Bab 8 Tidak Semudah Itu
Danny mengernyit, "Desica, sekarang bukan saatnya bertindak gegabah. Memangnya kamu mau ke mana kalau pergi dari sini? Selain itu, di luar sana terlalu berbahaya untuk gadis sepertimu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?"
Danny jelas mau mengalihkan topik dengan berkata seperti barusan. Tapi itu berarti jawabannya sudah cukup jelas. Desica terkekeh, lalu dengan santai berkata, "Tuan Danny tidak perlu khawatir. Aku akan hidup dengan baik."
Meskipun Desica sudah menduga jawaban kakaknya, namun dia tetap saja sedih. Tapi sudahlah, ini tidak penting lagi. Dia berjalan melewati Danny dan pergi meninggalkan rumah Keluarga Sumarko.
Bangunan-bangunan kuno di distrik militer terlihat masih berdiri tegak. Meski sudah direnovasi, tapi tetap tidak menghilangkan nuansa bersejarahnya. Saat Desica pertama kali datang ke rumah Keluarga Sumarko, karena dia tidak bisa membaur dengan baik, dia pun tinggal bersama neneknya. Dari usianya 10 tahun sampai 16 tahun, dia menghabiskan masa remajanya di sini. Dia menatap bangunan yang terasa familier baginya ini, lalu masuk ke dalam.
Seingat Desica, dia tidak pernah bertemu dengan kakeknya. Dia hanya ingat kalau neneknya pernah bilang kalau kakeknya adalah orang yang rela mengorbankan diri sendiri demi menangkap pencuri. Aksinya sangat heroik. Nenek Wendi bertemu dengan kakek saat bekerja menjadi dokter di wilayah militer. Setelah pensiun, dia membuka sebuah klinik kecil di kompleks perumahan. Keterampilan medis Desica dia dapatkan dari neneknya.
Kakak ketiganya, Justine, kurang sehat. Desica pun berusaha keras belajar ilmu medis dari neneknya demi membantu kakaknya. Tapi sepertinya usahanya masih kalah jauh daripada perhatian Bianca di mata kakaknya.
Saat Desica tinggal bersama neneknya, George hanya datang beberapa kali saat liburan untuk mengunjunginya. Tapi entah kenapa, nenek tidak pernah akur dengan ayahnya. Ibu dan anak itu selalu saja berdebat begitu bertemu. Nenek bahkan sampai mengusir George dengan sapu. Mau sesabar apa pun George, tentu dia tidak mau kembali lagi setelah itu.
Setelah nenek meninggal, dia memberikan rumahnya pada Desica, begitu juga dengan sebuah buku tabungan. Itu adalah tabungan nenek selama hidupnya. Desica enggan memakainya.
Rumahnya ada di lantai dua di bangunan tiga lantai ini. Desica membuka kunci pintu. Rumah ini memiliki dua kamar dengan perabotan kuno. Rumah ini masih sama, tapi karena sudah lama kosong, jendela-jendela pun terlihat dipenuhi debu dan sarang laba-laba.
Desica segera menyingsingkan lengan bajunya supaya dan mulai merapikan rumah ini supaya lebih nyaman untuk ditinggali. Setelah selesai, perutnya yang kelaparan pun berbunyi. Dia memutuskan untuk mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompet. Dia sudah lama menabung, awalnya karena ingin membeli hadiah untuk Bianca bulan depan. Tapi sekarang lebih darurat. Ada pecahan seribu, dua ribu, dan paling besar pecahan 10 ribu. Setelah menghitung-hitung, total kurang lebih ada 685.841 ribu. Dia bisa memakai uang ini untuk beberapa hari kedepan.
Ada sebuah toko kecil di dekat gerbang kompleks. Desica pergi ke sana membeli sebungkus mie, beberapa telur, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Dia mengangkat seporsi mie dari panci. Meski hanya dibumbui dengan garam, tapi dia melahapnya dengan nikmat. Dia bisa hidup sesukanya tanpa perlu berusaha menyenangkan Keluarga Sumarko, apalagi memasak untuk mereka seperti pembantu. Dia juga tidak perlu mendengarkan hinaan mereka lagi.
Setelah benar-benar melepaskan semuanya, Desica merasa kalau hidup apa adanya ternyata tidak senyaman itu. Dia terbangun tengah malam karena getaran ponselnya.
Desica mengucek matanya sambil meraih ponselnya dengan perasaan kesal. Dia melihat nama yang tertera di layar telepon. Apa orang ini tidak bisa berpikir jernih sampai harus meneleponnya selarut ini! Dia mematikan panggilan telepon tersebut lalu membuang teleponnya ke samping. Ketika hendak menutup mata lagi dan kembali tidur, teleponnya kembali berdering. Membuatnya menekan tombol terima dengan kesal.
Dari seberang telepon terdengar Johan yang marah, "Desica, berani sekali kamu tidak mengangkat teleponku."
Desica menutup telinganya sambil menjauhkan teleponnya. Kemudian dia berteriak balik, "Kamu gila ya, Johan? Teriak malam-malam. Kalau ada yang mau kamu bicarakan, katakan saja."
Usai menyelesaikan kalimatnya, dia seolah bisa merasakan kemarahan Johan melalui telepon. Napas pria itu terdengar naik-turun, lalu meninggikan nada bicaranya, "Desica, kamu jangan lupa bilang ke dosen kalau ingin memberikan kesempatan lomba pidato itu pada Bianca besok. Kalau tidak, aku akan cari cara lain agar Bianca mendapatkan kesempatan itu." Johan langsung mengakhiri panggilan telepon usai menyelesaikan kalimat barusan.
Sambil mengamati layar telepon yang meredup, Desica yang awalnya bingung kini perlahan sadar. Dia benar-benar lupa akan kejadian itu kalau saja Johan tidak menelepon untuk mengingatkannya. Mereka benar-benar melakukan segala cara agar dia memberikan kesempatan berpidato itu pada Bianca. Tapi ini malah membuatnya semakin enggan membiarkan mereka mendapatkan apa yang mereka mau.