Bab 3 Buruk Rupa
Elisa menebak-nebak dalam hatinya. Pria ini mungkin Aditya, putra pertama keluarga Gunawan. Namun, sebelum dia sempat berbicara, pria itu melanjutkan, "Buka matamu dan lihat kamar siapa ini."
Elisa terkejut. Baru pada saat itulah dia menyadari bahwa kamar yang diselimuti cahaya bulan yang redup ini sepertinya bukan kamarnya. Pantas saja aku merasa ada yang berbeda saat tadi tidur. Aku benar-benar salah masuk kamar?! Dia bangkit dari ranjang dan meminta maaf karena malu, “Aduh, maafkan aku. Aku salah masuk kamar. Aku tidak bermaksud seperti itu.”
"Keluar," perintah pria itu dengan suara berat.
Elisa pergi dengan malu.
Keesokan harinya, Elisa masih mengantuk saat dia turun dan mendengar Dani berkata sambil tersenyum, “Wanita itu jelek, Aditya. Aku dengar dari para pelayan kalau dia masuk ke kamarmu tadi malam. Dia tidak menakut-nakutimu, kan?”
Elisa mengerutkan kening mendengar perkataan Dani. Seperti yang sudah diduga, pria yang dia temui tadi malam adalah Aditya.
Aditya tidak mengatakan apa pun. Jelek? pikirnya. Dia tidak bisa melihat wajah Elisa dengan jelas tadi malam karena gelap, tetapi samar-samar dia ingat kulit putih mulus wanita yang mengenakan gaun tidur dengan rambut yang tergerai bebas itu.
Saat mereka berbicara, Aditya melihat Elisa menuruni tangga. Meskipun dia telah berganti pakaian, kulitnya hitam seperti arang, dan tahi lalat di wajahnya membuatnya tampak sangat buruk rupa. Dia mengernyit dan berpikir bahwa dia pasti salah lihat tadi malam.
Elisa juga melihat Aditya yang tampak sempurna dan tanpa cela dalam setelan jas hitamnya. Wajahnya begitu tajam seolah diukir dengan detail oleh Tuhan sendiri. Dia memiliki aura kuat yang membuatnya tampak mengagumkan.
Elisa mendengar suara serak Aditya yang menarik, "Aku berangkat kerja dulu." Pria itu pergi tanpa meliriknya lagi.
Dani melirik Elisa dan mencibir, “Pantas tingkahmu biasa saja terhadap kami berempat kemarin. Ternyata kamu tertarik pada Aditya! Ck, ck, tak kusangka kamu sulit ditebak, Elisa!”
Bibir Elisa berkedut ketika mendengarnya. Aku hanya salah masuk kamar; bagaimana hal itu bisa membuatku menjadi orang semacam itu? pikirnya. Namun, alih-alih menjelaskan kesalahpahaman itu, dia malah duduk di ruang makan dan menyarap sendirian.
Dani menghampirinya karena merasa jengkel telah diabaikan. “Sudah kubilang, Elisa—Aditya tidak akan pernah menyukaimu. Dia menyukai orang lain, jadi sebaiknya kamu berhenti berharap.”
"Hu-um!"
“Kenapa kamu tidak tertarik padaku saja? Jika kamu cukup membuatku senang, aku akan membiarkanmu tinggal beberapa hari lebih lama di kediaman Gunawan.”
Elisa menatap Dani dengan tenang dan ekspresi cemberut sekaligus jijik. "Kamu? Kamu masih bocah.” Dani adalah anak bungsu di keluarga Gunawan. Saat ini, dia baru berusia 18 tahun, sedangkan Elisa sudah berusia 19 tahun.
Dani menjadi marah setelah mendengar perkataan Elisa. “Beraninya kau menghinaku! Jangan pernah jatuh cinta padaku, ingat itu. Aku akan segera bunuh diri jika kamu memilih untuk bertunangan denganku!
Mahesa yang duduk di samping menatap kedua orang itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian, dia melirik Elisa yang sedang sarapan. Dia berasal dari pedesaan, tetapi perilakunya sangat anggun dan auranya seperti seorang wanita dari keluarga kaya. Mungkinkah ini keliru?
Jafar sudah mempersiapkan segalanya untuk Elisa sebelum dia datang. Di hadapan publik, dia akan berusia 18 tahun yaitu usia SMA, sama seperti Dani.
"Ketika kita sampai di sekolah, jangan beri tahu siapa pun bahwa kita saling kenal, dasar monster jelek!"
Elisa melempar tatapan hina pada Dani.
Setelah sarapan, dia masuk ke mobil Mahesa. Layaknya Aditya, Mahesa tidak banyak bicara, jadi Elisa tidak tahan untuk tidak bertanya, “Kenapa aku dan Dani tidak bersama-sama diantarkan oleh sopir? Padahal aku dan dia bersekolah di tempat yang sama.” Kenapa kau yang mengantarku?
Mahesa tampak tak berdaya setelah mendengar pertanyaannya. “Kakek ingin kami menjalin kedekatan denganmu, jadi kami berlima akan bergantian mengantarmu pulang pergi sekolah dari Senin hingga Jumat dan menghabiskan waktu bersamamu di akhir pekan. Seharusnya Aditya yang akan mengantarmu ke sekolah pagi ini, tapi dia sedang ada rapat, jadi aku menggantikannya.”
Gunawan bersaudara keberatan dengan saran itu sejak awal. Tak satu pun dari mereka yang bersedia mengantar Elisa - si gadis desa- pulang pergi sekolah pada hari kerja, apa lagi menghabiskan waktu dengannya di akhir pekan. Namun, ini adalah ide Jafar, jadi tidak ada yang bisa menolaknya.
Setelah mendengarnya, Elisa menyadari Gunawan bersaudara sangat tidak ingin bertunangan dengannya. Tetapi bukan berarti aku ingin…