Bab 3 Tidak Akan Membuang Waktu Lagi
George mengernyitkan dahi, "Desica, apa-apaan kamu ini?"
Desica ragu-ragu, tapi akhirnya tetap tersenyum dan berkata, "Kenapa dengan sikapku, Tuan George?"
Dessy memucat, "Desica, kenapa kamu bicara begitu pada ayahmu?"
Justine mendengus, "Apa? Desica, kamu ini benar-benar! Ayah dan ibu terlalu memanjakanmu, makannya kamu jadi tidak sopan begini pada orang tua! Asal kamu tahu, kamu bukan apa-apa tanpa Keluarga Sumarko!"
"Ya, kamu benar." ujar Desica sambil kembali berbaring. "Kalau sudah tidak ada urusan lagi, silakan pergi dari sini. Aku mau istirahat. Hati-hati, aku tidak akan mengantar sampai pintu."
Dia rela dihajar habis-habisan oleh para preman itu demi membantu Bianca agar bisa kabur lebih dulu. Tapi Keluarga Sumarko masih saja menyalahkannya yang terbaring lemah di rumah sakit. Padahal Bianca terlihat baik-baik saja. Di kehidupannya yang dulu, Bianca bahkan sudah merebut kesempatannya lomba pidato sebelum dia keluar dari rumah sakit. Desica sudah malas melihat wajah orang-orang ini. Dia ingin mereka segera pergi dari sini.
Semua orang terlihat mengerutkan kening. Jimmy marah besar, "Desica, apa kamu gila? Apa kamu sadar apa yang barusan kamu ucapkan? Beraninya kamu mengusir kami. Apa yang membuatmu seberani ini?"
Desica malah berbalik memunggungi mereka. Enggan bicara lagi dengan mereka. Di kehidupannya yang sekarang, dia terserah saja jika Bianca memang mau merebut kesempatan berpidato bahasa Inggris itu.
Bianca menatap punggung Desica dengan tatapan ragu. Tapi kemudian menunduk menyembunyikan senyuman. Rupanya Desica cukup tahu diri.
Beberapa anggota keluarga Sumarko terlihat marah. Mereka bahkan memaki Desica, menyebutnya tak tahu diri. Sebelum akhirnya pergi dari ruangan tersebut. Pintu dibanting keras hingga debu di dinding di sekitarnya beterbangan. Keluarga Sumarko marah besar saat ini.
Setelah pintu tertutup dari luar, Desica membuka matanya. Raut wajahnya terlihat sangat lega sekarang. Ternyata berhenti menjadi penjilat demi mendapatkan perhatian dan kasih sayang keluarga terasa sangat melegakan. Dia terlalu bodoh di kehidupannya yang dulu. Dia kira dengan kerja kerasnya, dia akan bisa diterima di Keluarga Sumarko. Tapi yang dia dapatkan malah ….
Dia sudah melakukan yang terbaik untuk Keluarga Sumarko. Karena dia dilahirkan kembali, tentu dia harus merubah hidupnya. Dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Pintu kembali terbuka dari luar. Desica pun langsung berbalik memeriksa siapa yang datang. Rupanya Danny yang datang kembali.
Pria itu berjalan mendekati ranjang dan berkata, "Desica, jangan terlalu keras kepala. Tidak mudah membujuk ayah dan ibu. Tapi aku yakin mereka akan memaafkanmu. Asal kamu mau bersikap baik, minta maaf ke Bianca, dan janji tidak akan melakukannya lagi."
Sayangnya Desica malah menutup mata dan tak mempedulikannya. Membuatnya seperti bicara sendiri.
Danny menghela napas dan berkata, "Istirahatlah, kakak pergi dulu."
Pintu lalu kembali tertutup dari luar. Desica jadi haus usai berdebat dengan keluarganya. Dia kemudian bangun untuk mengambil minum.
Ada banyak orang berlalu-lalang di koridor rumah sakit. Di masa ini, pihak rumah sakit masih belum memiliki bagian rawat jalan dan rawat inap yang terpisah. Ruangannya juga masih sangat terbatas. Tidak jarang beberapa pasien harus dirawat dalam satu tempat yang sama.
Desica langsung meminum air yang dia dapatkan dari dispenser si ujung koridor. Dia merasa lebih segar usai melepas dahaga. Usai mengambil segelas air hangat lagi, Desica pun hendak berbalik pergi. Tapi ternyata ada seorang pria berkursi roda di belakangnya. Pria itu mengenakan kemeja rapi yang lengannya digulung ke atas, membuat lengannya terekspos. Meski duduk di atas kursi roda, tapi pria itu tetap tampak kharismatik.
"K-kak Gino ...." sapa Desica terbata-bata.
Gino mendongak mendengar panggilan barusan. Tatapannya tertuju pada sosok Desica, "Hm?"
"A-aku … Desica. Kita pernah bertemu di rumah Keluarga Subito." Desica merasa terintimidasi ditatap seperti itu. Bicaranya sampai terbata-bata. Dia sudah dua kali bertemu dengan Gino. Pria itu adalah kakak tiri Johan. Dia bisa tahu itu karena selalu tertarik pada siapapun yang berkaitan dengan Johan.
Kabarnya, Gino sudah menderita penyakit bawaan sejak lahir. Tapi pria itu sangat berbakat dalam berbisnis. Keberlangsungan hidup Keluarga Subito ada di tangannya. Membuatnya memegang posisi tertinggi di keluarga tersebut. Meskipun dirinya adalah anak tertua di Keluarga Subito, tapi entah mengapa namanya Gino Lukman, dan bukan Gino Subito.
Dan fakta paling penting adalah, dua tahun lagi pria itu akan meninggal di usia yang masih muda karena penyakit yang dideritanya. Teringat akan hal ini membuat jantung Desica seolah berhenti berdetak. Dia menatap lagi ke arah Gino yang terlihat sempurna dengan perasaan campur aduk. Karena di kehidupannya yang dulu dipenuhi dengan urusan Keluarga Sumarko, Desica tidak tahu pasti kapan Gino meninggal. Tapi tak lama setelah itu, dia akhirnya tahu dan merasa menyesal.
Gino lalu berkata, "Temannya Johan? Anak Pak George?"
Desica mengangguk, tak menyangka kalau Gino akan ingat, "Iya …."
Meskipun Gino memiliki paras rupawan, tapi sorot matanya terlalu mengintimidasi orang. Desica sampai gugup dan memegang erat gelas di tangannya. Di kehidupannya yang dulu, dia jatuh cinta dan mengejar-ngejar Johan. Semua orang juga tahu itu.
Dia selalu melakukan yang terbaik, bahkan sampai memuji Keluarga Subito demi mengambil hati mereka dalam dua kali acara pertemuan keluarga. Awalnya, Desica kira usahanya sudah cukup baik. Tapi kemudian dia tahu kalau Keluarga Subito hanya menganggapnya lelucon. Mereka menjelekkannya di belakangnya. Menyebutnya tidak punya harga diri dan murahan karena mengejar-ngejar Johan.
Desica melirik ke arah dispenser, lalu ke arah kursi roda Gino. Kemudian dia berinisiatif mengambil gelas di tangan pria itu. Dia mengambilkan sedikit air panas, lalu menambahkannya dengan air dingin. Begitu dirasa suhunya sudah pas, dia hendak memberikannya pada Gino.
Gino menerima gelas tersebut, "Kamu tidak perlu berusaha baik padaku. Aku tidak peduli dengan urusan Johan."