedang dia dengarkan sambil berolahraga di kursi teras. Zul menyugar rambut depannya yang gondrong dan basah karena keringat sambil berjalan tanpa suara. Dia berbisik saat berdiri beberapa langkah di belakang Mirna.
“Na...,” panggil Zul.
Perempuan yang hanya mengenakan kemban sarung batik itu terlonjak. “Simbokne dobol!” pekik Mirna sambil menjatuhkan satu cucian dari genggaman.
Zul sontak mengkeret. “Kau nyumpahi Simbokku jadi dobol, Na?”
Wajah Mirna memucat di bawah hangat mentari yang baru mencuat. “Bang Zul?! Ada perlu apa?” Mirna panik dan cepat-cepat membereskan pakaiannya yang belum selesai dijemur.
“Tunggu, Mirna... Aku hanya ingin di antara kita tidak ada kesalahpahaman lagi. Bukankah kamu juga tak ingin hidup bertetangga dengan perasaan saling menyalahkan seperti ini?”
Mirna menatap heran pada Zul. “Antara kita sudah selesai. Toh, kamu juga akan menikah, kan?”
Giliran Zul yang mengernyit.
“Selamat, ya, Mas. Semoga kamu juga bahagia,” ujar Mirna lirih hampir bergetar.
Zul terkesiap begitu sadar bahwa Mirna terlihat semakin cantik meski tanpa riasan dan hanya mengenakan sarung yang separuh basah seperti itu. Rambut panjangnya digelung hingga menonjolkan tengkuk dan pundak tegasnya.
Mirna sendiri seketika menelan ludah saat cahaya matahari menyorot tubuh Zul yang bersimbah keringat. Otot-otot dada dan perut mantan kekasihnya itu tercetak jelas di matanya. Tangan Mirna ingin sekali terulur dan merasakan kekuatannya.
“Bang Zul?” Santi tiba-tiba muncul di sana dan melingkarkan lengan ke pinggang Zul tanpa rasa sungkan sama sekali. “Kita olahraga bareng, yuk?”
Zul pun terlonjak. “Santi?”
Brak!
Mirna tak sengaja menjatuhkan bak berisi pakaian basah karena saking terkejutnya.
Zul sangat gugup. Dia berusaha melepaskan diri dari belitan Santi. Tapi, Santi malah semakin bergelayut manja pada Zul.
Mirna melirik pakaian yang dikenakan Santi—setelan olahraga yang behasil menjonjolkan sisi indah perempuan itu. Mirna menunduk menatap pada pakaiannya sendiri. Dia merasa pipinya memanas.
Mirna malu melihat pemandangan itu juga malu pada dirinya sendiri. Tanpa berkata-kata, dia bergegas pergi setelah memungut kembali cuciannya yang jatuh untuk kedua kali.
Sampai di kontrakannya, Mirna hanya bisa tersenyum kecut. Dia tak ada lagi gairah untuk mencuci ulang dan menjemur pakaian. Sesekali kepalanya melongok ke arah pelataran rumah kontrakan Zul.
“Dasar buaya!” ujar Mirna. “Jadi memang kelakuannya dari dulu begitu? Pantas saja dia tidak segera menikahiku! Rupanya suka sama yang bahenol gitu?” Bibir Mirna terangkat sebelah.
Setengah jam kemudian, Mirna keluar dari rumah dengan dandanan yang menor. Dia kenakan gaun terusan selutut berwarna merah hadiah pernikahan dari Iwan bersama dengan sepatu yang ujung haknya terlalu runcing. Mirna berjalan tersaruk-saruk dan gaguk menghindari bebatuan dan kerikil yang memenuhi jalan di depan rumahnya. Sesekali kakinya oleng karena hak sepatu yang terlalu tinggi.
Sampai di depan rumah Zul, Mirna berulang kali mengibas-ngibaskan rambut panjangnya yang tegerai. Mata bulat perempuan itu berusaha melirik dan mencari-cari perhatian Zul.
“Mbak Mirna, mau ke mana kok dandan menor begitu?” tanya Santi. “Mau saya bantu perbaiki riasannya, Mbak?”
“Ya, mau ke pasarlah! Masak aku ke sini mau nguntit urusan orang?” jawab Mirna sewot. Dia terluka karena riasannya dinilai norak oleh Santi.
Zul diam tak ikut bicara. Dia hanya menatap langkah Mirna yang semakin menjauh menuju ke jalan raya.
Mirna berjalan dengan langkah kaku dan betis yang sangat pegal. Dia berdiri di pinggir jalan menunggu angkot yang datang. Sambil sesekali melirik ke arah kontrakan Zul, Mirna menahan air mata agar tak tumpah.
“Dia bilang apa? Riasanku menor? Cih, dia saja yang tidak mengerti tren riasan terbaru!” gerutu Mirna. Tanpa sadar, air mata benar-benar luruh dari wajahnya.
Sebuah mikrolet warna hijau tua berhenti di depan Mirna. Mikrolet itu kosong karena masih pagi. Mirna pun naik dan duduk di bangku paling belakang.
Sang sopir mikrolet terus melirik pada Mirna dari kaca spion depan. Sang sopir mikrolet keheranan melihat Mirna yang terus menangis sesenggukan di belakang.
“Santi, Abang masuk dulu, ya? Hari ini Abang ada kerjaan di pabrik.”
“Tapi, Bang... ini, kan, hari minggu?” rajuk Santi pada Zul. “Padahal, Santi mau ajak Bang Zul ke kota buat belanja.”
Zul hanya tersenyum. “Lain kali saja, ya? Abang ada kerjaan sekarang!”
Zul bergegas masuk ke rumah sambil menarik lepas kausnya yang basah. Dia menyumpahi diri sendiri karena tak menahan Santi dari berkata buruk pada Mirna.
“Meski penampilan Mirna pagi ini memang sedikit norak, tapi Santi tak ada hak bekata seperti itu pada Mirna!”
Zul mengembuskan napas berat dan mandi dengan cepat. Selepas mandi, dia berulang kali melirik jam dinding sambil mengeringkan rambut.
Tangan kanan Zul memegang pengering rabut, sedang tangan kiri menyemprotkan parfum ke sekujur dada yang telanjang.
Rambut Zul pernah panjang, tapi saat memutuskan akan melamar Mirna, dia potong rambut itu dan menyisakan sebatas belikat. Rambut itu kini dicat warna hitam kemerahan.
Jarum jam terus bergerak. Zul lemparkan pengering rambutnya dan mulai mengenakan kaus oblong yang dilapis dengan kemeja lengan pendek tak terkancing di luar. Zul menambahkan kalung sepanjang dada dengan liontin berinisial huruf M. Satu telinga kiri dia hias anting perak mungil yang polos.
Zul mengembuskan napas dari dada yang sesak. Setelah meraih kunci dari gantungan di dekat pintu, dia kenakan kacamata hitam anti ultraviolet. Zul lantas pergi meninggalkan kontrakannya dengan langkah cepat.
Di jalan setapak, Zul berpapasan dengan Fiana yang baru kembali dari warung. Gadis itu sampai melongo melihat penampilan Zul yang tak biasa—terlihat urakan tapi keren.
“Pagi, Fi!” sapa Zul.
“Ah, pagi, Bang...?”
Pluk!
Fiana menjatuhkan cilok yang sedang dia pegang karena saking terpesonanya dengan penampilan Zul.
“Siapa pria itu? Keren banget!”
Zul pergi ke tempat truknya diparkir. Ada banyak anak kecil yang bermain-main di sana dan mengagumi keindahan truk yang Zul bawa pulang.
“Anak-anak, truknya mau keluar! Minggir dulu, ya!” ujar Zul.
Anak-anak itu pun langsung melongo begitu melihat Zul yang tiba-tiba muncul dengan penampilan tak biasa. Sejumlah ibu-ibu yang tengah belanja di tukang sayur pun terheran-heran dan pangling pada Zul.
Saat Zul melompat ke truknya, semua orang baru menyadari bahwa itu adalah Zul.
Selama di jalan, ponsel Zul terus berdering. Dia hanya melirik nama di layar ponselnya dan mengabaikan panggilan itu.
Zul lantas mengirim pesan suara. “Aku tahu! Aku dalam perjalanan!”
Saat dia akan meletakkan kembali ponselnya, tiba-tiba mata Zul waspada. Di depannya ada kemacetan yang lumayan panjang.
“Ah, brengsek!” umpat Zul smabil menekan klakson berulang kali. Tapi, semua usahanya sia-sua. Orang-orang malah marah balik pada Zul karena tak sabaran.
“Bang, ada apa di depan?” tanya Zul pada seorang pedagang asongan.
“Ada kecelakaan, Bang. Bakal lama itu! Posisi kecelakaan di tengah jalan.”
“Brengsek!” umpat Zul berulang kali. Dia bersandar ke kursi kemudi dan memijit kepalanya yang pening, sedang ponselnya terus berdering.
Zul tak punya pilihan. Dia menoleh ke samping dan belakang untuk mencari celah agar bisa menepikan truknya. Saat itu, Zul melihat Mirna tengah berjalan kaki dengan terseok-seok.
“Mirna? Apa dia terluka?”
Mirna berjalan seperti orang pincang. Tumitnya sakit karena sepatu hak tinggi itu. Kakinya juga lecet dan perih. Tapi, trotoar yang panas tak memungkinkan dia untuk melepas sepatu.
“Aku meninggalkan ponselku di rumah. Gimana mau minta tolong Mas Iwan buat jemput kalau begini? Apa aku harus jalan kaki sampai ke pasar?” Mirna mengusap peluh di wajahnya. Orang-orang yang melihatnya merasa aneh karena riasan Mirna yang menor dan norak.
Mirna terus menunduk. Dia berusaha mengabaikan tatapan orang-orang, tapi hatinya tak bisa. Saat dia melihat ada sebuah becak, Mirna mencoba memanggilnya. Sialnya, seseorang sudah lebih dulu naik. Mirna harus kecewa lagi.
Karena kesal, Mirna memutuskan untuk pulang saja. Dia mencoba menyeberang jalan untuk pergi ke pangkalan becak. Mirna tak ada keinginan untuk lanjut ke pasar.
Saat akan menyeberang di jalan yang macet, tiba-tiba sebuah motor memotong langkah Mirna dan berhenti tepat di depannya.
Mirna sangat ketakutan melihat gelagat pengendara motor itu. Wajahnya tertutup helm dengan penampilan layaknya geng motor.
Mirna mencoba mundur untuk memberi jalan, tapi pengemudi motor itu malah menarik pinggang Mirna.
“Aaah!”