Bab 2 Mengandung Bayi untuk Keluarga Kusuma
Seorang ahli Taekwondo dengan sabuk hitam strip delapan, Veronika mencoba menangkis Marcel, tetapi dia tak kuasa menahan pria itu saat ini. "Lepaskan saya, brengsek!"
"Bisa-bisanya kamu jual mahal sekarang setelah membius saya ..."
“Kamu ngomong apa? Saya ke sini … demi uang!” Veronika berjuang melawan pria itu, tetapi baru setelah jari-jarinya menyentuh kulit Marcel, dia menyadari betapa panasnya pria ini. Dia baru saja bilang 'membius'? Setelah menarik benang merah, dia langsung menyadari apa yang terjadi, tetapi sudah terlambat saat dia tersadar dan mencoba melarikan diri.
Marcel tak membiarkannya bergerak. Pada akhirnya, karena kesal dengan teriakan Veronika yang menjengkelkan, dia langsung mendekap mulut Veronika dengan dasi. "Diam."
Malam itu, dia melahap Veronika bak orang gila, mengunyahnya sampai-sampai Veronika tak sadarkan diri dan menangis beberapa kali.
Veronika mengutuk Marcel dalam hati. Sialan! Apa orang ini terlalu dominan, atau bius sialan itu yang terlalu kuat?
…
Saat Veronika terbangun, sudah tengah hari. Dia bergeser sedikit dari tempat tidur, hanya untuk mendapati sekujur tubuhnya sakit seolah-olah dia baru saja dihajar. Tak hanya itu, tubuhnya juga terasa sangat lengket seakan dia hampir meleleh.
Dia terduduk dan melihat sekeliling kamar itu. Marcel sudah lama pergi, terdapat satu set pakaian bersih yang diletakkan di atas tempat tidur. Dia bangun dari tempat tidur dan mandi bebek di kamar mandi. Tanpa repot-repot membersihkan riasannya, dia berjalan keluar dari kamar tidur, ingin mencari Marcel dan meminta penjelasan. Namun, saat dia keluar kamar, dia mendapati seorang pria asing duduk di sofa ruang tamu.
"Saya Tommy Rajasa, sekretaris pribadi Tuan Muda Marcel," kata pria itu, memperkenalkan dirinya sebelum Veronika berbicara.
Dipenuhi amarah, Veronika menggerutu dengan murka, “Mana Marcel Kusuma, bajingan itu? Apa dia akan lari dari tanggung jawabnya setelah merenggut kesucian saya dan pergi begitu saja?”
Bajingan? Tomas tercengang. Mereka yang tak tahu apa-apa malah tak takut sama sekali, ya? Alih-alih berdebat dengan Veronika, dia menunjuk ke kotak pil di atas meja, berkata, “Bos bilang kalau kamu harus minum pil kontrasepsi darurat dan pergi dari Sekartalun atau mati. Tentukan sendiri pilihanmu, Nona Veronika.”
Dia sudah tahu nama saya! Dia pasti sudah memeriksa latar belakang saya, pikir Veronika. Jantungnya benar-benar tak karuan. Setelah merasakan betapa kejam dan tidak berperasaannya Marcel, dia dipenuhi dengan teror. Dalam sekejap, segenap keangkuhannya lenyap. Dia mengerutkan bibirnya, bertanya, “Huh, s-saya mau bertemu Marcel. Saya menyelamatkan hidupnya, kamu tahu itu? Bagaimana dia bisa membalas kebaikan saya dengan tidak tahu berterima kasih seperti ini?”
Setelah mendengar kata-katanya, Tommy mencibir dengan jijik. “Bahkan saya pun lelah mendengarkan kebohongan murahan seperti ini. Apa menurutmu bos saya akan memercayainya?”
"Saya mengatakan yang sebenarnya! Hari itu—"
“Nona Veronika!” Tommy kehabisan kesabaran. “Kamu mau cara kasar? Jangan salahkan saya kalau saya menjadi jahat padamu, kalau begitu.”
Ding! Saat itu, pintu lift terbuka.
Mulanya, Veronika mengira itu Marcel, tetapi yang mengejutkannya, yang keluar dari lift adalah seorang wanita tua berambut perak yang tampak anggun dan tenang dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tak hanya itu, wanita itu ditemani oleh dua pelayan.
Tommy membungkuk kepada wanita tua itu. "Selamat siang, Nyonya Besar Kusuma."
Arini Hartono masuk dan memelototi Tommy. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Saya hanya mengurus urusan pribadi atas nama Tuan Muda Marcel, Nyonya Besar Kusuma," jawab Tommy jujur.
Arini menunjuk kotak berisi pil kontrasepsi darurat di atas meja. "Dengan 'urusan pribadi', maksudmu kamu mau membunuh cicit Keluarga Kusuma?"
Veronika tercengang. Apa? Cicit? Saat dia mengikuti tatapan Arini dan melihat kotak pil itu, dia penasaran kalau "cicit" yang dimaksud Arini itu ... Tunggu, maksudnya itu apa yang bajingan itu tinggalkan di dalam diri saya semalam, kan?
“Ini yang beliau inginkan.”
“Hmm! Bilang pada bocah itu untuk datang menemui saya kalau dia punya pertanyaan.”