Bab 2 Kehidupan Kedua
Desica terkejut, dia terdiam sesaat mengamati sekitar. Lalu dia mulai mengingat sesuatu. Di tahun 2004, saat dia masih berusia 19 tahun dan baru mulai kuliah. Dia dan Bianca pernah bertemu beberapa preman sepulang kuliah. Mereka berdua sampai terluka melawan para preman tersebut. Padahal Desica mengalami luka yang lebih parah, tapi keluarganya malah menghukumnya. Dahinya terluka dan perlu dijahit. Sementara dahi Bianca hanya benjol kecil. Tapi Desica malah dituduh membayar preman tersebut untuk menyakiti Bianca.
Di kehidupannya yang dulu, ayahnya juga menanyakan hal yang sama padanya. Dia sudah mencoba menjelaskan dan meminta maaf. Tapi hanya sikap dingin yang dia dapatkan. Tak ada satu orang pun yang percaya padanya. Jadi kali ini dia tak mau susah payah menjelaskannya. Lagi pula, tak ada yang akan percaya juga.
Desica lalu bertanya santai, "Apa dia mati?"
George membelalak. Dia sempat ragu dengan apa yang barusan didengarnya, tapi kemudian berteriak, "Desica, beraninya kamu bicara begitu! Apa kamu malah berharap Bianca mati?"
Kakak lelaki tertuanya, Jacky, terlihat penuh amarah. Dia langsung berdiri di depan Desica sambil memelototinya.
"Bagaimana bisa keluarga kami membesarkan orang kejam sepertimu? Seharusnya kami tidak membawamu ke kota, dan membiarkanmu hidup sendirian!"
Desica hanya menatapnya dalam diam. Kakaknya yang lain juga ikut maju untuk memakinya. Tapi Dessy segera menghentikan mereka. Wanita itu duduk di samping Desica, lalu memegang tangan putrinya seraya tersenyum lembut.
"Desica, Ibu tahu kamu hidup susah saat masih kecil, ke sana kemari tak tentu arah. Kami sudah berusaha keras mengurusmu setelah membawamu kembali pulang ke rumah. Kami bahkan menyekolahkanmu. Sekarang kamu sudah kuliah, kamu harusnya bersyukur. Karena banyak gadis seusiamu bahkan tidak bisa sekolah sampai SMA."
Kedua mata Dessy memerah, "Kamu tidak seharusnya menyakiti Bianca begini. Harga diri adalah hal yang sangat penting bagi seorang gadis. Meskipun dia bukan anak kandung kami, tapi kami sudah membesarkannya sejak kecil. Aku sudah berusaha membesarkan kalian dengan adil, jadi jangan iri lagi padanya, ya?"
Lidah manusia memang tak bertulang. Lihatlah betapa munafik ibunya ini. Desica bahkan masih ingat apa yang ibunya katakan padanya saat dia sekarat. Ini membuat raut wajahnya menjadi sedingin es.
Kesempatan belajar yang diberikan Keluarga Sumarko memang tidak bisa didapatkan semua orang. Tetapi, bukankah mereka melakukannya hanya demi menyingkirkan gosip? Sekaligus menunjukkan pada semua orang kalau seluruh anggota Keluarga Sumarko lulusan perguruan tinggi?
Bianca tidur di kamar yang layaknya kamar tuan putri. Sementara Desica tidur di gudang yang berantakan. Semua yang dia makan dan pakai adalah barang-barang buangan dari Bianca. Apa itu yang disebut membesarkan mereka dengan adil? Apalagi ketika Desica sedang terluka begini, bukannya menunjukkan kepeduliannya, mereka malah menginterogasinya. Mereka sama sekali tak peduli pada yang lain dan sibuk menyalakannya. Desica hanya mendengus, malas menanggapi mereka.
Kakak keempatnya, Jimmy, sudah tidak tahan lagi. Pria itu berteriak, "Kamu sudah keterlaluan Desica. Kamu sudah melakukan tindakan kejam itu pada Bianca tapi malah diam saja? Kamu memang pembuat onar. Tapi kini kamu bahkan berani melakukan hal itu padanya? Sebenarnya ada apa denganmu?"
Kakak ketiganya, Justine, juga menambahkan, "Kamu jangan tidak tahu diri begini, Desica! Semua yang kamu miliki sekarang adalah pemberian Keluarga Sumarko. Apalagi maumu? Apa kamu baru puas kalau Bianca mati?"
Kakak keduanya, Danny, sudah hendak mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. Yang jelas, pria itu terlihat kecewa.
Desica menarik tangannya dari genggaman ibunya tanpa ekspresi. Kemudian menoleh ke samping. Dia sudah muak berdebat dengan mereka. Sia-sia saja memberikan penjelasan pada orang yang memang tak percaya padanya.
"Aku sudah dengar semuanya, jadi kalian mau menghukumku?"
Ruangan menjadi hening seketika usai kalimat barusan terlontar. Dessy terkejut sekaligus tak puas mendengar ucapan Desica barusan. George menghela napas, "Kalau begitu, berikan kesempatan lomba pidato bahasa Inggris pada Bianca. Kamu bisa istirahat dulu dan mendaftar lagi tahun depan."
Desica mendaftar ikut pidato bahasa Inggris ini karena berharap bisa lebih dekat dengan Johan. Meskipun dia tak terlalu suka dengan jurusan itu, tapi dia belajar keras demi Johan. Semua orang tahu itu. Semua orang yang ada di sini mengira dia akan menangis dan tidak terima, tapi ternyata ….
"Baiklah." kata Desica sambil tersenyum.
Hal ini tentu saja membuat semua orang terdiam kaget.
"Apalagi yang Bianca mau? Aku bisa memberikannya."
Hal seperti ini sudah sering terjadi sejak dia kecil. Desica kira semuanya akan berlalu jika dia bersabar. Tapi dia salah. Bersabar tidak akan menjadikan semuanya lebih baik. Tapi bisa saja sebaliknya.