Bab 2 Tak Ada yang Mengaku
“Jadi...,” gumam Zul sambil memegang celana dalam hitam berenda setengah basah itu di tangannya. “Milik siapa barang ini?” Dia melirik ke kanan dan kiri.
“Bukan punyaku!” jawab kedua perempuan itu dengan ketus.
“Apa? Hei!” teriak Zul tak kalah kesal. “Bukannya tadi kalian yang mengaku....”
Brak!
Kedua perempuan itu masuk ke dalam rumah kontrakan masing-masing sambil membanting pintu dengan keras. Hanya ada Zul di teras rumahnya. Dia berdiri sambil memegang celana dalam perempuan setengah basah. Rambut Zul tampak kusut dan wajahnya penuh belek karena baru bangun tidur.
Fiana membanting pintu sekeras mungkin. Dia langsung melorot di balik pintu sambil memegangi dadanya yang berdegup kencang.
“Bang Zul?” pekik Fiana tertahan. “Itu sungguh Bang Zul yang ada di sana? Kapan dia pulang? Astaga...!” pikir Fiana kegirangan.
Gadis yang bekerja sebagai kasir di swalayan itu merangkak ke meja rias dan memperhatikan wajahnya di depan cermin. Berulang kali Fiana menarik napas dalam untuk menenangkan diri, tapi selalu gagal. Dia terlalu histeria begitu melihat kemunculan Zul di depan rumah kontrakannya sepagi ini.
“Tapi, ya, ampun. Itu celana dalam siapa? Apa milikku? Bagaimana kalau itu memang milikku?” Fiana sangat panik. “Betapa malunya aku? Mau taruh di mana mukaku? Gimana cara memintanya?”
Fiana berdiri dengan kaku dan mondar-mandir di dalam rumahnya yang bernuansa merah muda. Dia menghias seluruh isi rumah kontrakan sempitnya dengan pernak-pernik dan cat warna merah muda.
“Tidak!” Fiana menggigit bibir bawah sambil meninju-ninju udara. “Itu pasti bukan milikku. Aku, kan, hari ini tidak menjemur celana dalam hitam! Bodohnya aku! Haha...!” Fiana tertawa kaku merutuki dirinya sendiri.
“Tapi, kenapa juga aku harus kabur tadi? Aahh...!” Dia acak-acak rambutnya yang sudah rapi. “Itu, kan, bisa menjadi kesempatan untuk menyapa Bang Zul! Setelah sekian lama aku menunggu kepulangannya dan sekarang aku mengacaukannya!”
Kondisi yang sama kacaunya juga dialami oleh Mirna di rumah kontrakannya. Dia langsung menyeret anaknya yang masih balita dan membawa masuk.
“Aduh, bagaimana ini? Kenapa aku menjemur celana dalam di teras?”
“Mama... Mama... Ini bola,” ujar balita laki-laki itu pada ibunya.
Mirna hampir tak mendengarkan suara anaknya. Pikirannya tersita pada sosok Zul yang tak pernah dia pikir akan ditemui di sini.
“Aku pikir rumah itu kosong. Sejak tiga bulan lalu kami pindah ke sini, tak ada orang sama sekali di sana. Aduh gimana ini? Apa benar itu Zul? Tapi... bagaimana bisa?”
“Mama... Mama... Pelmen...!” rengek Zain.
Mirna menatap putra semata wayangnya dan air mata luluh seketika. Balita laki-laki itu terlihat asyik dengan dunianya sendiri. Saat Mirna sadar, anak itu tengah mengunyah sesuatu di mulutnya. Mata Mirna membeliak. Dia melihat ke meja rias dan tak menemukan cincin kawinnya di sana.
“Zain! Muntahkan!” teriak Mirna panik.
Dia gendong balita itu dan menarik tangannya yang tengah dimasukkan ke mulut. Mirna memasukkan jari telunjuk ke mulut Zain yang basah.
“Itu bukan permen!” Mirna panik setengah mati. “Apa kamu menelannya? Tidak! Maafkan Mama karena ceroboh!” Mirna menangis histeris.
“Apa yang harus aku lakukan?”
Dia gendong Zain keluar dari rumah dengan air mata berurai. Mirna seperti orang bingung. Dia ingin meminta tolong tapi tak tahu harus ke mana.
Saat itu dia melihat Fiana yang baru saja pergi mengendarai motornya untuk bekerja. Mirna memanggil gadis itu, tapi tak terdengar karena terlalu jauh.
Teriakan Mirna di dengar oleh Zul. Dia mengintip dari jendela. Melihat Mirna yang panik dan kebingungan, Zul pun memberanikan diri keluar setelah mengganti sarungnya dengan celana panjang.
“Mirna? Ada apa?”
Perempuan berdaster longgar dengan rambut digelung asal itu menoleh. Wajahnya sembap dan matanya terlihat sangat putus asa.
“Tolong anakku!”
“Kenapa? Tenang dulu! Apa dia terluka?”
“Zain menelan cincin kawinku! Tolong, gimana cara mengeluarkannya?” Mirna menangis sejadinya. Dia duduk di lantai teras rumah Zul dengan sesenggukan. “Aku gagal menjadi ibu. Aku tak becus menjaga anakku!”
Zul mengambil Zain dari gendongan Mirna. Dia periksa kondisi Zain yang terlihat baik-baik saja. Tak ada tanda-tanda balita itu tersedak atau kesulitan bernapas. Zul tepuk-tepuk punggung Zain dengan lembut sampai mata mereka saling bertatap.
“Kau kesakitan, Zain? Apa kau menelan cincin ibumu?” tanya Zul sabar.
Zain malah tersenyum dengan polosnya. Sepasang mata Zain berbinar. Di usianya yang hampir dua tahun Zain belum juga bicara dengan lancar. Kosa katanya sangat terbatas.
“Mama permen!” ujar Zain sambil melorotkan tubuh dari gendongan Zul.
Lengan berotot Zul agak kesulitan menggondong balita. Dia melepaskan Zain karena takut anak itu akan terhimpit.
Zain berlari kembali ke rumahnya dan Zul mengekor. Mirna masih sesenggukan di teras rumah Zul.
“Mirna... lihat! Dia sepertinya ingin menunjukkan sesuatu!”
Mirna menyeka air matanya dan berlari mengikuti Zain.
Zul masuk ke rumah kontrakan Mirna yang sedikit berantakan. Dia bisa memaklumi karena ada balita di sana. Zain merangkak ke bawah tempat tidur satu-satunya yang ada di sana. Zul hanya memperhatikan sambil menelan ludah.
Zul kembali terbayang suara-suara yang mengganggunya semalam. Ranjang berderit dan suara teriakan Mirna yang tertahan bersama suaminya.
Zul menggeleng dan menampar wajahnya sendiri. “Ada apa denganku!”
Zain kembali sembil menjukkan cincin kawin Mirna. Dia serahkan pada Zul. “Om... permen Mama!”
“Ooo....” Bibir Zul membulat.
Dia terima cincin emas itu yang terasa licin karena minyak. Zul serahkan pada Mirna.
“Sepertinya Zain tidak menelan cincin ini. Dia malah memberi tahu di mana kamu menjatuhkan ini.”
“Terima kasih!” Mirna menerima cincinnya dengan malu-malu.
“Tidak seharusnya kau melepas benda berharga seperti itu,” ujar Zul dengan nada getir.
“Anu... itu....” Mirna menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Kebiasaan Mirna yang sudah sangat Zul kenali, ketika perempuan itu tengah gelisah.
“Cincin ini sudah tidak muat. Jariku sakit. Jadi, semalam aku meminta Mas Iwan untuk melepasnya.”
Bibir Zul membulat. Saat ini mereka hanya berdua saja di dalam kontrakan Mirna. Zain sudah keluar untuk bermain.
“Aku sudah coba melepasnya pakai sabun tapi gagal. Semalam, Mas Iwan melepasnya pakai minyak.” Mirna malu-malu.
“Ooo....” Hanya itu yang bisa Zul ucapkan. “Jadi suara-suara berisik dan teriakan semalam....”
Mirna menunduk malu. Dia gigit bibir bawahnya. “Kenapa juga aku harus menceritakan semua ini padanya?” pikir Mirna.
“Mas Iwan akan menggantinya dengan yang baru.” Mirna berusaha keras untuk meyakinkan Zul bahwa dia melepas cincin itu bukan karena pernikahan mereka bermasalah.
Zul mundur dan meninggalkan rumah kotrakan Mirna. Dia tak berkata-kata lagi. Saat Zul akan masuk ke rumahnya sendiri, dia sempat berbalik.
“Ah, Mirna....”
“Ya?” kejut Mirna yang berdiri di teras.
“Aku sudah mengembalikan jemuranmu ke atas.” Zul tersenyum kikuk menunjuk ke celana dalam hitam yang sudah digantung.
Mirna memerah wajahnya seperti buah tomat. “Hei, itu bukan milikku!” kilahnya.
Zul masuk ke rumah dan membuka lagi pintunya sedikit. “Ya, itu milikmu! Aku tahu itu milkmu!” Zul tersenyum meledek sebelum benar-benar menutup pintu dengan rapat.
Mirna sangat malu. Dia tak bisa berkata-kata. Perempuan itu melihat ke sekitar untuk memastikan tak ada orang lain yang melihat mereka.
Zul melompat kegirangan di dalam rumahnya. “Ya, ampun! Jantungku rasanya mau lepas! Astaga ini tidak benar! Ini salah! Dia istri orang!”
Zul membuka lemari pakaian dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Dia membuka kotak cincin berbentuk hati dilapis beledu merah. Zul meremasnya dengan sangat kuat.
“Lima tahun lalu...,” bisik Zul.