Bab 1 Orang Desa yang Baru ke Kota
Kisah ini dimulai di Barat Laut, tepatnya di sebuah rumah besar layaknya kastil yang berdiri di tengah padang rumput yang luas. Rumah itu terlihat seperti tempat terpencil yang sangat elok sehingga siapa pun yang datang ke sana pasti akan berdecak kagum karena keindahannya.
Saat ini, suara merdu nan tegas seorang wanita muda terdengar dari rumah besar itu. "Hah? Tidak mungkin! Aku tidak mau pergi ke Atasia untuk bertunangan!”
"Kau tidak punya pilihan lain, Elisa. Pertunanganmu telah direncanakan oleh aku dan keluarga Gunawan beberapa tahun yang lalu. Kelima putra keluarga Gunawan adalah pria yang sangat baik. Kamu hanya perlu memilih salah satu dari mereka dan bertunangan dengannya. Jangan khawatir, kamu pasti akan menemukan seorang yang cocok denganmu.”
Elisa Hartono bersandar di sofa. Rambutnya yang bergelombang jatuh berjuntai di belakang lehernya. Wajahnya lembut dan memesona, bahkan setiap pori-pori di tubuhnya memancarkan aura yang membuatnya berbeda dari orang lain.
Dia dibesarkan oleh kakeknya sejak kecil. Jadi dia tahu bahwa mustahil baginya untuk mengubah situasi saat ini. Setelah merenung sejenak, Elisa menjawab dengan senyum penuh arti, “Baiklah, tapi aku punya beberapa permintaan, Kakek. Gunawan bersaudara pasti tidak tahu siapa aku. Karena Kakek bilang bahwa mereka semua pria yang sangat baik, izinkan aku untuk pergi dengan bebas jika aku tidak jatuh cinta dengan salah satu dari mereka dalam waktu satu tahun. Saat itu, aku harus menentukan sendiri pernikahanku."
Robi Hartono, kakek Elisa, menjawab sambil tersenyum, “Baiklah.”
...
Beberapa hari kemudian, empat pria dengan wajah tajam terlihat sedang berdiri di pintu masuk stasiun kereta api Atasia. Mereka semua tampak berbeda; salah satu menyendiri, sedangkan yang lain tampak gembira dan ceria dengan sifat periang... Semua mata orang yang lewat tertuju pada mereka. Jika bukan karena pengawal yang menjaga dari kerumunan, banyak orang yang akan mendekat dan meminta kontak mereka dari tadi.
Dani Gunawan — si bungsu dari keluarga Gunawan — mengeluh, “Hari ini sangat panas, tapi Kakek bersikeras menyuruh kami berempat menjemput gadis kecil ini. Memangnya dia pikir kita tidak ada kerjaan lain?!”
Johan Gunawan yang mengenakan masker wajah dan topi — si putra keempat yang merupakan selebritas besar yang akhir-akhir ini terkenal sebagai Pangeran Tampan bagi setiap wanita di negara ini — menimpali, “Benar. Tak kusangka ke mari dengan kereta api—dia pasti gadis desa!”
"Aku pikir Kakek bercanda saat berkata bahwa salah satu dari kita akan bertunangan dengan seorang gadis desa!" sambung Brian Gunawan, si putra ketiga. “Aku sangat iri pada Aditya; dia lolos berkat rapat perusahaan yang harus dia hadiri.”
Mahesa Gunawan - si putra kedua - tidak mengatakan apa pun. Namun, dari ekspresinya terlihat jelas bahwa dia juga kesal.
Setelah itu, seorang wanita muda berbaju merah dengan bordir motif bunga muncul dari pintu keluar stasiun kereta api. Bisa dikatakan bahwa pakaiannya terlihat kampungan. Terlebih lagi rambutnya yang panjang dipotong model bob dan membuatnya terlihat sangat jelek.
Dani menepuk bahu Johan. "Kau harus lihat itu! Aku tidak tahu ternyata zaman sekarang masih ada orang yang berpakaian seperti itu. Ck, ck, aku hanya pernah melihatnya di film. Haha…”
Lalu yang sangat mengejutkan keempat pria itu adalah saat wanita muda itu keluar dan berhenti di depan mereka. "Halo. Kalian pasti Gunawan bersaudara, bukan? Aku Elisa Hartono.”
Keempat pria itu tampak agak terkejut, terutama Johan. Dia dengan sangsi bertanya, "Kamu Elisa Hartono?" Jadi ini peri kecil cantik yang Kakek bicarakan? batinnya. Elisa tidak hanya berpakaian kampungan, tetapi dia juga menggelapkan kulitnya dan menambahkan beberapa tahi lalat pada wajahnya. Selain itu, lipstiknya yang berwarna pink norak benar-benar mencolok.
Elisa mengangguk dan bahkan menjawab dengan bersemangat, “Rupanya Kakek sama sekali tidak membohongiku. Kalian benar-benar tampan.” Kalian semua terlihat biasa saja. Tidak peduli seberapa tampan kalian, tidak ada satu pun dari kalian yang cukup pantas untukku, pikirnya.
Dani hampir mengutuk. Bahkan jika dia berasal dari pedesaan, dia seharusnya tidak sejelek ini! pikirnya. “Bagaimana kalau kita pulang dulu, Nona Hartono?”
"Hah?" Elisa mengerjap bingung.
Akhirnya, Mahesa—wakil presdir Gunawan Group — berkata, “Ayo masuk ke mobil dan pulang dulu.”
Mereka berlima meninggalkan stasiun kereta api. Elisa dan Mahesa duduk di barisan tengah di dalam mobil. Elisa melirik ke luar jendela sebelum berkata sambil berdecak kagum, “Wow! Ternyata gedung-gedung di kota besar setinggi ini!”
Bibir keempat orang lain di dalam mobil itu berkedut mendengar perkataannya. Apakah dia orang desa yang baru ke kota?
Setelah itu, sudut mata Elisa tidak sengaja menangkap arloji di pergelangan tangan Mahesa. Dia berseru, “Wow! Arloji ini sangat bagus! Harganya pasti jutaan, kan?"
Jutaan? Jam tangan Mahesa itu harganya miliaran! Keempat pria itu terdiam. Mereka hanya bisa berharap agar Elisa tidak menyukai dan ingin bertunangan dengan salah satu dari mereka.
Mobil mereka melaju sampai ke kediaman Gunawan. Saat melihat rumah keluarga Gunawan, ekspresi Elisa terkejut lagi. "Wow! Rumah kalian pasti sangat besar, bukan?” Tetapi pada saat yang sama dia membatin, Rumah ini bahkan tidak sampai sepersepuluh dari tanah milik keluargaku.
Setelah itu, di sampingnya dia mendengar suara Dani yang kesabarannya sudah habis. “Sudah cukup, dasar kampungan. Jangan bertingkah seolah kamu baru melihat dunia untuk pertama kalinya. Aku tidak tahan lagi.”
Tak satu pun dari tiga pria lainnya berbicara. Lagi pula, mereka juga tidak tahan dengan tingkah laku Elisa.