Bab 8 Pangeran Bermotor

“Jangan berteriak seolah-olah aku ini penjahat!” ujar pengendara motor itu. Mirna pun terdiam dan gelagapan. Dia sangat mengenali suara itu. “Ini aku!” Pengendara motor itu melepas helmnya dan sontak menjadi pusat perhatian semua orang. Rambut gondrongnya tersapu angin. Wajahnya terlihat dingin tapi melindungi. Matahari menyinari anting di telinga kirinya. “Zul?” bisik Mirna sambil ternganga. “Naiklah! Aku antarkan kau sampai tujuan.” Zul menyerahkan satu helm lagi pada Mirna. “Jangan... sebaiknya aku jalan kaki saja....” Mirna salah tingkah. Dia takut jika ada orang lain yang mengenali dan berpikir buruk tentangnya. Mirna sudah mundur tapi Zul menarik tangannya agar kembali mendekat. Mirna seolah tak punya kekuatan untuk menolak. Dia lemah secara batin dan fisik saat ini. Zul memasangkan helm ke kepala Mirna dengan hati-hati. “Angkat sedikit kepalamu!” Mirna pun menurut begitu saja seperti orang bodoh. Klik. Zul berhasil mengaitkan sabuk pengaman helm di bawah dagu Mirna lalu dia sendiri kembali menutup kaca helmnya. Mirna semakin terheran-heran saat melihat motor yang Zul kendarai. “Pinjam punya siapa dia?” pikirnya. Kondisi macet akibat kecelakaan seketika menjadi riuh saat melihat Zul dan Mirna. Para pengguna jalan tidak fokus pada pasangan iu, tapi lebih tertarik pada motor sport merah keluaran terbaru yang dikendarai Zul. Mirna tak ingin berlama-lama dan menjadi pusat perhatian. Dia naik ke boncengan motor yang lebih tinggi daripada bagian depan. Dia kebingungan harus duduk dengan posisi seperti apa. “Lingkarkan lenganmu ke pinggangku atau kau akan jatuh! Ini bukan motor bebek.” “A-apa?” Mirna gaguk seketika. Zul mendesah. Dia menarik kedua tangan Mirna dan melingkarkannya sendiri ke pinggang berotot Zul. “Seperti ini!” Mirna tertarik ke depan. Tubuhnya terpaksa harus menempel ke punggung Zul. Posisi itu sangat tidak nyaman tapi dia juga tak bisa duduk tegak. Mata Mirna tepat menatap ujung rambut merah Zul yang menjuntai di bawah helm. Aroma wangi sampo dan pelembut menggelitik penciuman Mirna. Tanpa sadar dia sangat menikmatinya. Motor melaju dengan sangat hati-hati. Mereka terus menyelinap di antara kendaraan yang mengular. “Kau mau ke pasar?” tanya Zul. “Ah, apa? Aku, anu....” Mirna sampai kebingungan. Dia lupa tujuannya keluar rumah pagi ini mau ke mana dan untuk apa. “Mau aku antar pulang ke rumah saja?” “Tidak!” tolak Mirna. Dia tak mungkin pulang ke rumah dalam keadaan dibonceng Zul seperti ini. “Anu... maksudku... aku harus ke pasar!” “Apa kau buru-buru?” “Iya-tidak! Aku hanya....” “Aku terburu-buru!” balas Zul. “Tapi, aku juga tak bisa meninggalkanmu di sana! Apa kau keberatan jika ikut denganku sebentar? Setelahnya aku akan mengantarmu. Bagaimana?” Mirna tak bisa membantah. Entah kenapa dalam hatinya terselip rasa bahagia. “Aku akan baik-baik saja! Kau bisa selesaikan urusanmu dulu!” balas Mirna yang diam-diam tersenyum di balik punggung Zul. Beberapa saat yang lalu usai Zul menepikan truknya, dia turun dari balik kemudi dan pergi ke bagian belakang truk. Dia keluarkan rambu-rambu segitiga merah dan memasangnya sekitar dua meter di belakang truk. Zul membuka pintu belakang bak truk dan memanjat dengan mudah. Di sana dia menyimpan sesuatu yang tak banyak orang tahu. Saat mengambil libur dan pulang ke kontrakan, Zul belum sempat mengeluarkan muatan ke gudang. Sebuah terpal biru menutupi barang itu. Dia lepas tali pengamannya dan menyibak terpal. Sebuah motor sport merah terpampang dengan gagahnya. Zul menurunkan penyangga dari bak truk. Setelah dia menaiki motor dan menghidupkan mesinnya, Zul pun melajukan motor menuruni penyangga. “Aku sudah terlambat. Tapi aku juga tak mungkin meninggalkan Mirna berjalan sendirian sampai rumah,” pikir Zul saat itu. “Hanya ini satu-satunya cara yang mudah.” Mereka berkendara sampai ke pelabuhan. Suara burung camar dan deburan ombak menyapa kedatangan mereka. “Kita akan ke mana?” tanya Mirna. “Ke tempatku bekerja, di gudang peti kemas. Tadi Bos menghubungi ada sedikit pekerjaan. Kau baik-bak saja jika aku bawa ke sana?” Motor Zul sedikit melambat. Mereka memang memasuki kawasan bongkar muat barang dan terus melaju menuju pergudangan di pelabuhan. “Ya, aku baik-baik saja.” “Tapi, aku tidak!” pikir Zul. “Aku tak mungkin membawa Mirna ke tempat kerja atau mereka akan bergosip tentang perempuan ini. Mirna sudah bersuami!” Alih-alih membawa Mirna ke tempat kerja seperti janjinya, Zul malah menepi ke sebuah kafe di pelabuhan. “Kau kerja di sini?” kernyit Mirna saat mereka berhenti di tempat parkir kafe. “Tidak! Aku khawatir kau akan tidak nyaman jika harus ikut aku ke gudang. Apa kau keberatan jika menungguku di sini? Aku janji tak akan lama.” Zul turun dari motor setelah Mirna. Pria itu melepas helmnya dan entah bagaimana matahari membuat wajah Zul lebih bercahaya. Mirna berpaling dari menatap wajah Zul. Dia berusaha melepas kaitan helmnya dengan gemetar. Zul menarik pundak Mirna dengan lembut. “Biar aku bantu. Angkat kepalamu.” Mirna melepas tangannya yang gemetar dan menyembunyikan di balik punggung. “Sudah lepas!” Zul tersenyum hangat. “Maaf, aku sudah menculikmu!” Wajah Mirna bersemu merah. Dia benar-benar lupa jika sudah berkeluarga bahkan meninggalkan putranya di kontrakan. “Ada apa denganku?” Mirna memasang wajah kesal dan marah. “Aku harap kau menepati janjimu dan mengembalikan aku ke rumah! Aku setuju pergi denganmu karena kita bertetangga, tak lebih!” ujar Mirna sedikit ketus. “Aku tahu.” Zul tersenyum. Dia tiada henti memandang wajah Mirna yang penuh dengan riasan berwarna. Tapi, Zul sama sekali tak mentertawakannya. Angin kencang menerpa tubuh mereka. Rambut Mirna dan Zul tersapu angin laut. Rok Mirna yang lumayan pendek juga tersingkap sebagian. Perempuan itu memekik sambil menahan ujung roknya. Zul melepas sweter hitam yang dia kenakan sebelum mengendarai motor tadi. Dia lilitkan sweter ke pinggang Mirna. “Gunakan ini untuk menahan rokmu.” Mirna celingukan. Dia sangat malu. Untungnya parkiran kafe pelabuhan itu tak terlalu ramai. Zul mengajak Mirna mencari tempat duduk yang nyaman sambil menunggunya kembali. Zul minta izin untuk pergi ke toilet saat Mirna memutuskan duduk di salah satu sudut yang sedikit tertutup dari pandangan mata orang lain. Mirna melamun memkirkan dirinya yang entah bagaimana bisa sampai di sana. Dia menjadi tak percaya diri. Perempuan itu menoleh dan menatap pantulan wajahnya pada kaca jendela kafe. Mirna tiba-tiba malu dan merasa dirinya sangat bodoh. Diam-diam Mirna menghapus riasannya dengan tangan kosong. “Kau bisa memesan apa saja selama menunggu. Aku yang akan membayar tagihannya sebagai ucapan maafku karena membawamu sampai sejauh ini tanpa seizin suamimu.” “Apa?” Mirna gelagapan. Dia tak sadar jika Zul sudah kembali dari toilet. Bukannya pergi, Zul malah duduk di samping Mirna dan mengulurkan tisu basah ke wajahnya. Dengan sangat berhati-hati, Zul membersihkan wajah Mirna dari riasan tebal. “Hentikan!” Mirna menahan tangan Zul. “Aku bisa melakukannya sendiri.” “Aku tak keberatan melakukannya.” Zul melanjutkan upayanya membersihkan riasan dari wajah Mirna. “Apa di matamu riasanku terlihat norak?” Mirna semakin tak percaya diri. “Kau cantik. Riasan ini sedikit berlebihan untukmu. Dia hanya akan menutupi kecantikanmu,” ujar Zul sambil terus membersihkan pemulas mata di kelopak Mirna. “Kenapa?” bisik Mirna. “Kenapa kau melakukan ini padaku?” tanpa sadar dia mengucapkannya. “Karena kau memang sudah cantik. Lihatlah ke cermin!” Mirna menoleh. Zul menyisakan pemulas bibir agar tak membuat wajah Mirna pucat. “Jadilah dirimu sendiri seperti biasanya, Mirna.” “Hentikan!” suara Mirna tiba-tiba meninggi. Dia tepis tangan Zul dan merebut tisu basah dari tangannya. “Pergilah atau kau akan terlambat.” Zul mengangguk dan meninggalkan Mirna seorang diri di kafe. Sebelum melajukan motornya kembali ke pergudangan, Zul melakukan satu panggilan melalui ponselnya. “Awasi dia dengan matamu!”
Pengaturan
Latar belakang
Ukuran huruf
-18
Buka otomatis bab selanjutnya
Isi
Bab 1 Ranjang Berderit Bab 2 Tak Ada yang Mengaku Bab 3 Jatah Mantan Bab 4 Utang Masa Silam Bab 5 Serangan Pertama Bab 6 Terong dan Timun Bab 7 Perempuan Berhias Norak Bab 8 Pangeran Bermotor Bab 9 Tetangga yang Rewel Bab 10 Negosiasi yang Sulit Bab 11 Ingin Memeluk Dirimu appBab 12 Kehilangan Zain appBab 13 Kamu Ketahuan appBab 14 Pesta yang Merepotkan appBab 15 Hadiah Kelulusan appBab 16 Penumpang yang Tertinggal appBab 17 Melangkah Maju dari Mantan appBab 18 Jangan Dekat-Dekat, Aku Tak Bisa Menahan Diri! appBab 19 Ketukan di Dinding appBab 20 Utang yang Semakin Menumpuk dan Belum Terbayarkan appBab 21 Kau Menakutiku appBab 22 Abang Pulang appBab 23 Lalu, Siapa yang Sebenarnya Kami Lihat? appBab 24 Jadilah Buruh Cuci Sampai Aku Kembali appBab 25 Calon Mantu Pilihan appBab 26 Cemburu Pada Mantan dan Suami appBab 27 Dijual Suami Demi Tagihan Listrik dan Air appBab 28 Tegakkan Bahumu appBab 29 Aku Siap Memperjuangkanmu Kembali appBab 30 Hanya Aku yang Memahamimu appBab 31 Kubeli Tubuhmu dengan Biaya Sewa Kontrakan appBab 32 Sang Penolong appBab 33 Semua yang Menghalangi Harus Disingkirkan appBab 34 Kubangun Istana untuk Mantan Calon Mertua appBab 35 Rencana Zul appBab 36 Kau Menjualku Demi Uang Kontrakan? appBab 37 Simpanan yang Mahal (Bab ketukar, seharusnya ini bab tiga puluh enam) appBab 38 Calon Istri untuk Zul appBab 39 Vila Sang CEO Misterius appBab 40 Tinggal di Vila appBab 41 Diarang Jatuh Cinta appBab 42 Vila Bulan appBab 43 Kunjungan Balasan appBab 44 Takdir yang Terus Mengikuti appBab 45 Sopir Truk Misterius appBab 46 Ibu Mertua dan Ipar appBab 47 Misteri Mobil Merah appBab 48 ATM Keluarga appBab 49 Wawancara Kerja appBab 50 Kau Bukan Sopir Truk? Lalu, Siapa Kau? appBab 51 Diantar Bos Pulang appBab 52 Lukisan di Badan Truk appBab 53 Tak Mengenali Istriku appBab 54 Pesawat Kertas Petaka appBab 55 Pesta Kebun appBab 56 Pertunangan Penuh Kejutan appBab 57 Pewaris yang Hilang appBab 58 Kau Tujuan Hidupku appBab 59 Simpul Masa Lalu appBab 60 Aroma Perselingkuhan appBab 61 Skandal appBab 62 Persekutuan Dua jalang appBab 63 Semesta Mendukung appBab 64 Parfum Si Jalang appBab 65 Pria Berdada hangat appBab 66 Nada Sumbang di Lantai Tiga appBab 67 Rambut Basah Bersamanya appBab 68 Pelukan di Bawah Mantel Hitam appBab 69 Kau yang Telah Pergi appBab 70 Menangislah Sayang appBab 71 Sesal dan Air Mata appBab 72 Sumpah Balas Dendam Ini appBab 73 Sang Penghibur appBab 74 Puisi Terindah appBab 75 Kau yang Tak Mampu appBab 76 Aku Masih Sayang appBab 77 Tunggu Aku di Jakarta appBab 78 Misteri Cinta appBab 79 Dengarkan Aku appBab 80 Tetangga Baru yang Menyenangkan appBab 81 Pertemuan di Halte appBab 82 Makan Malam dengan Karyawan Baru appBab 83 Memilih Musuh yang Salah appBab 84 Kau Tetap Kenanganku appBab 85 Kenyataan Memang Biasanya Pahit appBab 86 Pertemuan dan Perpisahan appBab 87 Menjauh dari Kenyataan Hidup appBab 88 Rahasia yang Terkuak appBab 89 Titik Temu appBab 90 Jiwa Hingga Retak appBab 91 Kejutan di Tengah Musibah appBab 92 Hanya Malam Ini appBab 93 Aku Mendapatimu appBab 94 Hanya Ada Kehampaan appBab 95 Pura-Pura Tak Melihat appBab 96 Menyembuhkan Luka appBab 97 Hanya Bisa Bertahan appBab 98 Penguntit di Pasar appBab 99 Hasrat Ingin Memilikimu appBab 100 Melarikan Diri appBab 101 Sang Penyelamat appBab 102 Gadis yang Kehilangan Hidupnya appBab 103 Rencana Memisahkan appBab 104 Ingin Kau Cintai, Meski Hanya Sekali appBab 105 Siasat Buruk yang Keliru appBab 106 Surat Undangan Merah Marun appBab 107 Buat Keputusanmu! appBab 108 Pengantin Pria Sudah Datang appBab 109 Calon Suami yang Salah appBab 110 Surat Cerai appBab 111 Kembali ke Kontrakan appBab 112 Dalam Pengawasan Istri app
Tambahkan ke Perpustakaan
Joyread
UNION READ LIMITED
Room 1607, Tower 3, Phase 1 Enterprise Square 9 Sheung Yuet Road Kowloon Bay Hong Kong
Hak cipta@ Joyread. Seluruh Hak Cipta