Bab 3 Jatah Mantan
Lima tahun yang lalu, Zul melompat turun dari truk yang baru saja dia parkirkan. Pria itu bersiul-siul sambil memainkan anak kunci di tangan. Hatinya berdebar-debar dengan senyum manis terus terkembang. Dia sudah merencanakan banyak hal untuk hari itu.
Zul merogoh kantung jaketnya. Di sana ada sebuah kotak perhiasan berbentuk hati yang mungil. Pria itu terus memamerkan deretan giginya saking bahagia. Dia bayangkan berjumpa dengan Mirna—sang kekasih hati—dan melamar setelah sekian lama mereka terpisah.
Raut Mirna dan senyum manjanya terus membayang dalam benak Zul. Pada pesan singkat terakhir yang dikirimkan Zul untuk Mirna, Zul berjanji akan pulang dan melamar gadis itu. Tabungan dari kerja kerasnya sebagai sopir truk tambang di Kalimantan sudah cukup untuk menggelar pesta pernikahan.
Langkah kaki Zul begitu ringan sampai dia tiba di gapura desa. Truk yang dia bawa langsung dari Kalimantan selama berminggu-minggu, hanya bisa diparkir di lapangan desa. Kata beberapa tetangga yang bertemu dengan Zul, jalan menuju rumah Zul ditutup karena ada tenda pernikahan nanti malam.
Saat Zul akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki, seorang pria di warung kopi memanggilnya.
“Zul! Zul! Kau, Zul, kan?” kejut pria bersarung hijau.
“Kau... Sujat? Betul, kah, kau, Sujat?” tanya Zul ragu-ragu sambil mendelik menatap pria kriwil di hadapannya.
Tawa Zul meledak seketika saat tahu yang menarik lengannya adalah sahabat kecilnya sewaktu mereka berburu ikan di sawah dulu.
“Kau mau pulang?” selidik Sujat dengan wajah sedih.
“Ya tentulah! Rindu aku pada Emak. Lima tahun aku tak kembali.” Senyum Zul terus terkembang. “Bagamana kabarmu?”
Sujat menelan ludah. “Jangan pulang dulu, Zul!” ujar Sujat. “Kita ke rumahku saja, ya!” ajak Sujat dengan wajah pias dan bibir gemetar.
Zul mendesah. Rasa rindunya pada sang emak dan juga Mirna yang bertetangga dengannya sudah sampai di puncak kepala. Angan-angannya untuk merengkuh kembang desa itu sudah melampaui segala jenis aksara cinta yang bisa dia gubah ke dalam berbaris-baris nada.
Zul ingin memeluk, mengecup, bahkan mungkin melumat Mirna semata jiwa ke dalam dadanya. Memang dasar sial, dia masih harus berhadapan dengan si Sujat yang tampaknya juga rindu berat padanya. Sebagai sahabat baik, Zul enggan untuk menolak permintaan Sujat.
Zul sudah menyiapkan banyak alasan di dalam kepalanya untuk menolak ajakan Sujat, tapi pria bersarung itu tak terlihat ingin ditolak apa pun yang terjadi. Sujat menarik tangan Zul dengan paksa untuk singgah ke rumahnya.
“Kau pasti akan berterima kasih padaku setelah ini!” ujar Sujat berapi-api saat mereka sudah duduk di ruang tamu rumah Sujat.
“Apa, sih? Ada apa sebenarnya ini?” Zul mulai curiga.
Tanpa banyak bicara lagi, Sujat segera duduk di depan sahabatnya itu dan menatap tajam. Dia sodorkan segelas air bening.
“Minumlah dulu, biar kau siap menghadapi kenyataan!”
Zul mulai tak nyaman dengan sikap dan perbuatan Sujat yang dia rasa aneh itu. Lima tahun tak bertemu dan tak ada komunikasi, entah perubahan apa saja yang sudah Sujat alami hingga membuat Zul agak ketakutan. Dia minum juga air bening itu untuk membasahi tenggorokan.
“Kau tahu kenapa jalan menuju rumahmu ditutup?” selidik Sujat.
“Ya, karena ada tenda pernikahan, kan? Ada yang memberitahuku tadi. Makanya aku terpaksa parkir truk di lapangan depan. Kenapa, toh?”
Sujat hanya mendesah dan menepuk-nepuk pundak Zul. “Coba kau perhatikan sebelum pulang ke rumah. Tenda pernikahan itu, posisinya ada di mana?”
Karena penasaran, Zul seketika bangkit dan pergi ke teras rumah Sujat. Dari teras, dia melongok ke sepanjang jalan menuju ke rumahnya sendiri. Tepat beberapa meter sebelum rumahnya, Zul melihat ada sebuah tenda putih terpasang dengan megahnya.
Pemuda berusia 25 tahun itu menoleh ke arah Sujat dengan gemetar. Dia mengerti dan menahan sebak di dada.
“Aku pasti salah lihat, kan?” ujar Zul serak sambil mengguncang pundak Sujat.
Sahabatnya itu menggeleng lemah. “Itu memang rumahnya!”
Zul berlari dan terus berlari setelah meremas pundak Sujat. Dia menjinjing tasnya yang hanya berisi beberapa potong pakaian dengan kasar untuk menuju ke tempat tenda terpasang.
Saat itu juga, Zul datang ke rumah yang terpasang tenda pernikahan. Dia berdiri di depan pintu masuk tenda yang berhias bunga plastik penuh warna. Pesta sedang digelar. Para tamu mempelai pria beserta rombongan juga baru saja datang. Di atas puadai yang juga berhiaskan bunga- bunga, Zul bisa melihat senyum Mirna yang terus mengembang dan memesona.
Air mata Zul berderai. Dia tak bisa membendung perasaannya yang hancur berantakan. Kekasihnya, duduk di atas pelaminan bersama pria lain.
Merasa malu karena diperhatikan oleh sejumlah tamu undangan, dia seka air mata dan ingusnya menggunakan setangan. Perut pemuda itu tiba- tiba bergolak saat melihat pemandangan di depannya.
“Akhirnya, kulihat juga senyum itu setelah sekian lama,” bisik Zul. “Sayangnya, senyum terindah itu bukan ditujukan untuk diriku!” Zul kembali dibuat mewek. “Mampukah aku menghadapi dan bertemu dengannya? Tidakkah ini terlalu kejam, Tuhan? Kenapa begini amat hidupku, Ya Allah!”
Perut pemuda itu semakin nyeri, dadanya apalagi. Kemarahan, kecewa, dan kesedihan bercampur menjadi satu hingga menghasilkan tampilan wajah yang sangat kacau. Dia tengok ke kanan dan ke kiri. Sudut matanya menangkap sebuah vas bunga berukuran sepelukan orang dewasa.
Karena tak tahan, Zul segera memungut vas bunga itu dan memeluknya erat di depan dada dengan kedua tangan. Dia sembunyikan wajah di balik vas bunga. Dengan tekad yang bulat dan dada yang semakin berdebar-debar karena sentakan adrenalin, Zul berjalan mendekati puadai pernikahan.
Dia peluk erat vas bunga di tangan sambil berharap tak ada yang memperhatikan. “Lihat saja, kalian akan aku beri kejutan setelah ini!”
Sujat yang baru datang menyusul ke pesta pernikahan itu segera menangkap gelagat Zul yang aneh. Mata pemuda itu selalu waspada pada sikap dan gerak tubuh Zul yang sangat dikenalinya sejak kecil. Benar saja, dia menangkap keberadaan Zul yang memeluk vas bunga besar sambil berjalan mendekati puadai pengantin.
“Bocah gila itu! Mau apa dia dengan vas itu? Jangan-jangan mau ditimpuk itu pengantin?”
Dengan kecepatan seekor tikus, Sujat menyelinap di antara para tamu undangan dan menarik tangan Zul yang memeluk vas bunga. “Apa yang akan kau lakukan? Jangan berbuat hal yang akan kau sesali!”
Zul terhenti dan merasa kesal. “Apaan, sih, Jat?”
Sujat menarik lepas vas bunga dari genggaman Zul dan mencoba menyeret pemuda itu menjauh.
“Hai, mau kau bawa ke mana aku?” protes Zul.
“Ngapain kamu bawa-bawa vas kembang segede itu?” bisik Sujat tertahan, takut ketahuan tamu undangan.
Wajah Zul memucat dan dia menunduk lemah. “Aku ingin memberi Mirna selamat, tapi tak punya apa pun untuk kuhadiahkan. Tolong, kembalikan vas bunga itu! Setidaknya, aku masih punya harga diri datang dengan buah tangan meski hanya pinjaman!”
“Kampret, kau, Zul!” geram Sujat. “Mau ngasih kado, apa, mau bikin rusuh pesta?”
Zul berdecak, “Adanya cuma itu, elah!” lalu pemuda itu pergi meninggalkan Sujat yang menjadi uring-uringan.
Di atas panggung sederhana tak jauh dari puadai pengantin ditegakkan, ada organ tunggal yang tengah membawakan lagu pernikahan. Zul pun melupakan vas bunga dan meletakkan begitu saja. Dia maju ke atas panggung dan meminta izin untuk menyanyikan sebuah lagu sebagai kado pernikahan.
Di atas puadai pengantin, terlihat Mirna yang terus membisu saat tahu Zul yang menjadi penyanyi. Wajah perempuan itu beku di balik riasannya yang tebal.
Sambil bernyanyi, air mata Zul terus meleleh. Suaranya menjadi serak dan getir. Tak sedikit tamu undangan yang ikut terbawa suasana haru di pesta pernikahan itu.
Karena tak tahan, suami Mirna pun bangkit dari kursi mempelai dan mendekati Zul. Dia tak tahu-menahu siapa Zul dan hubungannya dengan Mirna.
“Mas, tolong lagunya jangan yang sedih- sedih! Aku, kan, sedang bahagia, baru menikah?!”
Zul mengepalkan tangan di balik punggunnya. Dadanya berdentum-dentum. Ingin sekali dia mematahkan tulang wajah suami Mirna. Tinjunya sudah hampir terangkat, tapi sekilas dia menangkap gelengan halus pada kepala Mirna.
Zul tetap melanjutkan nyanyiannya tak peduli protes dari suami Mirna.
“Rupanya engkau sudah pun ada pengganti diriku. Patutlah kau tak pedulikanku. Oh, berderai air mataku mengiringi hari persandinganmu. Walapun pahit kenyataan ini terpaksa aku hadapi. Kenangan lalu terimbas kembali, terhiris hatiku... Kau masih kusayang... Terhiris hatiku....”
Sebelum pergi dari tempat pesta pernikahan Mirna digelar, Zul datangi puadai dan menyalami Mirna dengan berat hati. Dia selipkan kotak perhiasan ke telapak tangan Mirna yang gemetar. Zul membisikkan sesuatu di telinga perempuan itu dan berlalu pergi dengan senyum terkembang di antara derai air matanya.
Mirna menangis sambil mengiang bisikan Zul sebelum dia pergi. “Terima kasih atas jatah mantan yang sudah kau berikan padaku lima tahun lalu. Tak akan pernah aku lupakan!”
Di atas puadai, Mirna gemetar hebat menggenggam kotak perhiasan wadah cincin itu. Tubuhnya melorot dengan air mata yang mulai menderas. Suaminya yang cemburu segera merebut kado itu dan membukanya.
“Apa-apaan ini? Siapa dia?” ujarnya sambil memasang wajah merah padam menahan malu.
Zul yang sudah meninggalkan tenda pesta, terus mengembangkan senyum di balik air matanya. Dia masukkan tangan ke kantung jaket dan meraba sebuah cincin emas di sana tanpa kotaknya. Dia sudah menukar cincin dengan kondom dan menyerahkannya pada Mirna sebagai hadiah.