Bab 12 Kambuhnya Penyakit Gino
Hanya terdapat satu kelas utama yang harus dihadiri saat siang hari, jadi Desica berencana untuk langsung pulang.
Walau sudah punya rumah, Desica tidak punya banyak uang sekarang, Keluarga Sumarko juga merasa Desica sudah seharusnya merasa bersyukur karena masih diberi makan.
Desica berjalan keluar dari gerbang kampus, lalu menunggu bus sembari menyalakan ponsel. Dia biasanya masuk aplikasi internet untuk memeriksa pekerjaan paruh waktu yang tersedia, tapi begitu ponsel nyala, dia baru sadar ponsel jadul ini tidak bisa internet, hanya bisa menelepon dan mengirim pesan saja.
Setelah beberapa saat berlalu, sebuah mobil hitam mendadak berhenti di depannya.
Dia tanpa sadar menatap ke dalam mobil tersebut, jendela di kursi belakang mobil itu perlahan turun sehingga memperlihatkan wajah seorang pria yang dingin dan elegan.
Gino juga menatap Desica sebelum berbicara, "Masuklah."
Desica terpana sesaat sebelum menjawab dengan bingung.
Pria itu mengernyit, lalu berkata secara perlahan, "Ada bekas darah di rokmu."
Wajah Desica seketika memerah sebelum bereaksi untuk menoleh ke belakang dengan panik. Ternyata memang benar, ada sedikit bekas darah di bagian belakang rok birunya.
Walau sudah bulan September, cuaca yang masih panas sungguh membuatnya tidak punya pilihan selain memakai rok ini.
Desica menutupi bekas darah di rok dengan satu tangan karena malu, sangking malunya serasa ingin bersembunyi sekarang juga, tapi justru reaksinya terlihat oleh pria itu.
"Masuklah!" Suara dingin Gino terdengar lagi.
Kini pintu pengemudi terbuka, Paman Yunus turun dari mobil dengan senyum ramah, dan membukakan pintu kursi belakang sembari membuat gerakan silakan.
Setelah berpikir sejenak, Desica tidak menolak serta ragu untuk masuk ke mobil lagi.
Tapi situasi sekarang membuatnya tidak berani duduk karena takut akan mengotori kursi mobil orang lain.
Desica menunduk dalam posisi setengah jongkok setengah seperti anak kecil yang perlu dikasihani.
Paman Yunus menutup pintu mobil dan duduk di kursi pengemudi, kemudian menoleh untuk bertanya kepada Desica, "Nona, kamu tinggal di mana?"
"Kompleks militer, dekat Jalan Srikaya," jawab Desica dengan sopan, suasana terasa sangat canggung sekali.
Gino menatap dingin ke arah Desica, "Bukannya terasa tak nyaman jongkok seperti itu?"
"Tidak juga, lumayan ..." Sebelum selesai berbicara, kepala Desica langsung terbentur atap mobil, rasa sakit serta canggung membuatnya tidak berani mengatakan apa-apa lagi.
Karma datangnya sungguh cepat sekali, bahkan dia merasa sedih hingga menundukkan kepalanya, dan tidak berani untuk bernapas dengan kuat.
Gino memasang wajah cemberut, kemudian melepas jas di tubuh untuk dilempar ke samping, "Duduk pakai ini saja."
Mata Desica terbelalak kaget hingga berkedip beberapa kali, jas tersebut sudah jelas tidak murah dari segi penampilannya.
Kondisi ekonomi Desica yang sekarang bahkan perlu memikirkan biaya makan, mana mungkin dia berani menduduki jas mahal seperti itu dengan rok bekas darahnya?
Dia mustahil bisa ganti rugi!
Seolah dapat membaca pikiran orang lain, Gino mengangkat alis sebelum berbicara, "Memangnya aku akan memeras seorang mahasiswi?"
Benar juga ….
Desica menerima jas dengan penuh terima kasih, kemudian berdiri dengan hati-hati untuk duduk di atas jas tersebut.
Mobil masih melaju kencang di jalan raya, Desica terus melirik ke luar jendela untuk menghindari suasana canggung.
Cerminan wajah samping Gino dapat terlihat di jendela mobil yang terang, wajah pria itu sangat tampan, bersih serta memiliki pesona seorang pria dewasa.
Bagaimana bisa orang luar biasa seperti itu meninggal dua tahun kemudian? Sungguh sayang sekali.
Beberapa saat kemudian, mobil akhirnya berhenti di perempatan.
Desica menghela napas lega, mengucapkan terima kasih, dan buru-buru keluar dari mobil.
Namun, Paman Yunus tiba-tiba menyusul untuk menghentikan Desica untuk suatu alasan.
Paman Yunus ragu sesaat sebelum bertanya, "Nona sudah lama tinggal di sini? Kamu kenal seseorang yang bernama Wendi Yuparto?"
Begitu mendengar nama tersebut, Desica langsung mengangkat matanya dengan penasaran, "Kamu kenal nenekku?"
"Nenekmu, ya? Boleh tahu dia tinggal di mana sekarang?"
Suara Paman Yunus terdengar senang sekali.
Desica mengangguk, kemudian berbicara dengan tampang sedih, "Nenekku sudah meninggal tiga tahun lalu."
Paman Yunus untuk sejenak sulit menerima kabar tersebut, dan ekspresinya terlihat sangat kecewa.
Paman Yunus hendak mengatakan sesuatu, tapi pada akhirnya hanya tersenyum ramah, "Berarti kami yang sudah terlambat. Kamu sudah boleh pulang, Nona."
Desica mengangguk, lalu berbalik untuk berjalan pulang dengan sebuah pemikiran yang muncul di benaknya.
Jangan-jangan Paman Yunus mencari neneknya karena penyakit Gino?
Pada kehidupan sebelumnya, Gino meninggal karena tidak sempat bertemu dengan neneknya, jadi tidak bisa berobat?
Sesaat sebelum kembali ke dalam mobil, tangisan cemas Paman Yunus dapat terdengar.
"Tuan Muda, kamu baik-baik saja?"
"Di mana obatnya? Mana batnya?" Paman Yunus memeriksa semua laci di dalam mobil dengan penuh khawatir.
Dia ingat sudah menyimpan obat cadangan di sini, tapi kenapa obatnya bisa hilang?
Langkah Desica langsung berhenti, lalu bergegas ke arah mobil. Penampilan Gino tampak mengerang kesakitan, alis berkerut, wajah pucat hingga keringat dingin yang bercucuran di dahi.
Penyakit Gino sedang kambuh?
Desica kaget dengan apa yang terjadi di depan mata, lalu tanpa sadar mengulurkan tangan untuk memeriksa denyut nadi Gino.
Setelah beberapa saat berlalu, Desica memasang wajah cemberut ketika memeriksa kondisi Gino secara garis besar, begitu juga dengan bau obat tradisional di tubuh Gino seperti Bunga Magnolia, Wolfiporia Extensa, Obat Diazepam dan lain sebagainya.
Obat-obat sejenis ini merupakan obat tradisional yang berfungsi untuk mengobati … gangguan tidur dan kurangnya semangat.
Diazepam secara garis besar sudah membuktikan betapa seriusnya kondisi tubuh Gino.
Gangguan tidur jangka panjang dapat membuat seseorang mudah tersinggung hingga kelelahan secara mental. Percuma kalau menganggap gejala ini hanya sebagai masalah sepele seperti kurang tidur.
Sebaliknya, masalah ini justru akan menjadi semakin serius seiring berjalannya waktu.
Gino membuka mata dinginnya yang perlahan memerah.
Dia memalingkan wajah dengan kondisi yang terengah-engah, ekspresinya tampak muram seolah berusaha keras untuk mengatakan sesuatu, "Menjauh dariku!"